medcom.id, Jakarta: Kasus kekerasan seksual pada anak dan perempuan makin tak terkendali. Guna menanganinya, negara punya lima tanggung jawab yang disebut 5P.
"5P yaitu pencegahan, pelayanan, penuntutan dan penyidikan, penghukuman, serta pemulihan. Saat ini, 5P belum berjalan dengan maksimal. Sehingga, kekerasan seksual terus terulang," Kata Komisioner Komnas Perempuan Sri Nur Herawati dalam Fokus Grup Diskusi (FGD) Kekerasan Seksual bersama Mabes Polri, Jalan Suryo, Jakarta Selatan, Jumat (27/5/2016).
Sri menjelaskan, pencegahan harus dimulai dengan menghapus diskriminasi terhadap perempuan. Sebab, seringkali perempuan menjadi objek dan dianggap sebagai sumber masalah.
"Lalu pencegahan, dapat melalui pendidikan reproduksi. Biar anak dan orang tua tahu, bagian mana saja yang tidak boleh disentuh. AApalagi mengalami kekerasan dan dipaksa," terangnya.
Sri menambahkan, beberapa orang tua ada yang membiarkan ketika bagian vital anaknya dicolek orang lain. Padahal, tindakan itu bisa jadi memicu kekerasan seksual.
"Ah dicolek doang, mungkin tidak sengaja. Lalu, besok-besok pelaku bisa saja memegang, memeluk, dan melakukan tindakan lebih dari itu," tuturnya.
Kemudian pelayanan, menurut Sri selama ini kepolisian belum memberikan pelayanan maksimal terhadap korban. Keluarga korban harus mengeluarkan uang sendiri untuk melakukan visum.
"Polisi selalu minta baju dan celana dalam yang ada bercak sperma. Kalau sudah tidak ada, lalu negara hadirnya di mana?" tanya Sri.
Selanjutnya penyidikan dan penuntutan serta penghukuman wajib diberikan untuk efek jera pelaku. Terakhir pemulihan, setiap korban kekerasan seksual wajib mendapatkan pemulihan psikis dan nama baiknya.
"Saat ini, pelaksanaannya baru sampai P ke tiga. Kalau penghukuman dan pemulihan, masih jauh sekali," pungkasnya.
medcom.id, Jakarta: Kasus kekerasan seksual pada anak dan perempuan makin tak terkendali. Guna menanganinya, negara punya lima tanggung jawab yang disebut 5P.
"5P yaitu pencegahan, pelayanan, penuntutan dan penyidikan, penghukuman, serta pemulihan. Saat ini, 5P belum berjalan dengan maksimal. Sehingga, kekerasan seksual terus terulang," Kata Komisioner Komnas Perempuan Sri Nur Herawati dalam Fokus Grup Diskusi (FGD) Kekerasan Seksual bersama Mabes Polri, Jalan Suryo, Jakarta Selatan, Jumat (27/5/2016).
Sri menjelaskan, pencegahan harus dimulai dengan menghapus diskriminasi terhadap perempuan. Sebab, seringkali perempuan menjadi objek dan dianggap sebagai sumber masalah.
"Lalu pencegahan, dapat melalui pendidikan reproduksi. Biar anak dan orang tua tahu, bagian mana saja yang tidak boleh disentuh. AApalagi mengalami kekerasan dan dipaksa," terangnya.
Sri menambahkan, beberapa orang tua ada yang membiarkan ketika bagian vital anaknya dicolek orang lain. Padahal, tindakan itu bisa jadi memicu kekerasan seksual.
"Ah dicolek doang, mungkin tidak sengaja. Lalu, besok-besok pelaku bisa saja memegang, memeluk, dan melakukan tindakan lebih dari itu," tuturnya.
Kemudian pelayanan, menurut Sri selama ini kepolisian belum memberikan pelayanan maksimal terhadap korban. Keluarga korban harus mengeluarkan uang sendiri untuk melakukan visum.
"Polisi selalu minta baju dan celana dalam yang ada bercak sperma. Kalau sudah tidak ada, lalu negara hadirnya di mana?" tanya Sri.
Selanjutnya penyidikan dan penuntutan serta penghukuman wajib diberikan untuk efek jera pelaku. Terakhir pemulihan, setiap korban kekerasan seksual wajib mendapatkan pemulihan psikis dan nama baiknya.
"Saat ini, pelaksanaannya baru sampai P ke tiga. Kalau penghukuman dan pemulihan, masih jauh sekali," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(NIN)
