Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat. Foto: Medcom
Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat. Foto: Medcom

Perubahan Iklim Makin Nyata, Semua Pihak Dituntut Memperhatikan Kelestarian Lingkungan

Achmad Zulfikar Fazli • 15 Mei 2024 19:23
Jakarta: Fenomena perubahan iklim terlihat makin nyata. Semua pihak diminta dapat mengambil sejumlah langkah untuk melindungi masyarakat dari risiko bencana alam.
 
"Kondisi anomali iklim yang terjadi dewasa ini mengingatkan tentang ancaman fenomena perubahan iklim semakin nyata dan kita dituntut memperhatikan kelestarian lingkungan hidup," kata Wakil Ketua MPR, Lestari Moerdijat (Rerie), saat membuka diskusi daring bertema Mitigasi Dampak Ancaman Nyata Banjir dan Udara Panas di Indonesia yang diselenggarakan Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu, 15. 
 
Menurut Rerie, dampak perubahan iklim sudah mengkhawatirkan karena sumber daya air semakin langka, bencana alam berulang, kekeringan, kegagalan panen, kebakaran lahan, dan fenomena lainnya yang tidak dapat dihindari.

Catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), ujar Rerie, melaporkan terdapat 507 kejadian bencana banjir yang terjadi di Indonesia sejak 1 Januari-14 Mei 2024.
 
Menurut dia, salah satu upaya mitigasi bencana yang diperlukan secara berkelanjutan adalah sosialisasi dan edukasi. Perlu ada pemahaman bagaimana masyarakat bisa hidup aman dan nyaman berdampingan dengan alam, sehingga pelestarian lingkungan hidup harus diperluas untuk menekan dampak bencana yang terjadi. 
 
Seluruh elemen masyarakat, tambah dia, harus menyadari sebagai negara tropis, Indonesia selalu menghadapi risiko bencana hidrometeorologi, seperti banjir dan kekeringan. 
 
Oleh karena itu, tegas Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, peran para pemangku kepentingan, dunia usaha, dan seluruh elemen masyarakat sampai tingkatan yang paling dasar, harus mampu secara konsisten mewujudkan kepekaan sosial terhadap berbagai risiko yang muncul dari dampak perubahan iklim yang terjadi. 
 
Menurut dia, kepekaan sosial masyarakat yang tumbuh untuk menyikapi berbagai potensi risiko bencana alam, itu merupakan bagian dari upaya negara dalam melindungi setiap anak bangsa dari setiap ancaman yang datang.
 
Baca Juga: Korban Banjir Bandang di Agam Ditemukan 5 Km dari Lokasi Bencana

Sementara itu, Direktur Perencanaan dan Pengawasan Pengelolaan DAS, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Muchamad Saparis Soedarjanto, mengungkapkan ada sejumlah potensi perubahan landscape dan bentang alam akibat perubahan iklim. 
 
Selain itu, kata dia, indeks bencana alam Indonesia begitu tinggi yang antara lain dipicu laju sedimentasi yang tinggi di sejumlah aliran sungai hingga mencapai 250 ton/Km2/tahun.
 
Dampak lainnya, tegas dia, gangguan lingkungan di kawasan hulu sungai juga menyebabkan sejumlah daerah di tanah air mengalami kekurangan pasokan air bersih. Padahal, tambah Muchamad Saparis, Indonesia memiliki curah hujan yang tinggi. 
 
Perbaikan lingkungan hulu sungai, tambah dia, harus segera dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan air bersih, sekaligus meningkatkan kualitasnya. 
 
Sejumlah bencana banjir yang terjadi di Demak, Jawa Tengah, dan Sumatra Barat, menurut Muchamad Saparis, harus diantisipasi dengan berbagai skema adaptasi yang berkelanjutan.
 
