Sebagian warga Irak mengaku akan memboikot pemilu kali ini karena mereka sudah tidak lagi percaya terhadap sistem demokrasi yang dibawa oleh invasi Amerika Serikat di tahun 2003.
Pemilu parlemen Irak ini dipercepat enam bulan dalam merespons gelombang aksi unjuk rasa di Baghdad dan beberapa provinsi selatan pada akhir 2019.
Dalam rangkaian aksi protes itu, ribuan demonstran turun ke jalan dalam mengecam maraknya praktik korupsi, buruknya layanan pemerintahan, dan meningkatnya angka pengangguran.
Dilansir dari laman Gulf Today, setidaknya 167 partai dan lebih dari 3.200 kandidat ikut serta dalam pemilu parlemen Irak. Menurut keterangan komisi pemilihan Irak, terdapat 329 kursi yang diperebutkan dalam pemilu kali ini.
Lebih dari 250 ribu personel keamanan disiagakan di seantero Irak dalam mengamankan pemilu. Personel militer, polisi, dan unit anti-terorisme juga dikerahkan ke semua tempat pemungutan suara.
Meski Pemerintah Irak menyerah pada tuntutan demonstran dan menggelar pemilu lebih awal, sebagian masyarakat Irak -- terutama aktivis muda dan pengunjuk rasa -- menyerukan kepada warga untuk tidak ikut menggunakan hak suara mereka.
Pemilu di Irak biasanya diikuti fase negosiasi panjang selama berbulan-bulan untuk menentukan posisi presiden, perdana menteri, dan kabinet.
Baca: PBB Serukan Pemilu Bebas dan Transparan di Irak
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
