medcom.id, Jakarta: Anak-anak korban kejahatan seksual yang tidak tertangani dengan baik berpotensi menjadi pelaku di kemudian hari. Setidaknya ada dua faktor yang melatarbelakangi hal tersebut.
"Pertama, kebencian. Karena dia sudah tersakiti, tidak tertangani, maka diekspresikan kebencian itu kembali kepada target yang lunak, target yang bisa dijangkau, anak-anak," kata Kabid Pemenuhan Hak Anak LPAI Reza Indragiri, dalam Newsline, Rabu 22 Maret 2017.
Faktor kedua, kata Reza, adalah candu. Paparan seks di usia belia bisa menyebabkan anak kecanduan seks. Akibatnya perilaku korban selalu mengarah kepada hal-hal yang berbau seks.
"Mulai suka bicara jorok, bereskalasi baca majalah dewasa, bereskalasi lagi mulai pegang-pegang, bereskalasi lagi melakukan kontak seks secara langsung," katanya.
Reza mengatakan, dua faktor tersebut seharusnya bisa dibendung dengan memberikan penanganan dan rehabilitasi yang tepat bagi anak. Sebab sudah jelas, dalam UU Perlindungan Anak, negara wajib hadir dalam bentuk rehabilitasi untuk memutus mata rantai kejahatan seksual anak.
Meskipun berpotensi menjadi pelaku kejahatan seksual di kemudian hari, Reza mengatakan masih ada peluang bagi korban untuk tidak berubah menjadi predator. Sebab, kata dia, dalam ilmu psikologi perilaku manusia bisa dibentuk melalui proses belajar.
Proses belajar bisa diimplementasikan dengan proses rehabilitasi. Proses belajar itu menunjukkan bahwa mereka tak sendiri, selalu ada dukungan sosial, medis, psikologis, dan hukum untuk sembuh dari trauma.
"Betapapun seorang anak sudah mengalami nasib yang menyesakkan dada, traumatis, menjadi korban kejahatan seksual, tetap selalu ada kesempatan untuk sembuh untuk menjadi penyintas atau survivor," jelasnya.
medcom.id, Jakarta: Anak-anak korban kejahatan seksual yang tidak tertangani dengan baik berpotensi menjadi pelaku di kemudian hari. Setidaknya ada dua faktor yang melatarbelakangi hal tersebut.
"Pertama, kebencian. Karena dia sudah tersakiti, tidak tertangani, maka diekspresikan kebencian itu kembali kepada target yang lunak, target yang bisa dijangkau, anak-anak," kata Kabid Pemenuhan Hak Anak LPAI Reza Indragiri, dalam
Newsline, Rabu 22 Maret 2017.
Faktor kedua, kata Reza, adalah candu. Paparan seks di usia belia bisa menyebabkan anak kecanduan seks. Akibatnya perilaku korban selalu mengarah kepada hal-hal yang berbau seks.
"Mulai suka bicara jorok, bereskalasi baca majalah dewasa, bereskalasi lagi mulai pegang-pegang, bereskalasi lagi melakukan kontak seks secara langsung," katanya.
Reza mengatakan, dua faktor tersebut seharusnya bisa dibendung dengan memberikan penanganan dan rehabilitasi yang tepat bagi anak. Sebab sudah jelas, dalam UU Perlindungan Anak, negara wajib hadir dalam bentuk rehabilitasi untuk memutus mata rantai kejahatan seksual anak.
Meskipun berpotensi menjadi pelaku kejahatan seksual di kemudian hari, Reza mengatakan masih ada peluang bagi korban untuk tidak berubah menjadi predator. Sebab, kata dia, dalam ilmu psikologi perilaku manusia bisa dibentuk melalui proses belajar.
Proses belajar bisa diimplementasikan dengan proses rehabilitasi. Proses belajar itu menunjukkan bahwa mereka tak sendiri, selalu ada dukungan sosial, medis, psikologis, dan hukum untuk sembuh dari trauma.
"Betapapun seorang anak sudah mengalami nasib yang menyesakkan dada, traumatis, menjadi korban kejahatan seksual, tetap selalu ada kesempatan untuk sembuh untuk menjadi penyintas atau survivor," jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MEL)