Direktur Mitigasi Bencana BNPB, Berton Suar Pelita Panjaitan, mengungkapkan bencana hidrometeorologi sudah menjadi ancaman di berbagai daerah. Dampak perubahan iklim harus diwaspadai seperti terjadinya cuaca ekstrem hingga angin puting beliung. 
 
Dia menegaskan mitigasi menjadi penting untuk mengurangi dan mencegah dampak dari perubahan iklim tersebut. Upaya mitigasi, menurut Berton, bisa dalam bentuk mitigasi struktural, antara lain dalam bentuk perbaikan daerah aliran sungai dan mitigasi non-struktural yang antara lain harus diikuti dengan pelibatan masyarakat dalam mengupayakan kebersihan lingkungan dengan tidak membuang sampah di aliran sungai dan penghijauan di lahan-lahan kritis. 
 
Selain itu, tambah dia, upaya lain yang harus dilakukan adalah mengedukasi masyarakat sebagai bagian langkah untuk mengurangi risiko yang bisa berdampak pada kehidupan keseharian. Menurut Berton, pendidikan aman bencana harus dilakukan melalui berbagai kajian di sekolah-sekolah sampai aplikasinya di lapangan. 
 
Dia juga menyarankan pemerintah daerah segera menyusun rencana kontigensi bencana banjir di wilayah kewenangannya masing-masing, terutama di kawasan-kawasan wisata. 
 
Berton menyayangkan ketersediaan informasi cuaca selama ini belum banyak dimanfaatkan dalam bentuk aksi pencegahan di lapangan. 
 
Dia menyarankan pembentukan tim siaga bencana di setiap desa harus dihidupkan kembali seperti halnya siskamling di masa lalu, dalam upaya mengantisipasi potensi bencana yang terjadi. 
 
Di samping itu, Kepala Pusat Meteorologi Maritim BMKG, Eko Prasetyo, mengungkapkan beberapa pekan terakhir, terjadi dua hal menarik yang terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia, terjadi banjir akibat curah hujan yang tinggi, tetapi saat bersamaan muncul udara panas yang luar biasa. 
 
Menurut Eko, posisi Indonesia yang berada di sepanjang khatulistiwa menyebabkan pola musim yang tidak kenal kemarau di beberapa daerah. Sehingga, tambah dia, masyarakat yang berada di dataran tinggi atau dataran rendah harus terus meningkatkan kewaspadaan terhadap sejumlah dampak perubahan iklim. 
 
Dia mengatakan peringatan dini BMKG punya waktu yang terbatas untuk direspons. Sehingga, masyarakat selalu terlambat menghindar dari ancaman bencana. 
 
Peneliti Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN, Didi Setiadi, berpendapat Indonesia merupakan wilayah yang sangat rentan terhadap bencana hidrometeorologi yang dipengaruhi angin kencang, rob, hingga udara panas. Tingkat risiko yang ditimbulkan sangat bergantung pada lokasi dan waktu bencana terjadi. 
 
Didi mengakui dinamika atmosfer di Indonesia sangat dipengaruhi konveksi dan gelombang atmosfer yang saling berinteraksi, sehingga menghasilkan dinamika yang kompleks dan sulit diprediksi. 
 
Menurut Didi, pemanasan global menyebabkan kenaikan suhu rata-rata atmosfer mendorong peningkatan curah hujan dan angin badai yang  lebih sering. Kondisi itu, tambah dia, menyebabkan air menguap lebih cepat dari tanah, sehingga memicu kekerasan yang lebih cepat. 
 
Staf Ahli Pusat Studi Bencana Alam UGM, Djati Mardiatno, berpendapat secara umum Indonesia merupakan wilayah rawan terhadap bencana hidrometeorologi. Sehingga, ujar Djati, masyarakat harus mengenal dengan baik karakter lingkungan tempat tinggal mereka. 
 
Menurut dia, informasi komprehensif dan mudah dipahami masyarakat tentang bencana hidrometeorologi penting untuk diwujudkan, sehingga mampu meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap potensi ancaman bencana yang dihadapi.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan