Mahasiswa penerima Beasiswa ADik, Chorlance Adriana Demetou. Foto: Puslapdik
Mahasiswa penerima Beasiswa ADik, Chorlance Adriana Demetou. Foto: Puslapdik

Kisah Chorlance, Penerima Beasiswa ADik dari Papua Kini Jadi Dokter

Citra Larasati • 03 Maret 2023 07:00
Jakarta:  Chorlance Adriana Demetou terpilih menjadi Wisudawan Menginspirasi dalam wisuda yang digelar Universitas Bengkulu periode ke-98 tahun lalu.  Penerima beasiswa Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADik) ini tak hanya menginspirasi di sepanjang masa kuliahnya, namun juga pascakelulusannya di fakultas Kedokteran.
 
Gadis kelahiran Kabupaten Keerom, Papua ini diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Bengkulu yang menjadi program studi pilihan pertama saat daftar ADik tahun 2013.  Ria kemudian berhasil memperoleh sarjananya tahun 2019 dan pendidikan profesinya yang seharusnya terselesaikan tahun 2021, namun karena ada pandemi covid-19, tertunda hingga 2022.  
 
“Kunci sukses saya hingga selesai kuliah di Fakultas Kedokteran ini adalah punya tujuan hidup dan tidak cepat menyerah, mensyukuri apa yang didapat, termasuk saat menerima beasiswa ADik, sebab dari semua pendaftar, hanya sedikit yang diterima,“ kata Ria dilanisr dari laman Puslapdik, Jumat, 3 Maret 2023.

Saat ini, Ria sudah enam bulan menjalani program internship kedokteran di Rumah Sakit Umum Daerah Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua Pegunungan.  Program ini merupakan pendidikan profesi untuk pemahiran dan pemandirian dokter setelah lulus pendidikan dokter.
 
Program ini dilakukan untuk penyelarasan hasil pendidikan dengan kondisi di lapangan. “Saya kebetulan ditempatkan di Wamena," imbuh kelahiran 1995 ini.
 
Ria mengakui, sebenarnya menjadi dokter bukan cita-citanya walaupun saat daftar ADik, Fakultas Kedokteran menjadi pilihan pertama selain Program Studi Biologi dan Akuntansi sebagai pilihan kedua dan ketiganya.
 
“Saat SMA, saya hanya ingin kuliah walaupun tertarik juga untuk menjadi dokter tapi tidak menjadi tujuan utama," ungkapnya.

Informasi Program ADik

Ria mendapatkan informasi dari sekolahnya saat duduk di bangku SMA tentang program ADik. “Sekolah memberi informasi soal ADik, terus saya dan beberapa teman ramai-ramai daftar di Dinas Pendidikan Kabupaten Keerom, lantas ikut tes di Jayapura, ternyata saya lolos, teman-teman lainnya tidak,“ katanya.
 
Lolos ADik di Fakultas Kedokteran Universitas Bengkulu, Ria mengaku tidak mudah. Ia menyadari bukan termasuk siswa terbaik di SMAnya, begitu juga SMA-nya di Keerom juga bukan sekolah unggulan atau sekolah favorit.
 
Bahkan menurutnya, di sekolahnya, siswa bolos itu hal yang biasa, bahkan saat ujian. Begitu juga dengan kemampuan bahasa Inggris, dikatakan Ria, biasa-biasa saja.
 
Dengan kesadaran itu, Ria memantapkan niat awalnya untuk kuliah, memperkuat tujuan hidupnya untuk bermanfaat bagi orang lain, pantang menyerah.  “Menjalani kuliah dan menjadi dokter tidak mudah, butuh semangat dan perjuangan dengan dukungan orang di sekitar kita, terutama orang tua. Saya juga bersyukur dan karena itu berterima kasih pada Kemendikbudristek yang mengelola ADik, guru-guru saya saat SMA, teman-teman kuliah dan para dosen di Universitas Bengkulu,“ kata Ria.

Suka Duka saat Kuliah

Sebagai orang Papua yang kuliah di Bengkulu dengan perbedaan bahasa, budaya, bahkan fisik, Ria mengakui mengalami suka dan duka. Ria Bercerita, saat pertama kali datang ke Bengkulu, banyak yang penasarakn, “Kalian di Papua apa makan nasi enggak sih, emang sejadul itukah pandangan terhadap Papua?” kata Ria sembari tertawa, menirukan sejumlah pertanyaan yang sering diterimanya saat kuliah.
 
