Bukan hanya termuda, perempuan kelahiran Madiun itu pun lulus dengan predikat maxima Cum laude 4.0 (Mahasiswa Summa Cum laude yang meraih IPK sempurna 4.00). Ia mendapat beasiswa dari Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) dalam program beasiswa Pendidikan Magister Menuju Doktor untuk Sarjana Unggul (PMDSU).
Beasiswa program PMDSU adalah beasiswa program percepatan pendidikan yang diberikan kepada lulusan sarjana yang memenuhi kualifikasi untuk menjadi seorang doktor dengan masa pendidikan empat tahun yang dibimbing oleh promotor handal Tanah Air. Peserta PMDSU ini dituntut untuk dapat menghasilkan minimal dua buah publikasi hasil riset di Jurnal Internasional.
Diakui Nastiti, menyelesaikan studi hingga S3 sudah menjadi cita-citanya sejak ia duduk di jenjang S1. Tahap demi tahap dan langkah demi langkah ia jalani, sampai membuat rencana jangka panjang untuk studinya.
“Sebenarnya semua rencana studi itu sudah direncanakan sebelum S2 dimulai. Saya sudah bikin rencana semester ini itu, harus kuliah apa saja, harus mengambil proposal dan sudah ada drafnya. Seiring berjalannya waktu tinggal evaluasi saja,” kata Nastiti kepada Medcom.id, di Jakarta, Selasa, 3 September 2019.
Ia menuturkan, salah satu kiat dan trik cepat menyelesaikan studi adalah memiliki peta rencana ke depan. Sehingga tidak ada waktu yang terbuang percuma selama masih ada kesempatan untuk belajar dan terus belajar.
“Kemarin aku harusnya itu bisa lulus Juni (2019). Tapi karena Juni lebaran dan harus mundur habis lebaran. Itu kan sebenarnya waktu kita merencanakan itu enggak kepikiran kan kalau seperti itu. Kita harus punya planning alternatifnya,” jelas perempuan kelahiran Madiun 20 Juni 1993 ini.
Komitmen dan target ingin cepat menyelesaikan kuliah ia pegang betul. Ia tak ingin ada hal-hal remeh temeh yang menghambat penelitiannya. Ia mencoba seminim mungkin bermain media sosial (medsos).
“Aku bukan tipe orang yang belajar lama banget, enggak. Tapi kalau belajar itu memang aku fokusin dan kalau enggak niat main medsos aku memang enggak buka medsos sama sekali,” jelasnya.
Keputusan akademiknya pun terbilang cukup berani, ketika mengambil studi kedokteran di S2 dan S3 yang sama sekali tak berkaitan dengan kuliah S1-nya jurusan biologi. Motivasi terbesar wanita pecinta pelajaran IPA ini saat memilih ilmu kedokteran adalah karena melihat pelayanan kesehatan di rumah sakit yang tidak maksimal. Terutama untuk masyarakat yang kurang mampu.
“Aku liat lingkungan itu kan ada orang yang sebenarnya butuh pelayanan kesehatan, tapi BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) itu belum mencangkup semuanya, kan ada penderita paru-paru yang sudah tua banget sebenarnya enggak bisa datang ke rumah sakit. Administrasinya ribet karena udah tua dan enggak bisa petugas kesehatan saja yang ke rumah,” tuturnya.
Perjalanannya meraih gelar S3 tak semudah membalikkan telapak tangan. Berulang kali jurnal penelitiannya ditolak. Namun hal itu bukan penghalang. Beruntung ia punya orang-orang di sekeliling yang selalu mendukungnya setiap saat.
Mulai dari orangtua, teman hingga dosen pembimbingnya. “Orang tua aku itu syukurnya enggak pernah maksa nikah cepat. Itu salah satu bentuk dukungan orang tua yang tidak membebani untuk cepat menikah. Kadang juga susah untuk pulang kampung dan orang tua ngertiin kadang mereka yang berkunjung ke Surabaya,” ujarnya.
Sebagai anak daerah, ia juga pernah merasakan minder masuk perguruan tinggi terlebih untuk jurusan kedokteran. Cita-cita awalnya menjadi dokter sempat terpaksa dikesampingkan, karena tak percaya diri. Itu pula yang membuat Nastiti memilih berlabuh di jurusan biologi saat di jenjang S1, bidang yang memang ia telateni sejak SMA.
“Aku lihat alumni SMA-ku di Unair yang jurusan kedokteran enggak ada. Aku kan SBMPTN takutnya kalau enggak keterima nanti ngelanjutinnya jadi mahal kan. Jadi aku ambil jurusan yang aku senang saja dulu, yaitu Biologi,” paparnya.
Ketika tamat S1 dengan berbekal ilmu yang sudah dimiliki dan juga karena telah berbaur dengan mahasiswa dari bagai kalangan, perlahan namun pasti kepercayaan dirinya mulai bertumbuh. Maka saat ada kesempatan beasiswa ilmu kedoteran tak ia sia-siakan lagi.
“Sebelum tes S2 itu aku seminggu sebelumnya itu sudah mulai tes TPA (Tes Potensi Akademik). Proposal S2 itu aku juga konsuli ke dosen pembimbing ku S1 dulu. Tapi saingannya itu temanku sendiri dan pintar-pintar semua. Aku coba mikir ya coba dulu aja kalau masuk kan kayak gantinya S1 dulu yang enggak bisa di kedokteran. Siapa tahu bisa dan ternyata memang bisa,” ceritanya.
Setelah selesai menyelesaikan S3, Nastiti memiliki rencana jangka panjang. Yaitu menjadi dosen di perguruan tinggi. Cita-cita tersebut diam-diam juga merupakan cita-cita orang tuanya.
“Kemenristekdikti yang memberi beasiswa juga berharapnya jadi staf pengajar. Orang tua juga pernah berkeinginan agar aku menjadi guru atau dosen. Jadi aku mau daftar menjadi staf pengajar di Unair dulu sambil melanjutkan penelitian yang masih berlanjut,” tandasnya.
Ia berpesan kepada anak-anak muda yang berkeinginan untuk menjadi doktor di usia muda, agar belajar untuk menyusun rencana studi. Agar langkah ke depan jelas dan tidak mengawang-awang. Namun tetap usaha harus dibarengi dengan doa.
“Aku sendiri memang sudah planning usai berapa itu harus ngapain. Dan itu membantu untuk buat target hidup. Sama enggak boleh putus asa, tetap berjuang kalaupun rencana kita pernah gagal kita juga harus tetap cari rencana lain. Walaupun sebenarnya rencana Allah itu yang lebih baik. Bersabar saja semuanya akan berbuah manis,” tutupnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek Dikti (SDID) Kemenristekdikti. Ali Ghufron Mukti meminta para mahasiswa penerima beasiswa PMDSU untuk segera melakukan publikasi ilmiah jika sudah melakukan penelitian. Hal ini untuk mempertahankan posisi publikasi ilmiah Indonesia yang sekarang tengah memimpin di antara negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
Menurut Ghufron, mahasiswa PMDSU juga memiliki catatan yang baik mengenaik kontribusi ilmiah yang terindeks Scopus. Hingga saat ini tercatat 547 publikasi. "Itu cukup bagus,” kata Ghufron.
Berdasarkan catatan SDID Kemenristekdikti, saat ini jumlah mahasiswa peraih beasiswa PMDSU baik lulusan maupun yang sedang belajar sudah mencapai 724 mahasiswa. Di masa mendatang beasiswa ini akan diprioritaskan bagi 10 bidang yang memberikan lompatan pada penyelesaian pembangunan.
"Termasuk untuk beasiswa, kita prioritaskan pada bidang-bidang yang memberikan satu lompatan penyelesaian pembangunan,” tutup mantan Wakil Menteri Kesehatan ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id