Jakarta: Negara dianggap kalah dengan Djoko Tjandra. Buronan Kejaksaan Agung (Kejagung) itu bisa masuk Indonesia tanpa terdeteksi oleh instasi penegakan hukum.
"Saya kira negara kalah dengan seorang Djoko Tjandra begitu bebasnya keluar masuk di negara kita," kata Anggota Komisi III DPR Sarifuddin Sudding di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 8 Juli 2020.
Tidak hanya terkait pengawasan, Sudding juga mengkritisi respons penegak hukum yang lamban. Hingga saat ini, institusi penegak hukum belum mampu mengendus Djoko Tjandra.
Politikus PAN itu menilai polemik ini terjadi akibat kelalaian institusi terkait. Koordinasi Kejagung dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dianggap lemah.
"Saya kira perlu ada pembenahan dan ini merupakan tamparan buat aparat penegakan hukum," ujar dia.
Djoko Tjandra merupakan terpidana kasus pengalihan hak tagih Bank Bali senilai Rp904 miliar yang ditangani Kejaksaan Agung. Kejagung pernah menahan Djoko pada 29 September 1999 hingga Agustus 2000. Tapi, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan ia bebas dari tuntutan karena perbuatannya bukan pidana melainkan perdata.
Kejaksaan mengajukan Pengajuan Kembali (PK) terhadap kasus Djoko ke Mahkamah Agung pada Oktober 2008. Majelis hakim memvonis Djoko Djandra dua tahun penjara dan harus membayar Rp15 juta. Uang milik Djoko di Bank Bali Rp546,166 miliar dirampas negara. Imigrasi juga mencegahnya.
Djoko kabur dari Indonesia ke Port Moresby, Papua Nugini, pada 10 Juni 2009, sehari sebelum MA mengeluarkan putusan perkaranya. Kejaksaan kemudian menetapkan Djoko sebagai buronan.
Jakarta: Negara dianggap kalah dengan Djoko Tjandra. Buronan Kejaksaan Agung (Kejagung) itu bisa masuk Indonesia tanpa terdeteksi oleh instasi penegakan hukum.
"Saya kira negara kalah dengan seorang Djoko Tjandra begitu bebasnya keluar masuk di negara kita," kata Anggota Komisi III DPR Sarifuddin Sudding di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 8 Juli 2020.
Tidak hanya terkait pengawasan, Sudding juga mengkritisi respons penegak hukum yang lamban. Hingga saat ini, institusi penegak hukum belum mampu mengendus Djoko Tjandra.
Politikus PAN itu menilai polemik ini terjadi akibat kelalaian institusi terkait. Koordinasi Kejagung dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dianggap lemah.
"Saya kira perlu ada pembenahan dan ini merupakan tamparan buat aparat penegakan hukum," ujar dia.
Djoko Tjandra merupakan terpidana kasus pengalihan hak tagih Bank Bali senilai Rp904 miliar yang ditangani Kejaksaan Agung. Kejagung pernah menahan Djoko pada 29 September 1999 hingga Agustus 2000. Tapi, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan ia bebas dari tuntutan karena perbuatannya bukan pidana melainkan perdata.
Kejaksaan mengajukan Pengajuan Kembali (PK) terhadap kasus Djoko ke Mahkamah Agung pada Oktober 2008. Majelis hakim memvonis Djoko Djandra dua tahun penjara dan harus membayar Rp15 juta. Uang milik Djoko di Bank Bali Rp546,166 miliar dirampas negara. Imigrasi juga mencegahnya.
Djoko kabur dari Indonesia ke Port Moresby, Papua Nugini, pada 10 Juni 2009, sehari sebelum MA mengeluarkan putusan perkaranya. Kejaksaan kemudian menetapkan Djoko sebagai buronan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MBM)
