Jakarta: Keselamatan jurnalis Indonesia belum sepenuhnya terjamin. Ancaman terhadap keselamatan jurnalis terutama datang dari negara dan organisasi masyarakat (ormas).
Temuan ini didapat melalui pengukuran Indeks Keselamatan Jurnalis yang dilakukan Yayasan Tifa sebagai bagian dari Konsorsium Jurnalisme Aman bersama PPMN dan HRWG berkolaborasi dengan Populix dan didukung Kedutaan Belanda.
Indeks Keselamatan Jurnalis 2023 berada pada skor 59,8 dari 100 atau masuk dalam kategori Agak Terlindungi. Skor ini di antaranya disumbang angka kekerasan dialami jurnalis baik yang dihimpun melalui survei maupun dari kasus yang ditangani oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sepanjang 2023.
Melalui survei terhadap 536 responden, sebanyak 45 persen responden mengaku pernah mengalami kekerasan. Sedangkan, data AJI menunjukkan angka kekerasan terhadap jurnalis mencapai 87 kasus atau naik 16 kasus dari tahun sebelumnya.
Bentuk kekerasan paling banyak berupa pelarangan liputan (45 persen), pelarangan pemberitaan (44 persen) dan teror dan intimidasi (39 persen). Survei juga mencatat satu jurnalis dapat mengalami beragam bentuk kekerasan dan jurnalis perempuan lebih rentan.
Ancaman terhadap keselamatan jurnalis datang dari berbagai pihak. Mulai dari ormas (29 persen), negara melalui polisi (26 persen) dan pejabat pemerintah (22 persen), aktor politik (14 persen), hingga perusahan media itu (7 persen). Sisanya, 4 persen menyebut aktor lainnya.
Direktur Eksekutif Yayasan TIFA Oslan Purba mengatakan indeks ini bertujuan memetakan permasalahan yang dihadapi jurnalis, memberikan data yang relevan untuk mencegah kekerasan, serta meningkatkan kondisi kerja dan profesionalisme jurnalistik di Indonesia.
“Pengukuran ini diupayakan agar bisa secara regular dan diharapkan bisa menjadi salah satu alat monitoring serta menemukan faktor-faktor masalah keselamatan jurnalis, sehingga menjadi bahan advokasi untuk mewujudkan jurnalisme aman di Indonesia,” ujar Oslan dalam acara peluncuran Indeks Keselamatan Jurnalis 2023, di Jakarta, Kamis, 28 Maret 2024.
Indeks Keselamatan Jurnalis 2023 diukur melalui metode survei kepada jurnalis dan dipadukan dengan data aktual kasus kekerasan terhadap jurnalis yang ditangani Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Gambaran kondisi keselamatan jurnalis dalam menjalankan profesinya disusun berdasarkan tiga pilar utama yang mencakup individu jurnalis, pilar stakeholder media, serta pilar negara dan regulasi.
Pilar individu jurnalis dibangun dari dua variabel, yakni pengalaman kekerasan yang dialami jurnalis dan pengetahuan jurnalis akan perlindungan dari kekerasan. Sedangkan, pilar stakeholder media, menggali pengalaman dan pandangan jurnalis terhadap peran perusahaan media, organisasi masyarakat sipil seperti organisasi jurnalis dan lembaga bantuan hukum, serta peran lembaga negara seperti Dewan Pers dan Komnas HAM.
Kemudian, pilar negara dan regulasi didapat dengan menggali pengalaman dan persepsi jurnalis terhadap peran negara dan penegak hukum serta regulasi.
Sementara itu, Manajer Riset Populix, Nazmi Haddyat Tamara, mengatakan di antara ketiga pilar ini, pilar individu mendapat skor terendah (36,08), diikuti pilar negara dan regulasi (64,36), dan pilar stakeholder media (74,36).
“Pilar individu mendapat skor rendah, didorong kasus kekerasan yang masih tinggi, termasuk mengenai adanya penyensoran. Di sisi lain, umumnya jurnalis mengakui bila pekerjaannya berisiko,” jelas Nazmi.
3 Tantangan Besar Jurnalis
Direktur LBH Pers Ade Wahyudin mengungkapkan ada tiga tantangan besar yang dihadapi jurnalis ketika mengalami tindakan kekerasan. Salah satunya adalah keengganan melaporkan tindakan kekerasan kepada pihak berwajib.
