Ia lebih senang jika dikenang sebagai penggerak emansipasi wanita. Kartini lebih ingin dikenang lewat darah perjuangannya.
Mengutip unggahan instagram @muskitnasofficial, sebagai anak berdarah biru, Kartini selalu merasa kesulitan dalam bergerak. Karena ia dipingit oleh adat dan segala bentuk aturan kebangsawanan.
Tapi tentu tidak dengan pemikiran. Pemikiran Kartini melambung jauh, menyebar dan menguat di masyarakat.
Dari balik kamarnya itu, Kartini melahirkan surat-surat yang menembus dunia. "Panggil aku Kartini saja," katanya.
Baca juga: Sejarah Lagu Ibu Kita Kartini Karya WR Supratman Lengkap dengan Liriknya |
Keberanian bersuara bagi Kartini adalah martabat dan hal itu telah membuatnya lebih menonjol di tengah keluarganya.
Sebenarnya seperti apa keluarga Kartini? Yuk lihat sebenarnya seperti apa keluarga Sosroningrat!
Keluarga Sosroningrat
Raden Mas Sosroningrat adalah ayah Kartini. Ayahnya merupakan Bupati Jepara yang kala itu memiliki pemikiran maju.Hal itu dibuktikan dengan selalu memberi dukungan pendidikan kepada anak-anaknya. Pada 1872, R.M Sosroningrat menikah dengan Ngasirah, kemudian pada 1880 ia menikah lagi dengan R.A Woerjan anak Bupati Jepara sebelumnya.
Kartini sendiri lahir di Mayong, Jepara pada 21 April 1879. Ia adalah anak kelima dari sebelas bersaudara.
Kartini lahir dalam lingkungan keluarga bangsawan, yang berhak menyandang gelar Raden Ajeng. Namun Kartini mengabaikan gelar tersebut, yang tegas dia tulis dalam suratnya "Panggil Aku Kartini Saja,".
Kartini Sekolah di Mana?
Kartini Sekolah di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. Melalui bahan bacaan Kartini mengenal pemikiran barat yang menyadarkan akan adanya ketidakadilan gender.Pada 1892 Kartini lulus dari ELS dengan nilai baik. Sehingga ditanyakan kesediaannya untuk melanjutkan pendidikan ke Belanda.
Namun saat itu Kartini menjawab dengan getir. Ia tak yakin betul bisa sekolah lebih tinggi hingga Belanda karena dipingit sesuai adat kebangsawanan.
"Jangan tanya apa saya mau? Tanyalah kepada orang tua saya, apa saya boleh melanjutkan sekolah?," tulis Kartini.
Kartini bersama saudara perempuannya harus menjalani masa pingitan. Hal itu memaksanya untuk tinggal dalam rumah sampai datangnya lamaran dari keluarga bangsawan lain pilihan orang tua.
Kartini memanfaatkan masa pingintan untuk membaca dan menulis tentang kemajuan perempuan. Mereka juga mengisi waktu dengan menggambar, melukis, membatik atau bermain piano.
Pada 1896, mereka mendapat izin keluar rumah untuk menemani perjalanan dinas ayahnya. Hal ini dianggap sebagai kebebasan pertama.
Pada 2 Mei 1898 pun kesempatan itu kembali datang kepada Kartini. Kartini memanfaatkannya untuk membantu kesejahteraan rakyat, salah satunya memasarkan ukiran khas Jepara, Ukiran Macan Kurung.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News