Imbasnya, banyak pengangkatan guru honorer di beberapa daerah, khususnya DKI Jakarta dan Jawa Barat dilakukan tanpa melalui proses rekomendasi berjenjang ke tingkat dinas.
Seperti diketahui, di DKI Jakarta saja terakumulasi ada 4.000 tenaga honorer yang direkrut sejak 2016 di lingkup Dinas Pendidikan Jakarta. Jumlah tersebut, nyatanya tidak sesuai dengan Ketentuan Peremendikbudristek Nomor 63 tahun 2022.
Beleid itu menghendaki guru yang dapat diberikan honor harus memenuhi persyaratan seperti: Berstatus bukan ASN, Tercatat pada Data Pokok Pendidikan (Dapodik), Memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK), dan belum mendapat tunjangan profesi guru.
Masalahnya, rekrutmen honorer yang terjadi di DKI Jakarta sejak 2016 diangkat oleh kepala sekolah atas alasan kebutuhan, tanpa lewat rekomendasi Disdik. Sehingga, para honorer yang direkrut pun tak memiliki NUPTK karena prosesnya tidak melewati Dinas.
Berkaca dari fenomena itu, Praktisi CSR dan Pembangunan Sosial Riza Primahendra menilai perlunya Pemda untuk segera menyelesaikan permasalahan-permasalahan terkait guru honorer ini secepatnya dengan mengupayakan solusi-solusi konkret. Masalah guru honorer yang terjadi, menurut Riza, adalah salah satu bentuk perencanaan distribusi pendidikan pemda yang lemah atau belum dilakukan secara matang.
Sehingga persoalan ini semestinya perlu dilihat dari akar perencanaannya terlebih dulu, apakah sejak awal sudah terkonsep secara menyeluruh atau justru sebaliknya.
Apalagi, temuan tersebut menyebutkan bahwa selama ini banyak perekrutan guru honorer yang tidak melalui proses di Disdik. Imbasnya, pemda pun tidak bisa secara utuh melihat latar belakang kompetensi guru yang direkrut.
Riza pun menyarankan pemda yang kedapatan mengambil langkah pemberhentian, untuk sembari mengajukan solusi konkret. Menurutnya, pemda memerlukan solusi jangka pendek, menengah, dan panjang dari kondisi yang guru honorer saat ini.
"Perlu memikirkan situasi sekolah, apakah pertumbuhan murid dan kebutuhan guru kedepannya sesuai. Lalu perlu adanya strategi untuk menjawab perkembangan teknologi digital bagi Pendidikan dengan menambah keterampilan guru untuk profesi sebagai lisensi yang tersertifikasi untuk kesiapan korban cleansing ini agar mereka punya posisi tawar yang lebih besar sebagai guru,” katanya.
Riza melihat salah satu kejadian cleansing guru honorer yang berada di DKI Jakarta berasal dari perencanaan yang belum benar-benar menyeluruh. Memungkinkan juga bahwa guru honorer yang mengajar di DKI Jakarta merupakan pergantian atau mutasi guru tanpa melalui prosedur yang benar, juga tidak meratanya porsi mengajar guru sehingga masih banyak sekali guru honorer yang merangkap mengajar banyak jenjang kelas sekaligus.
Ia kemudian menilai implifikasi positif dalam Merdeka Belajar semestinya meningkatkan kebutuhan guru yang lebih besar agar dapat mengurangi beban mengajar guru di masing-masing sekolah.
"(Merdeka Belajar) ini menuntut mereka semua harus ditingkatkan kapasitas dan kompetensinya khususnya guru honorer karena biasanya proses pendidikan pengembangan peluasan wawasan hanya diberikan guru tetap. Pemda dan Disdik setempat bisa memantau dan memprioritaskan penempatan guru honorer yang semestinya," ujarnya.
Kemudian terkait perekrutan guru, Riza mengatakan, selama ini pola perekrutan guru yang berubah-ubah dan banyak jalur terbukti menyebebkan adanya celah-celah perekrutan yang tidak sesuai aturan UU. Hal ini yang perlu dilihat secara menyeluruh bagaimana proses yang selama ini dilakukan di level Pemda.
Agar nantinya tidak ada lagi celah bagi berbagai pihak meloloskan guru honorer tanpa sepengetahuan pendataan Disdik. Riza juga menanggapi upaya penyelesaian konkret yang di lakukan Pemda DKI Jakarta yang solutif berjangka pendek.
Belum lama ini, Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi telah memberikan solusi dari pemutusan kontrak guru honorer ini melalui pendaftaran pegawai Kontrak Kerja Individu (KKI) pada Agustus 2024 dengan kuota 1.700 guru honorer. Selain itu, opsi pengangkatan guru honorer menjadi ASN melalui seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) juga masih terbuka.
“Sekali lagi, pemda sekitar perlu untuk menelisik jauh proses perencanaan dari distribusi tenaga pendidiknya, monitornya bagaimana, dan apakah sungguh-sungguh dijalankan. Kemudian penting bagi antar birokrasi untuk melakukan sinkronisasi dan komunikasi agar permasalahan yang terjadi tidak dilakukan sepihak dan tiba-tiba,” tutup Riza.
Baca juga: Merdeka Belajar di Riau, 8.400 Guru Telah Diangkat ASN PPPK |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News