“Alasan keengganan melaporkan tindak kekerasan ini karena melihat kasus sebelumnya yang sudah dilaporkan dan tidak ada kemajuan di kepolisian. Tantangan kedua adalah aparat penegak hukum yang lambat dalam menuntaskan kasus kekerasan yang dialami jurnalis. Tantangan ketiga adalah perusahaan medianya yang kadang di tengah jalan menarik laporan tersebut dari pihak berwajib dengan berbagai alasan,” jelas Ade.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur KBR Media Citra Prastuti mengakui tidak semua perusahaan media punya sumber daya melakukan pelatihan keselamatan untuk jurnalis. Sebab, biasanya pelatihan keselamatan jurnalis dilakukan pihak eksternal.
“Kami biasanya menerapkan sistem ToT terkait pelatihan keselamatan untuk jurnalis. Ini karena memang perusahaan belum mampu melakukan sendiri tapi memang betul keselamatan jurnalis merupakan sesuatu yang penting,” ungkap Citra.
Selain potensi ancaman dari negara lewat aparaturnya, skor pilar negara dan regulasi dibentuk penilaian atas potensi ancaman atas sejumlah regulasi jurnalis. Umumnya jurnalis menilai UU seperti UU PDP, UU ITE dan UU KUHP dapat mengancam keselamatan mereka saat bekerja.
Koordinator Sub Komisi Penegakan HAM Komnas HAM Uli Parulian Sihombing mengungkapkan ada kesenjangan pengetahuan dari sejumlah stakeholder terkait hak kebebasan berpendapat dan berekspresi. Ini yang membuat banyak kasus kekerasan dan pencemaran nama baik yang dialami jurnalis.
“Sejak 2018-2024, ada tujuh kasus kekerasan yang dilaporkan ke Komnas HAM. Lima kasus kekerasan verbal dan dua kasus penyiksaan. Untuk kasus pencemaran nama baik dan pelanggaran UU ITE ada lima kasus. Komnas HAM sudah membuat panduan jurnalis adalah bagian dari pembela HAM dan ini sudah disampaikan kepada stakeholder,” jelas Uli.
Komnas HAM juga selalu berkoordinasi dengan Dewan Pers apabila menerima laporan terkait pencemaran nama baik yang dilakukan jurnalis.
Peringatan Dini Keselamatan Jurnalis
Kementerian Komunikasi dan Informatika mengapresiasi indeks keselamatan jurnalis. Direktur Pengelolaan Media Kementerian Komunikasi dan Informatika Nursodik Gunarjo mengatakan indeks ini akan menjadi early warning system ketika keselamatan jurnalis turun bisa dipantau banyak orang.
“Tapi yang penting setelah adanya indeks ini adalah apa yang harus dilakukan selanjutnya agar keselamatan jurnalis bisa tetap dijaga. Kami sebenarnya ingin tidak ada lagi kekerasan terhadap jurnalis. Mungkin salah satu yang bisa dilakukan adalah regulasi, tapi regulasi itu seperti mata uang, ketika kebebasan pers guaranteed by the law maka di saat yang sama ada yang merasa limited by the law,” jelas Nursodik.
Nursodik mengatakan pemerintah tidak akan mengatur pers karena sudah ada UU terkait kebebasan pers. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah kalangan pers mengajukan kepada pemerintah untuk membuat UU yang bisa mengatur keselamatan jurnalis, seperti UU Publisher RIght yang baru disahkan pemerintah.
Ketua AJI Indonesia Sasmito Madrid berharap, untuk menjamin keselamatan jurnalis, perlu segera dibuat rencana aksi nasional. Langkah ini dalam rangka mewujudkan keselamatan jurnalis.
Pengumpulan data melalui survei untuk Indeks Keselamatan Jurnalis dilakukan pada 22 Januari-13 Februari 2024 dengan metode self filling oleh para jurnalis dengan cara mengirimkan kuesioner. Responden yang terdata di sejumlah organisasi serta ada yang didatangi langsung saat berada di lapangan, serta wawancara kepada sejumlah jurnalis untuk verifikasi informasi yang krusial.
Jurnalis yang terangkum dalam survei ini sebanyak 536 orang. Mereka tersebar di seluruh Indonesia serta mewakili jurnalis dari beragam jenis media.
Jakarta: Keselamatan
jurnalis Indonesia belum sepenuhnya terjamin. Ancaman terhadap keselamatan jurnalis terutama datang dari negara dan organisasi masyarakat (ormas).
Temuan ini didapat melalui pengukuran Indeks Keselamatan Jurnalis yang dilakukan Yayasan Tifa sebagai bagian dari Konsorsium Jurnalisme Aman bersama PPMN dan HRWG berkolaborasi dengan Populix dan didukung Kedutaan Belanda.
Indeks Keselamatan Jurnalis 2023 berada pada skor 59,8 dari 100 atau masuk dalam kategori Agak Terlindungi. Skor ini di antaranya disumbang angka kekerasan dialami jurnalis baik yang dihimpun melalui survei maupun dari kasus yang ditangani oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sepanjang 2023.
Melalui survei terhadap 536 responden, sebanyak 45 persen responden mengaku pernah mengalami
kekerasan. Sedangkan, data AJI menunjukkan angka kekerasan terhadap jurnalis mencapai 87 kasus atau naik 16 kasus dari tahun sebelumnya.
Bentuk kekerasan paling banyak berupa pelarangan liputan (45 persen), pelarangan pemberitaan (44 persen) dan teror dan intimidasi (39 persen). Survei juga mencatat satu jurnalis dapat mengalami beragam bentuk kekerasan dan jurnalis perempuan lebih rentan.
Ancaman terhadap keselamatan jurnalis datang dari berbagai pihak. Mulai dari ormas (29 persen), negara melalui polisi (26 persen) dan pejabat pemerintah (22 persen), aktor politik (14 persen), hingga perusahan media itu (7 persen). Sisanya, 4 persen menyebut aktor lainnya.
Direktur Eksekutif Yayasan TIFA Oslan Purba mengatakan indeks ini bertujuan memetakan permasalahan yang dihadapi jurnalis, memberikan data yang relevan untuk mencegah kekerasan, serta meningkatkan kondisi kerja dan profesionalisme jurnalistik di Indonesia.
“Pengukuran ini diupayakan agar bisa secara regular dan diharapkan bisa menjadi salah satu alat monitoring serta menemukan faktor-faktor masalah keselamatan jurnalis, sehingga menjadi bahan advokasi untuk mewujudkan jurnalisme aman di Indonesia,” ujar Oslan dalam acara peluncuran Indeks Keselamatan Jurnalis 2023, di Jakarta, Kamis, 28 Maret 2024.
Indeks Keselamatan Jurnalis 2023 diukur melalui metode survei kepada jurnalis dan dipadukan dengan data aktual kasus kekerasan terhadap jurnalis yang ditangani Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Gambaran kondisi keselamatan jurnalis dalam menjalankan profesinya disusun berdasarkan tiga pilar utama yang mencakup individu jurnalis, pilar stakeholder media, serta pilar negara dan regulasi.
Pilar individu jurnalis dibangun dari dua variabel, yakni pengalaman kekerasan yang dialami jurnalis dan pengetahuan jurnalis akan perlindungan dari kekerasan. Sedangkan, pilar stakeholder media, menggali pengalaman dan pandangan jurnalis terhadap peran perusahaan media, organisasi masyarakat sipil seperti organisasi jurnalis dan lembaga bantuan hukum, serta peran lembaga negara seperti Dewan Pers dan Komnas HAM.
Kemudian, pilar negara dan regulasi didapat dengan menggali pengalaman dan persepsi jurnalis terhadap peran negara dan penegak hukum serta regulasi.
Sementara itu, Manajer Riset Populix, Nazmi Haddyat Tamara, mengatakan di antara ketiga pilar ini, pilar individu mendapat skor terendah (36,08), diikuti pilar negara dan regulasi (64,36), dan pilar stakeholder media (74,36).
“Pilar individu mendapat skor rendah, didorong kasus kekerasan yang masih tinggi, termasuk mengenai adanya penyensoran. Di sisi lain, umumnya jurnalis mengakui bila pekerjaannya berisiko,” jelas Nazmi.
3 Tantangan Besar Jurnalis
Direktur LBH Pers Ade Wahyudin mengungkapkan ada tiga tantangan besar yang dihadapi jurnalis ketika mengalami tindakan kekerasan. Salah satunya adalah keengganan melaporkan tindakan kekerasan kepada pihak berwajib.
