medcom.id, Jakarta: Beberapa waktu lalu para pelaku usaha termasuk penjual komponen kendaraan bermotor dihebohkan kabar razia karena produk dagangannya tidak berlabel SNI (standar nasional Indonesia). Bahkan sampai ada yang menutup toko lantaran takut barang dagangan mereka disita.
Hal ini menuai pro dan kontra, bahkan menurut salah satu pengusaha komponen aftermarket lokal, sebenarnya produsen siap mengikuti standar SNI jika memang diwajibkan. Tapi mereka menuntut transparansi dan keadilan.
Menurut Indrawan, Marketing dari produsen knalpot aftermarket WRX mengatakan, kejadian yang lalu justru memberatkan pengusaha lokal saat ingin mengikuti dan melakukan sertifikasi.
"SNI memerlukan beberapa proses sebelum memutuskan produk itu lolos SNI, sedangkan produk impor justru bisa mendapatkan label SNI dengan bebasnya tanpa proses berbelit," bebernya.
Tak hanya Indrawan beberapa produsen komponen aftermarket juga berharap, jika memang diterapkan, setidaknya pemerintah lebih berpihak kepada pengusaha lokal dan mengutamakan produk lokal, ketimbang produk impor.
SNI Tidak Siap
Masalah lainnya untuk penerapan komponen aftermarket pemberi label SNI, pemerintah seakan tidak siap. Contoh kasus saat beberapa waktu lalu, salah satu pabrik pelek aftermaret roda dua racikan lokal, ingin mendapatkan sertifikasi SNI yang dikeluarkan Kementerian Perindustrian.
"Mereka justru bingung untuk pengujian pelek itu apa-apa saja yang diuji, alhasil mereka mengikuti standar pabrikan pelek pabrikan besar. Ini menandakan mereka sebenarnya tidak punya standar baku," beber Jacob dari Inti Jaya Motor, distributor pelek Power dan Chemco.
Tapi sisi positifnya, pengujian pelek aftermarket yang diterapkan untuk berlabel SNI jadi tinggi. "Soalnya yang mereka ikuti itu sudah standar JWL (Japan Light Alloy Wheel Standard). Selain produk, fisik pabrik juga harus sesuai standar," sambungnya.
Selain proses yang berbelit, waktu tunggu yang lama juga dikeluhkan pelaku usaha. "Pelek lokal sertifikasi SNI baru keluar setelah dua atau tiga tahun," tutup Jacob.
medcom.id, Jakarta: Beberapa waktu lalu para pelaku usaha termasuk penjual komponen kendaraan bermotor dihebohkan kabar razia karena produk dagangannya tidak berlabel SNI (standar nasional Indonesia). Bahkan sampai ada yang menutup toko lantaran takut barang dagangan mereka disita.
Hal ini menuai pro dan kontra, bahkan menurut salah satu pengusaha komponen
aftermarket lokal, sebenarnya produsen siap mengikuti standar SNI jika memang diwajibkan. Tapi mereka menuntut transparansi dan keadilan.
Menurut Indrawan, Marketing dari produsen knalpot
aftermarket WRX mengatakan, kejadian yang lalu justru memberatkan pengusaha lokal saat ingin mengikuti dan melakukan sertifikasi.
"SNI memerlukan beberapa proses sebelum memutuskan produk itu lolos SNI, sedangkan produk impor justru bisa mendapatkan label SNI dengan bebasnya tanpa proses berbelit," bebernya.
Tak hanya Indrawan beberapa produsen komponen aftermarket juga berharap, jika memang diterapkan, setidaknya pemerintah lebih berpihak kepada pengusaha lokal dan mengutamakan produk lokal, ketimbang produk impor.
SNI Tidak Siap
Masalah lainnya untuk penerapan komponen
aftermarket pemberi label SNI, pemerintah seakan tidak siap. Contoh kasus saat beberapa waktu lalu, salah satu pabrik pelek aftermaret roda dua racikan lokal, ingin mendapatkan sertifikasi SNI yang dikeluarkan Kementerian Perindustrian.
"Mereka justru bingung untuk pengujian pelek itu apa-apa saja yang diuji, alhasil mereka mengikuti standar pabrikan pelek pabrikan besar. Ini menandakan mereka sebenarnya tidak punya standar baku," beber Jacob dari Inti Jaya Motor, distributor pelek Power dan Chemco.
Tapi sisi positifnya, pengujian pelek
aftermarket yang diterapkan untuk berlabel SNI jadi tinggi. "Soalnya yang mereka ikuti itu sudah standar JWL (Japan Light Alloy Wheel Standard). Selain produk, fisik pabrik juga harus sesuai standar," sambungnya.
Selain proses yang berbelit, waktu tunggu yang lama juga dikeluhkan pelaku usaha. "Pelek lokal sertifikasi SNI baru keluar setelah dua atau tiga tahun," tutup Jacob.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UDA)