Begitu juga saat di jalanan di Bengkulu, ia mengaku sering kali dilihat bahkan ditertawakan, dikira bule, dan berbagai pandangan lainnya yang cenderung negatif.  Namun Ria menilai itu sebagai hal yang wajar, karena jarang sekali ada orang Papua di Bengkulu.
 
Pandangan dan penilaian orang Bengkulu terhadap mahasiswa Papua itu, dikatakan Ria, menjadi salah satu alasan beberapa mahasiswa Papua penerima ADik tak kuat menjalani perkuliahan dan kembali ke Papua.
 
Dari sembilan orang mahasiswa penerima ADik tahun 2013 seangkatan Ria, yang berhasil selesai kuliah hingga wisuda hanya empat orang. Hal yang sama juga dialami mahasiswa ADik angkatan sebelumnya, dari sembilan orang, hanya tiga orang yang sampai diwisuda.  
 
Padahal, lanjut Ria, pihak kampus, termasuk dosennya, sangat memperhatikan kebutuhan mahasiswa Papua penerima ADik. Bahkan dalam penilaian Ria, kepedulian para dosen dan pihak kampus terlalu baik.
 
“Para dosen selalu membantu kami saat punya masalah dalam kuliah dan selalu menawarkan bantuan bila kami punya permasalahan apapun. Istilah saya, kami, mahasiswa Papua merasa punya privilege, punya keistimewaan dibanding mahasiswa lain yang bukan Papua, “paparnya.
 
Untuk kendala bahasa, dikatakan Ria, hampir tidak ada masalah. “Kita juga di Papua kan sudah terbiasa bahasa Indonesia, hanya dialek melayunya saja yang kadang-kadang membuat cukup berpikir dulu untuk memahaminya,“ katanya.
 
Soal pergaulan dengan sesama mahasiswa, menurut Ria, kuncinya adalah harus membuka diri, tidak menyendiri atau hanya berkumpul dengan sesama mahasiswa Papua saja.
 
“Saya contohkan di Fakultas Kedokteran, kami sudah berbaur seperti keluarga, saling memperhatikan, saling membantu, yang penting kita mau membuka diri, kalau tertutup mereka juga tidak mau dekat dengan kita, “katanya. 

Ditempatkan di Wamena

Ria memang orang Papua Asli. Namun, saat ditempatkan di Wamena untuk menjalani internship Kedokteran, Ria juga terkaget-kaget dengan pola hidup masyarakat Wamena, terutama yang berada di pinggiran kota. Masyarakat Wamena, menurut Ria, masih jauh dari kesadaran akan menjaga kesehatan dan perawatan tubuh.
 
Masih banyak warga Wamena yang asing dengan layanan kesehatan dari Puskesmas, apalagi rumah sakit.  “Kalau sakit, sebagian besar jarang ke Puskesmas apalagi rumah sakit, bahkan masih banyak wanita yang melahirkan hanya di rumah dengan beralaskan daun,“ cerita Ria.
 
Ria dan beberapa dokter lain yang sudah bertugas sebelumnya selalu rajin mengedukasi soal kesehatan dan hasilnya, sedikit demi sedikit, kian banyak warga wamena yang memeriksakan kesehatannya ke Puskesmas. Pengalaman yang cukup berkesan walaupun sedikit tegang, diceritakan Ria bila terjadi perang suku yang masih kerap terjadi di Wamena. 
 
“Di rumah sakit, suku-suku yang bertikai harus dipisahkan perawatannya, jauh satu sama lain, kalau disatukan, bisa terus perang di rumah sakit,“ kata Ria.
 
Menjalani perkuliahan dan kini menjadi dokter di Wamena, Ria menilai, bukan hal mudah untuk menjadi seorang dokter, tetapi bukan berarti tidak bisa dilakukan.  “Ketika kita punya niat yang tulus untuk mencapai impian, maka pasti ada jalan untuk meraihnya,“ ujarnya.
 
Ria berpesan pada generasi muda Indonesia untuk terus melanjutkan kuliah dan jangan takut soal biaya. Menurut Ria, saat ini banyak beasiswa, termasuk dari Kemendikbudristek melalui program ADik,  yang bisa membantu setiap anak di Indonesia untuk meraih cita-cita dan impiannya. 
 
Selain itu, masih banyak lagi bantuan pendidikan,baik dari pemerintah maupun organisasi lain nonpemerintah untuk siapapun yang ingin kuliah di dalam maupun di luar negeri.  
 
“Saya dapat menempuh kuliah, tidak bayar sepeserpun, ini bisa menginspirasi semua untuk menggapai impian,“ ujar Ria.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(CEU)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan