medcom.id, Jakarta: Masyarakat Sipil Indonesia menuntut pemerintah untuk menghentikan rencana eksekusi mati terhadap pidana mati. Tidak hanya bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia, permasalahan hukum yang mengarah pada praktik <i>unfair trial</i> dalam kasus-kasus ini menunjukkan bahwa hukuman mati tidak cocok diterapkan terhadap terpidana.
Direktur Eksekutif Human Rights Working Group (HRWG), Rafendi Djamin mengatakan, sejumlah penelitian yang dilakukan anggota koalisi menunjukkan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh aparat penegak hukum ketika menangani kasus-kasus terpidana ini.
"Mulai dari tidak ada penerjemah bagi terpidana asing, tidak ada pendampingan pengacara bagi sebagian besar terpidana, sampai pada lalainya aparat penegak hukum menyikapi peninjauan kembali kasus tersebut," kata Rafendi ketika ditemui di Kantor HRWG, Jakarta, Minggu (26/4/2015).
Menurutnya, berdasarkan hukum HAM internasional, prinsip-prinsip <i>fair trial</i> menjadi bagian penting proses hukum yang tidak dapat dipisahkan. Maka itu, ketika proses penanganan sebuah perkara ternyata tidak memenuhi unsur-unsur yang tidak terpenuhi, maka putusan diduga kuat cacat hukum.
"Menghentikan rencana eksekusi hukuman mati merupakan keharusan yang harus diambil pemerintah Indonesia," ujarnya.
Ia mengungkapkan, masyarakat Indonesia sedang sedih dengan eksekusi mati dua orang buruh migrant Indonesia di Arab Saudi, seharusnya pemerintah dapat memikirkan ulang eksekusi ini dan merancang ulang sistem pemindanaan di Indonesia demi menyelamatkan para WNI yang terancam hukum mati di negara lain.
Rafendi menilai, praktik hukuman mati, akan berdampak pada diplomasi Indonesia dengan negara-negara asal WNA yang dihukum mati. Indonesia akan kehilangan teman untuk menekan negara-negara yang akan mengeksekusi mati WNI.
medcom.id, Jakarta: Masyarakat Sipil Indonesia menuntut pemerintah untuk menghentikan rencana eksekusi mati terhadap pidana mati. Tidak hanya bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia, permasalahan hukum yang mengarah pada praktik
unfair trial dalam kasus-kasus ini menunjukkan bahwa hukuman mati tidak cocok diterapkan terhadap terpidana.
Direktur Eksekutif Human Rights Working Group (HRWG), Rafendi Djamin mengatakan, sejumlah penelitian yang dilakukan anggota koalisi menunjukkan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh aparat penegak hukum ketika menangani kasus-kasus terpidana ini.
"Mulai dari tidak ada penerjemah bagi terpidana asing, tidak ada pendampingan pengacara bagi sebagian besar terpidana, sampai pada lalainya aparat penegak hukum menyikapi peninjauan kembali kasus tersebut," kata Rafendi ketika ditemui di Kantor HRWG, Jakarta, Minggu (26/4/2015).
Menurutnya, berdasarkan hukum HAM internasional, prinsip-prinsip
fair trial menjadi bagian penting proses hukum yang tidak dapat dipisahkan. Maka itu, ketika proses penanganan sebuah perkara ternyata tidak memenuhi unsur-unsur yang tidak terpenuhi, maka putusan diduga kuat cacat hukum.
"Menghentikan rencana eksekusi hukuman mati merupakan keharusan yang harus diambil pemerintah Indonesia," ujarnya.
Ia mengungkapkan, masyarakat Indonesia sedang sedih dengan eksekusi mati dua orang buruh migrant Indonesia di Arab Saudi, seharusnya pemerintah dapat memikirkan ulang eksekusi ini dan merancang ulang sistem pemindanaan di Indonesia demi menyelamatkan para WNI yang terancam hukum mati di negara lain.
Rafendi menilai, praktik hukuman mati, akan berdampak pada diplomasi Indonesia dengan negara-negara asal WNA yang dihukum mati. Indonesia akan kehilangan teman untuk menekan negara-negara yang akan mengeksekusi mati WNI.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FZN)
