Perjalanannya sebagai peneliti kanker bisa dikatakan dimulai setelah lulus S1 studi farmasi di Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia mendapatkan kesempatan S2 melalui beasiswa pemerintah Australia di Australian National University pada jurusan biomedis.
"Saat itu saya mengambil penelitian, riset tentang bagaimana pembuluh darah baru itu muncul untuk mendukung metastatis kanker," kata Susanti kepada Medcom.id, Minggu, 19 Agustus 2023.
Setelah menyelesaikan studi S2, jalannya sebagai peneliti kanker semakin terbuka lebar. Ia mendapatkan beasiswa untuk lanjut S3 pada bidang yang sama. Namun, sebelum memulai studinya, ia malah jatuh sakit dan tak disangka, ia terdiagnosis kanker usus besar.
"Ternyata saya menderita kanker juga. Dari peneliti kanker menjadi penderita kanker," tuturnya.
Saat itu, terpaksa studinya mesti ditunda. Ia menjalani perawatan dan pengobatan hampir dua tahun di Indonesia karena kanker usus besar yang dideranya. Pada masa itu, kata dia, pergolakan diri tak terhindarkan. Bayangan studi dan cita-citanya terhambat.
Saat itu ia memikirkan, dirinya sebagai peneliti sudah berada di level yang menjanjikan. Terlebih usianya waktu itu belum genap 30 tahun, terbilang muda.
"Untuk kanker ini kan biasa terjadi di umur 60-70 tahun. Saya kok belum 30 sudah kena. Pergulatannya makin berat karena saya tahu teorinya. Kedua secara statistik saya didagnosa stadium tiga, maka angka harapan hidup lima tahunnya hanya 50 persen," terangnya.
Baginya saat itu, ilmu yang dikandungnya begitu menghantui. Ada ketakutan tersendiri di usianya saat itu, dengan mimpi yang tinggi serta memiliki anak berusia dua tahun.
Namun, setelah menjalani berbagai perawatan, operasi, termasuk kemoterapi, akhirnya lika-lika itu terlewati. Gejala-gejala yang ia hadapi seperti gangguan buang air besar, berat badan turun drastis hingga mual akhirnya sirna.
"Karena kan kanker itu enggak ada istilah sembuh. Tapi tidak ada gejala lagi. Sudah begitu saya beranikan lagi untuk lanjut kuliah S3," terangnya.
Kesempatan S3 hadir dari University of Nottingham di tahun 2015. Susanti menjalani studi onkologi, satu cabang ilmu kedokteran yang juga menangani dan mendiagnosis kanker.
Pun setelah lulus, Susanti turut bergabung tim riset di kampus tersebut, sebelum menjadi peneliti di Cancer Research United Kingdom Beatson Institute di Glasgow United Kingdom (UK), pusat riset kanker terbesar di UK, bahkan dunia.
Membangun Startup PathGen
Selain menjadi peneliti di UK, Susanti juga memberikan kontribusinya bagi Indonesia. Susanti mendirikan PT PathGen Diagnostik Teknologi, sebuah perusahaan rintisan yang berfokus pada pengembangan diagnostic kit/tes genetik untuk penyakit kanker yang mudah, tepat dan terjangkau untuk negara berkembang seperti Indonesia."Saya memimpin startup PathGen di Indonesia, saya juga dosen di Universitas Muhammadiyah Purwokerto dan jadi konsultan di Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada," terangnya.
Bicara PathGen, secara khusus ia ingin memajukan dan berkontibusi untuk riset kanker dan penyakit noninfeksi lainnya. PathGen, kata dia, menawarkan tes diagnostik penyakit kanker yang terjangkau tapi akurat untuk sisuasi di Indonesia dan negara berkembang.
Bekerja sama dengan PT Biofarma, pada tahun2022, PathGen telah meluncurkan produk pertama bernama Bio Colo Melt– Dx, molecular diagnostic kit untuk penyakit kanker kolorektal yang telah tervalidasi di pasien Indonesia dan memperoleh Nomor Izin Edar dari Kementerian Kesehatan Indonesia sebagai In-Vitro Diagnostic(IVD) kit. Sehingga sudah dapat digunakan secara luas sebagai layanan klinis untuk pasien Indonesia.
Bio Colo Melt-Dx merupakan kit tes genetic kanker yang pertama divalidasi dan diproduksi secara lokal di Indonesia. Dalam mengembangkan Bio Colo Melt, Susanti mengusung kolaborasi dengan berbagai pihak di Indonesia. Termasuk di antaranya RS Kanker Dharmais, RS Cipto Mangun Kusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, FK Universitas Riau, Fakultas Farmasi Universitas Muhammdiyah Purwokerto dan tentunya FK Universitas Gadjah Mada/RS Dr. Sardjito.

Susanti Kwan. Foto: Dok. Pribadi
Pengobatan kanker, kata dia, saat ini mesti berorientasi pada pengobatan presisi atau precision medicine. Di mana pengobatan dilakukan tergantung genetika tiap orang.
"Karena saat yang saya alami dulu itu belum melakukan tes genetik. Sehingga orang diobati hanya berdasarkan stadium. Stadium satu obatnya a, kalau stadium dua obatnya b. Sekarang sudah enggak bisa begitu. Karena stadium dua itu banyak macamnya, obat harus dikasih sesuai dengan karakteristeik kankernya. Di negara maju seperti itu, itu yang mesti negara kita gali," ungkapnya.
Demi karier dan kontribusinya kepada negeri, ia rela berulang-aling pergi dan pulang Indonesia-UK. Hal itu telah dijalaninya selama setidaknya delapan tahun terakhir.
"Setahun itu ada dua, tiga kali ke UK untuk satu bulan. Sekarang juga keluarga menetap di UK. Saya memang saat ini diaspora yang kerja meneliti dan punya PathGen di Indonesia," terangnya.
Sebagai diaspora dan orang yang telah memupuk mimpi di dalam segala bentuk rintang, ia berpesan kepada generasi muda untuk tak mau mengalah. Terlebih saat ini dunia riset di Indonesia tengah berkembang dengan baik.
"Di usia negara kita yang menginjak 78 tahun ini, adalah usia yang cukup matang. Kita ada di fase bertumbuh dan ini membuka banyak peluang dan kesempatan. Ini yang saya sampaikan ke anak-anak muda, murid saya, juga tim saya di PathGen harusnya memanfaatkan momentum ini. Sekarang Indonesia sangat dikenal, dan banyak yang ingin berkolaborasi. Tak ada waktu untuk tertinggal, karena sebanarnya kita mampu," pungkasnya.
Baca juga: Kisah Anam, Anak Juru Parkir yang Lulus Program Doktor Tercepat di Ceko |
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id