Guru Besar FH UNAIR Prof. Peter Mahmud Marzuki. Foto: Dok. UNAIR
Guru Besar FH UNAIR Prof. Peter Mahmud Marzuki. Foto: Dok. UNAIR

Profesor UNAIR Masuk 100 Peneliti Hukum Terbaik Dunia, Ini Dia Sosoknya

Citra Larasati • 16 Februari 2022 08:08
Jakarta:  Guru Besar Fakultas Hukum, Universitas Airlangga (UNAIR), Peter Mahmud Marzuki tercatat sebagai salah satu World Top 100 Law and Legal Studies Scientists. Apabila menilik data pada AD Scientific Index, publikasinya telah disitasi dalam publikasi lain sebanyak 2.557 kali dengan skor H-index sebesar 25.
 
Karier akademiknya dimulai dengan menjadi asisten pengajar di FH UNAIR pada tahun 1974, ketika ia masih menjadi mahasiswa S1. Pada kala itu, keasistenannya di bawah supervisi Pakar Hukum Tata Negara Prof. Koentjoro Poerbopranoto.
 
Peter menambahkan, bahwa posisi ini krusial dalam perjalanan hidupnya. Di waktu yang sama ia berniat menjadi asisten pengajar.  Ia juga mendapat tawaran menjadi bagian dari suatu perusahaan swasta berbasis energi.

“Di sinilah saya mengembangkan kepakaran saya di bidang hukum tata negara, karena bimbingan Prof. Koentjoro. Setelah saya lulus sarjana di tahun 1977, saya masih terus berbicara mengenai hukum tata negara ketika saya menjadi mahasiswa magister di FH UNAIR," ujarnya dikutip dari laman UNAIR, Rabu, 16 Februari 2022.
 
Tesis Peter kala itu membahas pentingnya kabupaten/kota diberikan otonomi daerah, karena kala itu di tahun 1982 masih belum ada. "Akhirnya pada tahun 1999, teori saya terealisasikan melalui upaya desentralisasi pascaorde baru,” ujar pria kelahiran tahun 1949 itu.
 
Setelah itu, perjalanan akademiknya membawanya ke negeri Paman Sam. Peter kembali menempuh studi magister di Washington College of Law, Washington DC dan lulus pada tahun 1986. Kali ini, ia berganti fokus untuk mempelajari international trade law (hukum perdagangan internasional).
 
Dari sinilah, Peter mulai mengembangkan bidang hukum bisnis dalam pendidikan hukum di Indonesia, yang kala itu masih asing dan masih dikenal dengan istilah ‘hukum ekonomi’ atau ‘hukum dagang.’ Dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Ilmu Hukum,” Peter juga mengatakan bahwa di sinilah pula ia mengembangkan teori sui generis dalam penelitian hukum.
 
Teori ini pada dasarnya berdalih bahwa penelitian hukum bukan merupakan bagian dari penelitian sosial, melainkan merupakan suatu penelitian tersendiri.  “Saya kurang setuju dengan istilah hukum ekonomi, karena menurut pemikiran orang Amerika itu erat dengan konotasi intervensi pemerintah terhadap perekonomian. Sementara hukum bisnis, konotasi istilahnya dititikberatkan pada kontrak antara para pihak,” ujarnya.
 
Gelar doktor yang diraih Peter pada 1993 semakin memantapkan pandangannya terhadap bagaimana negara harus berperan dalam perekonomian. Dalam disertasinya, ia mengkritisi konsep negara kesejahteraan dan mendukung perekonomian negara yang berbasis pasar.
 
“Saya percaya bahwa privatisasi dalam perekonomian harus digencarkan selama tidak bertentangan dengan Pasal 33 UUD NRI 1945," kata Peter.
 
Apabila suatu sektor usaha dikuasai oleh BUMN secara murni, maka pola pikirnya dalam menjalankan usaha akan birokratis. Namun apabila sektor swasta yang memegang, maka pola pikirnya akan entrepreneurial dan berbasis profit.
 
"Dari sini, maka perusahaan akan mengeluarkan produk-produk yang lebih variatif dengan kualitas yang lebih bagus, karena apabila tidak, maka akan kalah saing dengan perusahaan lain di bidang usaha yang sama,” paparnya.
 
Pemikiran-pemikiran itu kemudian ia kembangkan dalam legislasi di Indonesia terkait hukum bisnis. Menurut Peter, beberapa undang-undang yang berhasil gol dengan buah pikirnya adalah seperti UU 8/1995 tentang dan beberapa aspek dari UU 5/1999.
 
Baca juga:  Dari ITB ke Sussex, Cerita dan Tips Deta Tembus Beasiswa IISMA
 
Merefleksikan perjalanan kepakarannya dan penghargaan top scientist yang ia peroleh, Peter menyematkan rasa optimistisnya terhadap masa depan FH UNAIR. Ia bangga bahwa FH UNAIR telah menjadi fakultas hukum terbaik di Indonesia dalam berbagai pemeringkatan perguruan tinggi.
 
Ia juga berharap bahwa teori-teori yang ia kembangkan dapat diajarkan ke generasi yuris berikutnya, sesuai dengan kebutuhan dan kemauan mahasiswa.
 
“Saya diwejangi oleh Prof. Koentjoro kalau mengajar itu seperti menerima tamu dengan bahan sajian singkong. Kalau misal tamunya suka kolak, ya singkongnya harus dikolak. Kalau tamunya suka singkong goreng, ya singkongnya digoreng. Dosen harus tahu kemauan dan kebutuhan mahasiswa dalam belajar hukum, dan harus diarahkan kesitu. Misal sekarang trennya adalah terkait digitalisasi dalam dunia usaha, ya pengajarannya harus diarahkan ke situ,” tutupnya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(CEU)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan