medcom.id, Jakarta: Warga di pelosok Indonesia banyak mengeluh soal Kartu Tanda Penduduk elektronik (KTP-el). Untuk itu, Ombudsman Republik Indonesia (ORI) meminta Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri melakukan diskresi. Sebab jargon negara hadir hingga ke perbatasan harus diimplementasikan.
Jangan sampai warga pedalaman kesulitan mengurus kartu 'nyawa' penduduk itu. Karena nyatanya warga di pedalaman, seperti hutan lindung atau tanah adat tidak punya KTP-el. Padahal sebelum Negara Indonesia berdiri, nenek moyang mereka sudah tinggal di sana
"Meskipun mereka tinggal di daerah yang tidak sah, tapi bukan semata-mata kesalahan mereka. Kadang-kadang penetapan daerah hutan lindung itu setelah mereka tinggal, jadi ada proses negosiasi dan diskresi," kata Komisioner ORI Ahmad Suaedy di kantor Ombudsman RI, Jakarta, Kamis 28 September 2017.
Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri Zudan Arif Fakrulloh sepakat dengan permintaan Ahmad. Menurutnya pemberian KTP-el sebagai hak kewarganegaraan memiliki urgensi tersendiri. Jauh lebih urgen daripada mempermasalahkan lokasi tempat tinggal.
Untuk itu ia menyatakan bakal mendesain label daerah hunian bagi warga pedalaman, khususnya mereka yang hidup di hutan lindung dan tanah adat. Tujuannya supaya sistem catatan kependudukan bisa dilakikan dengan mudah.
"Ada rumah tetap sehingga kalau ada BPJS nanti iurannya di bayar Pemda setempat, untuk Pilkada nyoblosnya ada disitu," kata Zudan.
Seperti diketahui, hingga kini ada 175.949.127 penduduk yang telah merekam data mereka. Data tersebut setara dengan 94,98% warga yang wajib memiliki KPT di Indonesia. Dari jumlah itu, tersisa 5,02% atau 9.300.584 jiwa yang belum melakukan perekaman.
Area lampiran
medcom.id, Jakarta: Warga di pelosok Indonesia banyak mengeluh soal Kartu Tanda Penduduk elektronik (KTP-el). Untuk itu, Ombudsman Republik Indonesia (ORI) meminta Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri melakukan diskresi. Sebab jargon negara hadir hingga ke perbatasan harus diimplementasikan.
Jangan sampai warga pedalaman kesulitan mengurus kartu 'nyawa' penduduk itu. Karena nyatanya warga di pedalaman, seperti hutan lindung atau tanah adat tidak punya KTP-el. Padahal sebelum Negara Indonesia berdiri, nenek moyang mereka sudah tinggal di sana
"Meskipun mereka tinggal di daerah yang tidak sah, tapi bukan semata-mata kesalahan mereka. Kadang-kadang penetapan daerah hutan lindung itu setelah mereka tinggal, jadi ada proses negosiasi dan diskresi," kata Komisioner ORI Ahmad Suaedy di kantor Ombudsman RI, Jakarta, Kamis 28 September 2017.
Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri Zudan Arif Fakrulloh sepakat dengan permintaan Ahmad. Menurutnya pemberian KTP-el sebagai hak kewarganegaraan memiliki urgensi tersendiri. Jauh lebih urgen daripada mempermasalahkan lokasi tempat tinggal.
Untuk itu ia menyatakan bakal mendesain label daerah hunian bagi warga pedalaman, khususnya mereka yang hidup di hutan lindung dan tanah adat. Tujuannya supaya sistem catatan kependudukan bisa dilakikan dengan mudah.
"Ada rumah tetap sehingga kalau ada BPJS nanti iurannya di bayar Pemda setempat, untuk Pilkada nyoblosnya ada disitu," kata Zudan.
Seperti diketahui, hingga kini ada 175.949.127 penduduk yang telah merekam data mereka. Data tersebut setara dengan 94,98% warga yang wajib memiliki KPT di Indonesia. Dari jumlah itu, tersisa 5,02% atau 9.300.584 jiwa yang belum melakukan perekaman.
Area lampiran
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(LDS)