“Alasan keengganan melaporkan tindak kekerasan ini karena melihat kasus sebelumnya yang sudah dilaporkan dan tidak ada kemajuan di kepolisian. Tantangan kedua adalah aparat penegak hukum yang lambat dalam menuntaskan kasus kekerasan yang dialami jurnalis. Tantangan ketiga adalah perusahaan medianya yang kadang di tengah jalan menarik laporan tersebut dari pihak berwajib dengan berbagai alasan,” jelas Ade.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur KBR Media Citra Prastuti mengakui tidak semua perusahaan media punya sumber daya melakukan pelatihan keselamatan untuk jurnalis. Sebab, biasanya pelatihan keselamatan jurnalis dilakukan pihak eksternal.
“Kami biasanya menerapkan sistem ToT terkait pelatihan keselamatan untuk jurnalis. Ini karena memang perusahaan belum mampu melakukan sendiri tapi memang betul keselamatan jurnalis merupakan sesuatu yang penting,” ungkap Citra.
Selain potensi ancaman dari negara lewat aparaturnya, skor pilar negara dan regulasi dibentuk penilaian atas potensi ancaman atas sejumlah regulasi jurnalis. Umumnya jurnalis menilai UU seperti UU PDP, UU ITE dan UU KUHP dapat mengancam keselamatan mereka saat bekerja.
Koordinator Sub Komisi Penegakan HAM Komnas HAM Uli Parulian Sihombing mengungkapkan ada kesenjangan pengetahuan dari sejumlah stakeholder terkait hak kebebasan berpendapat dan berekspresi. Ini yang membuat banyak kasus kekerasan dan pencemaran nama baik yang dialami jurnalis.
“Sejak 2018-2024, ada tujuh kasus kekerasan yang dilaporkan ke Komnas HAM. Lima kasus kekerasan verbal dan dua kasus penyiksaan. Untuk kasus pencemaran nama baik dan pelanggaran UU ITE ada lima kasus. Komnas HAM sudah membuat panduan jurnalis adalah bagian dari pembela HAM dan ini sudah disampaikan kepada stakeholder,” jelas Uli.
Komnas HAM juga selalu berkoordinasi dengan Dewan Pers apabila menerima laporan terkait pencemaran nama baik yang dilakukan jurnalis.
Peringatan Dini Keselamatan Jurnalis
Kementerian Komunikasi dan Informatika mengapresiasi indeks keselamatan jurnalis. Direktur Pengelolaan Media Kementerian Komunikasi dan Informatika Nursodik Gunarjo mengatakan indeks ini akan menjadi early warning system ketika keselamatan jurnalis turun bisa dipantau banyak orang.
“Tapi yang penting setelah adanya indeks ini adalah apa yang harus dilakukan selanjutnya agar keselamatan jurnalis bisa tetap dijaga. Kami sebenarnya ingin tidak ada lagi kekerasan terhadap jurnalis. Mungkin salah satu yang bisa dilakukan adalah regulasi, tapi regulasi itu seperti mata uang, ketika kebebasan pers guaranteed by the law maka di saat yang sama ada yang merasa l
imited by the law,” jelas Nursodik.
Nursodik mengatakan pemerintah tidak akan mengatur pers karena sudah ada UU terkait kebebasan pers. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah kalangan pers mengajukan kepada pemerintah untuk membuat UU yang bisa mengatur keselamatan jurnalis, seperti UU Publisher RIght yang baru disahkan pemerintah.
Ketua AJI Indonesia Sasmito Madrid berharap, untuk menjamin keselamatan jurnalis, perlu segera dibuat rencana aksi nasional. Langkah ini dalam rangka mewujudkan keselamatan jurnalis.
Pengumpulan data melalui survei untuk Indeks Keselamatan Jurnalis dilakukan pada 22 Januari-13 Februari 2024 dengan metode
self filling oleh para jurnalis dengan cara mengirimkan kuesioner. Responden yang terdata di sejumlah organisasi serta ada yang didatangi langsung saat berada di lapangan, serta wawancara kepada sejumlah jurnalis untuk verifikasi informasi yang krusial.
Jurnalis yang terangkum dalam survei ini sebanyak 536 orang. Mereka tersebar di seluruh Indonesia serta mewakili jurnalis dari beragam jenis media.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)