Jakarta: Bankir dan ahli moneter, Cyrillus Harinowo, menyatakan transisi menuju dekarbonisasi sektor transportasi di Indonesia tidak harus sepenuhnya bergantung pada kendaraan listrik. Dalam pandangannya, opsi kendaraan rendah emisi lainnya, seperti mobil hybrid dan mobil berteknologi fleksibel (flexy) juga memiliki potensi besar untuk mengurangi karbon.
"Saya awalnya tidak aware dan dogmatis sekali, pokoknya mobil listrik adalah mobil yang ramah lingkungan. Namun akhirnya menjadi paham mobil low cost green car (LCGC) bisa menjadi ramah lingkungan dibandingkan mobil listrik yang ada. Begitu pula mobil hybrid dan mobil flexy," kata Cyrillus dikutip dari Antara.
Keresahannya tersebut dituangkan Cyrillus dalam buku barunya berjudul Multi-pathway for Car Electrification, yang terdiri hampir 300 halaman. Buku ini membahas tren teknologi otomotif terbaru, termasuk mobil listrik murni (Battery Electric Vehicle/BEV) serta berbagai cara mengurangi karbon. Lewat buku ini, Cyrillus berharap pembaca memperoleh pemahaman yang lebih luas tentang keberlanjutan ekonomi dan industri menuju target emisi nol bersih (Net Zero Emissions) Indonesia.
Inspirasi untuk mengeksplorasi lebih jauh mengenai upaya dekarbonisasi ini muncul setelah pernyataan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, pada tahun 2020, yang menyatakan Inggris akan melarang penjualan mobil berbahan bakar konvensional pada 2030.
"Satu pernyataan Boris Johnson itu membuat saya berpikir hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak akan bisa kembali lagi atau irreversible. Sementara masyarakat Indonesia sendiri belum sepenuhnya paham mengenai itu,” ujar Cyrillus.
Dia juga menyoroti bahwa mobil listrik memang bebas emisi saat digunakan, namun masih tergantung pada sumber energi pembangkit yang mayoritas berasal dari bahan bakar fosil.
“Seperti contoh, kalau kita bicara mengenai penggunaan Battery Electric Vehicle (BEV) saat ini, mobil listriknya mungkin nol emisi. Namun ketika ingin mengisi daya baterainya, bauran energi dari sumber listriknya 80 persen berasal dari pembangkit listrik yang digerakkan oleh bahan bakar fosil. Berarti mobil listrik itu sebetulnya masih mengeluarkan emisi karbon,” jelasnya.
Cyrillus mengungkapkan Brasil menjadi salah satu contoh bagi Indonesia, terutama dalam upaya menggunakan bioetanol sebagai bahan bakar alternatif yang dihasilkan dari industri gula. Penggunaan bioetanol di Brasil telah terbukti mampu mengurangi emisi karbon dari sektor transportasi, ditambah dengan pengembangan biodiesel dan kendaraan flexy hybrid yang menggunakan bioetanol.
Menurut Cyrillus, Indonesia berpeluang besar untuk mengembangkan teknologi dan rantai pasok kendaraan listrik dan mesin flexy. Selain itu, cadangan nikel yang dimiliki Indonesia dapat dimanfaatkan untuk memproduksi baterai listrik guna mendukung sektor ini.
Data penjualan mobil di Amerika selama 2023 juga menunjukkan minat konsumen yang signifikan terhadap kendaraan hybrid. “Dengan semakin populernya mobil hybrid maka peluang untuk menghadirkan inovasi baru pun semakin terbuka lebar,” ujar Cyrillus.
Jakarta: Bankir dan ahli moneter, Cyrillus Harinowo, menyatakan transisi menuju dekarbonisasi sektor
transportasi di Indonesia tidak harus sepenuhnya bergantung pada
kendaraan listrik. Dalam pandangannya, opsi kendaraan rendah emisi lainnya, seperti mobil hybrid dan mobil berteknologi fleksibel (flexy) juga memiliki potensi besar untuk mengurangi karbon.
"Saya awalnya tidak aware dan dogmatis sekali, pokoknya mobil listrik adalah mobil yang ramah lingkungan. Namun akhirnya menjadi paham mobil low cost green car (LCGC) bisa menjadi ramah lingkungan dibandingkan mobil listrik yang ada. Begitu pula mobil hybrid dan mobil flexy," kata Cyrillus dikutip dari Antara.
Keresahannya tersebut dituangkan Cyrillus dalam buku barunya berjudul Multi-pathway for Car Electrification, yang terdiri hampir 300 halaman. Buku ini membahas tren teknologi otomotif terbaru, termasuk mobil listrik murni (Battery Electric Vehicle/BEV) serta berbagai cara mengurangi karbon. Lewat buku ini, Cyrillus berharap pembaca memperoleh pemahaman yang lebih luas tentang keberlanjutan ekonomi dan industri menuju target emisi nol bersih (Net Zero Emissions) Indonesia.
Inspirasi untuk mengeksplorasi lebih jauh mengenai upaya dekarbonisasi ini muncul setelah pernyataan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, pada tahun 2020, yang menyatakan Inggris akan melarang penjualan mobil berbahan bakar konvensional pada 2030.
"Satu pernyataan Boris Johnson itu membuat saya berpikir hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak akan bisa kembali lagi atau irreversible. Sementara masyarakat Indonesia sendiri belum sepenuhnya paham mengenai itu,” ujar Cyrillus.
Dia juga menyoroti bahwa mobil listrik memang bebas emisi saat digunakan, namun masih tergantung pada sumber energi pembangkit yang mayoritas berasal dari bahan bakar fosil.
“Seperti contoh, kalau kita bicara mengenai penggunaan Battery Electric Vehicle (BEV) saat ini, mobil listriknya mungkin nol emisi. Namun ketika ingin mengisi daya baterainya, bauran energi dari sumber listriknya 80 persen berasal dari pembangkit listrik yang digerakkan oleh bahan bakar fosil. Berarti mobil listrik itu sebetulnya masih mengeluarkan emisi karbon,” jelasnya.
Cyrillus mengungkapkan Brasil menjadi salah satu contoh bagi Indonesia, terutama dalam upaya menggunakan bioetanol sebagai bahan bakar alternatif yang dihasilkan dari industri gula. Penggunaan bioetanol di Brasil telah terbukti mampu mengurangi emisi karbon dari sektor transportasi, ditambah dengan pengembangan biodiesel dan kendaraan flexy hybrid yang menggunakan bioetanol.
Menurut Cyrillus, Indonesia berpeluang besar untuk mengembangkan teknologi dan rantai pasok kendaraan listrik dan mesin flexy. Selain itu, cadangan nikel yang dimiliki Indonesia dapat dimanfaatkan untuk memproduksi baterai listrik guna mendukung sektor ini.
Data penjualan mobil di Amerika selama 2023 juga menunjukkan minat konsumen yang signifikan terhadap kendaraan hybrid. “Dengan semakin populernya mobil hybrid maka peluang untuk menghadirkan inovasi baru pun semakin terbuka lebar,” ujar Cyrillus.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UDA)