Jakarta: Pemerintah Indonesia menegaskan investasi baterai yang ada di Indonesia sudah tepat. Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) juga menegaskan strategi pengembangan baterai berbasis nikel juga tidak salah, dan sama saja dengan baterai litium.
Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves, Septian Hario Seto, menepis anggapan pemerintah memilih strategi yang salah dalam investasi baterai kendaraan listrik. Ia mengatakan baterai kendaraan listrik berbasis nikel maupun litium memiliki potensi pengembangan dan investasi yang sama.
“Sebetulnya, kita tidak berada dalam dikotomi baterai nikel atau baterai litium. Jadi dua-duanya kita punya potensi untuk mengembangkan,” ujar Septian Hario Seto dikutip dari Antara.
Dia menyatakan baterai kendaraan listrik berbasis Nickel Manganese Cobalt (NMC) dan baterai Lithium Ferro Phosphate (LFP) sama-sama akan diterima dan tetap eksis di pasaran. Baterai listrik berbasis nikel banyak diminati di pasar Eropa dan Amerika, sementara baterai listrik berbasis litium banyak digunakan di Asia.
Septian mengatakan kini Indonesia memiliki sumber daya dan fasilitas produksi baterai listrik yang hampir lengkap.
Ia menuturkan kini fasilitas pemurnian litium (lithium refinery) untuk menghasilkan litium hidroksida tengah dibangun di Morowali, Sulawesi Tengah, dan pabrik foil tembaga (copper foil) juga sedang dibangun di Gresik, Jawa Timur. Selain itu, sebuah pabrik bahan anoda untuk baterai litium baru saja diresmikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Kendal, Jawa Tengah, pada Agustus lalu.
“Ini tinggal (pabrik untuk) aluminium foil, elektrolit, sama separator yang kami lagi coba tarik investasinya untuk masuk. Tapi, ini artinya sebenarnya tidak jauh lagi untuk kita bisa punya satu ekosistem industri baterai listrik yang sangat kompetitif,” ujarnya lagi.
Melihat progress pengembangan tersebut, Septian menyatakan ekosistem baterai litium terbesar di dunia, selain di China, kini berada di Indonesia.
Dia mengatakan kapasitas produksi bahan anoda, yang dapat digunakan baik untuk baterai berbasis nikel maupun baterai berbasis litium, mencapai 80 ribu ton per tahun di Indonesia, dan akan menjadi dua kali lipat pada awal 2025. Sedangkan kapasitas produksi bahan anoda di Jepang hanya mencapai 10 ribu ton, sedangkan Korea Selatan 40 ribu ton.
“Jadi, ya kita harus lihat tren pasarnya gimana, dan apa yang kita punya. Jadi kalau dibilang kita agak salah trennya, salah investasi, kemudian (khawatir tren) dunia belok kemana (menjadi berubah), ya tidak,” ujarnya pula.
Jakarta: Pemerintah Indonesia menegaskan investasi baterai yang ada di Indonesia sudah tepat. Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (
Kemenko Marves) juga menegaskan strategi pengembangan baterai berbasis nikel juga tidak salah, dan sama saja dengan
baterai litium.
Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves, Septian Hario Seto, menepis anggapan pemerintah memilih strategi yang salah dalam investasi baterai kendaraan listrik. Ia mengatakan baterai
kendaraan listrik berbasis nikel maupun litium memiliki potensi pengembangan dan investasi yang sama.
“Sebetulnya, kita tidak berada dalam dikotomi baterai nikel atau baterai litium. Jadi dua-duanya kita punya potensi untuk mengembangkan,” ujar Septian Hario Seto dikutip dari Antara.
Dia menyatakan baterai kendaraan listrik berbasis Nickel Manganese Cobalt (NMC) dan baterai Lithium Ferro Phosphate (LFP) sama-sama akan diterima dan tetap eksis di pasaran. Baterai listrik berbasis nikel banyak diminati di pasar Eropa dan Amerika, sementara baterai listrik berbasis litium banyak digunakan di Asia.
Septian mengatakan kini Indonesia memiliki sumber daya dan fasilitas produksi baterai listrik yang hampir lengkap.
Ia menuturkan kini fasilitas pemurnian litium (lithium refinery) untuk menghasilkan litium hidroksida tengah dibangun di Morowali, Sulawesi Tengah, dan pabrik foil tembaga (copper foil) juga sedang dibangun di Gresik, Jawa Timur. Selain itu, sebuah pabrik bahan anoda untuk baterai litium baru saja diresmikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Kendal, Jawa Tengah, pada Agustus lalu.
“Ini tinggal (pabrik untuk) aluminium foil, elektrolit, sama separator yang kami lagi coba tarik investasinya untuk masuk. Tapi, ini artinya sebenarnya tidak jauh lagi untuk kita bisa punya satu ekosistem industri baterai listrik yang sangat kompetitif,” ujarnya lagi.
Melihat progress pengembangan tersebut, Septian menyatakan ekosistem baterai litium terbesar di dunia, selain di China, kini berada di Indonesia.
Dia mengatakan kapasitas produksi bahan anoda, yang dapat digunakan baik untuk baterai berbasis nikel maupun baterai berbasis litium, mencapai 80 ribu ton per tahun di Indonesia, dan akan menjadi dua kali lipat pada awal 2025. Sedangkan kapasitas produksi bahan anoda di Jepang hanya mencapai 10 ribu ton, sedangkan Korea Selatan 40 ribu ton.
“Jadi, ya kita harus lihat tren pasarnya gimana, dan apa yang kita punya. Jadi kalau dibilang kita agak salah trennya, salah investasi, kemudian (khawatir tren) dunia belok kemana (menjadi berubah), ya tidak,” ujarnya pula.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UDA)