Jakarta: Penjualan mobil listrik di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Pemerintah, melalui Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Kemenko Marves), berharap pertumbuhan penjualan mobil listrik akan terus terjadi di masa mendatang.
Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Rachmat Kaimuddin, mengharapkan tahun ini penjualan mobil listrik lebih baik lagi. Mengingat masyarakat saat ini sudah memiliki banyak pilihan untuk mobil listrik, termasuk dari segi harga yang ditawarkan.
"Kalau kita lihat waktu tahun 2022, hanya ada dua jenis mobil listrik, yaitu Wuling Air EV dan Hyundai Ioniq 5, yang harganya (kedua mobil tersebut) antara Rp200-an juta sama Rp700-800an. Hampir di setiap lini ada mobil dari yang harga Rp200 juta, Rp250 juta, Rp300 juta, Rp400 juta, dan sebagainya. Jadi mau yang murah, mau yang mahal, ada BEV (Battery Electric Vehicle/kendaraan listrik) di Indonesia,” kata Rachmat dikutip dari Antara.
Insentif dari Pemerintah untuk Mendongkrak Penjualan Mobil Listrik
Rachmat juga melaporkan ada 2 kebijakan yang telah diluncurkan untuk meningkatkan penjualan BEV.
Pertama, insentif pajak pertambahan nilai (PPN) untuk mobil dan bus listrik sebesar 10 persen. Insentif PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) diberikan sebesar 10 persen dari harga jual atas penyerahan mobil listrik tertentu yang memenuhi kriteria nilai tingkat komponen dalam negeri (TKDN) 40 persen. Besaran insentif yang sama berlaku untuk bus listrik dengan TKDN yang sama.
Sementara, untuk bus listrik dengan TKDN 20 persen sampai 40 persen, insentif PPN DTP yang diberikan sebesar 5 persen dari harga jual.
Kedua, pemerintah mengeluarkan program insentif bea masuk dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) untuk mobil yang diimpor dalam keadaan komponen lengkap tetapi belum dirakit atau completely knocked down (CKD), serta untuk mobil yang diimpor dalam keadaan utuh atau completely built up (CBU). Periode pemberlakuan insentif ini untuk impor hanya sampai tahun 2025.
“Syaratnya adalah mereka harus berjanji untuk membikin pabrik atau kapasitas produksi di Indonesia dan jumlah produksinya harus sama dengan apa yang mereka impor sampai 2027. Jadi, sampai 2025 misalnya mereka impor 10 ribu (mobil listrik), sampai 2027 mereka harus produksi 10 ribu juga. Kalau tidak, mereka harus kembalikan bea masuk dan PPnBM yang mereka terima, dan untuk itu kami minta bank garansi (agunan pembayaran yang diberikan kepada pihak penerima agunan, apabila pihak yang dijamin tidak memenuhi kewajibannya),” ucap Rachmat.
Perusahaan yang telah berkomitmen untuk investasi diharapkan mulai aktif memproduksi mobil di Indonesia paling lambat awal 2026. Insentif impor akan berakhir pada 2026, sehingga tahun 2026–2027 merupakan periode perusahaan mengejar target produksi sejumlah mobil yang diimpor pada periode 2024–2025.
Apabila selama periode 2028–2029 perusahaan mobil listrik gagal mengejar target produksi, perusahaan tersebut harus mengembalikan dana insentif pemerintah sebesar selisih antara mobil yang diimpor dengan mobil yang diproduksi di dalam negeri melalui bank garansi.
Jakarta: Penjualan
mobil listrik di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Pemerintah, melalui Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (
Kemenko Marves), berharap pertumbuhan penjualan
mobil listrik akan terus terjadi di masa mendatang.
Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Rachmat Kaimuddin, mengharapkan tahun ini penjualan mobil listrik lebih baik lagi. Mengingat masyarakat saat ini sudah memiliki banyak pilihan untuk mobil listrik, termasuk dari segi harga yang ditawarkan.
"Kalau kita lihat waktu tahun 2022, hanya ada dua jenis mobil listrik, yaitu Wuling Air EV dan Hyundai Ioniq 5, yang harganya (kedua mobil tersebut) antara Rp200-an juta sama Rp700-800an. Hampir di setiap lini ada mobil dari yang harga Rp200 juta, Rp250 juta, Rp300 juta, Rp400 juta, dan sebagainya. Jadi mau yang murah, mau yang mahal, ada BEV (Battery Electric Vehicle/kendaraan listrik) di Indonesia,” kata Rachmat dikutip dari Antara.
Insentif dari Pemerintah untuk Mendongkrak Penjualan Mobil Listrik
Rachmat juga melaporkan ada 2 kebijakan yang telah diluncurkan untuk meningkatkan penjualan BEV.
Pertama, insentif pajak pertambahan nilai (PPN) untuk mobil dan bus listrik sebesar 10 persen. Insentif PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) diberikan sebesar 10 persen dari harga jual atas penyerahan mobil listrik tertentu yang memenuhi kriteria nilai tingkat komponen dalam negeri (TKDN) 40 persen. Besaran insentif yang sama berlaku untuk bus listrik dengan TKDN yang sama.
Sementara, untuk bus listrik dengan TKDN 20 persen sampai 40 persen, insentif PPN DTP yang diberikan sebesar 5 persen dari harga jual.
Kedua, pemerintah mengeluarkan program insentif bea masuk dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) untuk mobil yang diimpor dalam keadaan komponen lengkap tetapi belum dirakit atau completely knocked down (CKD), serta untuk mobil yang diimpor dalam keadaan utuh atau completely built up (CBU). Periode pemberlakuan insentif ini untuk impor hanya sampai tahun 2025.
“Syaratnya adalah mereka harus berjanji untuk membikin pabrik atau kapasitas produksi di Indonesia dan jumlah produksinya harus sama dengan apa yang mereka impor sampai 2027. Jadi, sampai 2025 misalnya mereka impor 10 ribu (mobil listrik), sampai 2027 mereka harus produksi 10 ribu juga. Kalau tidak, mereka harus kembalikan bea masuk dan PPnBM yang mereka terima, dan untuk itu kami minta bank garansi (agunan pembayaran yang diberikan kepada pihak penerima agunan, apabila pihak yang dijamin tidak memenuhi kewajibannya),” ucap Rachmat.
Perusahaan yang telah berkomitmen untuk investasi diharapkan mulai aktif memproduksi mobil di Indonesia paling lambat awal 2026. Insentif impor akan berakhir pada 2026, sehingga tahun 2026–2027 merupakan periode perusahaan mengejar target produksi sejumlah mobil yang diimpor pada periode 2024–2025.
Apabila selama periode 2028–2029 perusahaan mobil listrik gagal mengejar target produksi, perusahaan tersebut harus mengembalikan dana insentif pemerintah sebesar selisih antara mobil yang diimpor dengan mobil yang diproduksi di dalam negeri melalui bank garansi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UDA)