Sebagai Warga Negara Indonesia, Gusti Aju, demikian sapaannya, menerima perannya dengan penuh rasa syukur. Pembekalan nilai-nilai kebangsaan di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI telah memperluas wawasannya tentang potensi luar biasa Indonesia.
Pada Sabtu, 2 November 2024, ia berkontribusi sebagai salah satu pengajar dalam kuliah umum di Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Sekolah Polwan Polri di Jakarta. Dalam kesempatan tersebut, 800 polwan diperkenalkan dengan ilmu grafologi, keterampilan yang diharapkan dapat mendukung tugas mereka sebagai aparat penegak hukum.
"Dengan memahami grafologi, para polwan dapat lebih efektif dalam menganalisis tulisan tangan, yang berguna dalam berbagai aspek penyelidikan dan pengembangan profil individu," ujarnya.
Gusti Aju telah menganalisis ribuan tulisan tangan dari berbagai kalangan, termasuk figur publik seperti Presiden RI ke-7 Joko Widodo, Dirjen IKP Kominfo Prabu Revolusi, hingga beberapa selebritas nasional termasuk Kiky Saputri.
Pengalamannya ini membawanya pada pemahaman bahwa setiap manusia memiliki potensi unik yang dapat dikembangkan dan analisis grafologi telah membantu menghapus ilusi inferioritas. Ini menunjukkan, Bangsa Indonesia memiliki kemampuan setara dengan bangsa lain jika potensi tersebut diasah dengan baik.
Mengembangkan Grafologi untuk Pemberdayaan Bangsa
Perjalanan profesionalnya membawanya menjadi salah satu pembicara internasional pada Konferensi Forensik dan Grafologi di Kampus La Universidad Interamericana para el Desarrollo, Meksiko, pada 23–26 September 2024.Di sana, Gusti Aju yang saat ini juga sedang menempuh studi Magister Informatika (Master AI) di School of Computer Science Universitas Nusa Putra, membahas relevansi grafologi di era kecerdasan buatan (AI). Partisipasinya membuktikan bahwa Indonesia mampu berkontribusi dalam perkembangan ilmu pengetahuan di tingkat internasional.
Menurutnya, kekayaan Indonesia bukan hanya terletak pada sumber daya alam, tetapi terutama pada sumber daya manusianya. Sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia dan angka kelahiran yang terus bertambah setiap hari, Indonesia memiliki potensi besar yang perlu dikembangkan dari sisi sumber daya manusia.
"Saya terdorong untuk terus mengembangkan grafologi di Tanah Air agar setiap individu dapat mengenali dan mengasah potensinya. Dengan begitu, kita bisa bergerak maju bersama sebagai bangsa yang kuat," ujarnya dalam siaran pers, yang dikutip di Jakarta, Sabtu, 2 November 2024.
Untuk mewujudkan hal tersebut, Aju juga mendirikan ISOG (Indonesian School of Graphologist), sebuah institusi yang bertujuan memfasilitasi masyarakat yang berminat mendalami grafologi secara profesional yang didukung oleh beberapa praktisi Grafolog Internasional.
Pengalaman berinteraksi dengan berbagai individu dari dalam dan luar negeri melalui grafologi telah memberinya keyakinan bahwa tidak ada alasan bagi bangsa Indonesia untuk merasa inferior. "Grafologi menunjukkan bahwa setiap orang memiliki keunikan dan potensi yang sama. Ilusi bahwa bangsa lain lebih unggul adalah hambatan yang harus kita hilangkan," tuturnya.
"Dengan pengembangan diri yang tepat, kita dapat mencapai prestasi yang sama bahkan lebih baik," imbuhnya.
Partisipasinya dalam forum-forum internasional memperkuat keyakinannya, Indonesia memiliki tempat di panggung dunia. "Dulu, saya merasa negara lain lebih maju, tetapi pengalaman beberapa kali menjadi pembicara di Amerika dan Meksiko membuktikan kita mampu bersaing dan berkontribusi secara setara," katanya.
Aju yang juga juga anggota IKAL Strategic Center ini berharap perjalanannya dapat mendorong lebih banyak masyarakat untuk berani mengembangkan diri dan mengharumkan nama Indonesia di mata dunia. "Sebagai manusia, kita semua memiliki potensi yang sama," tegasnya.
Pada tahun 2023, sosok yang sebelumnya selama 13 tahun dikenal sebagai Deborah Dewi memutuskan untuk kembali menggunakan nama lahirnya, Gusti Aju Dewi, sebagai bentuk pendewasaan diri dan penerimaan utuh atas identitasnya.
"Perjalanan bersama grafologi menyadarkan saya bahwa pencapaian terbesar dalam hidup adalah pengendalian diri yang dimulai dengan penerimaan diri secara utuh," ungkap Aju.
Meski publik telah mengenalnya selama 13 tahun sebagai pionir grafologi di Indonesia dengan nama Deborah Dewi, ia merasa sudah saatnya untuk kembali ke akar identitasnya.
Baca juga: Bangga! Dosen ITS Sri Fatmawati Masuk Top 100 Asian Scientist 2024 |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News