Hal itu yang membuat Idenesia mengundang animator yang sudah membuktikan kualitasnya di kancah internasional, yaitu Andre Surya. Andre merupakan salah satu animator yang ikut memrpoduksi film terkenal seperti Transformers, Iron Man, dan film-film dunia lainnya.
Andre Surya mengatakan, hal yang paling penting untuk menjadi animator adalah passion (kegemaran) menggambar. Menurutnya, menggambar merupakan dasar dari sebuah karya seni yang bisa dikembangkan ke dalam berbagai bentuk.
"Menurut saya, yang paling penting passion. Jadi, kalau digital art itu passionnya menggambar. Jadi passion itu nanti berkembang ke banyak bidang," kata Andre dalam program Idenesia MetroTV bertema Seniman Digital Indonesia.
Dalam program yang dipandu oleh Yovie Widianto itu Andre menjelaskan sedikit mengenai tugas pokok saat dilibatkan dalam pembuatan film Transfomers of the Fallen. Saat itu, dirinya berada di divisi Industi Light and Magic (ILM) yang bertugas mengerjakan efek visual.
"Misal, Megan Fox lagi lari dan ada Optimus Prime di atasnya. Komputer enggak tahu kondisi saat kita syuting pas sore, siang, atau malam, atau di ruangan. Nah, saya bertugas menyatukan background Megan Fox dengan robotnya supaya tidak terlihat seperti tempelan," ujar Andre menjelaskan.
Setelah puas menimba pengalaman di industri film Hollywood, Andre meutuskan kembali ke Indonesia. Di Tanah Air, Andre mendirikan sebuah perusahaan animasi Enspire Studio dan sekolah animasi bertaraf internasional bernama Enspire School of Digital Art (ESD).
Andre mengatakan, tujuan mendirikan sekolah dan perusahaan animasi adalah untuk mengasah talenta seniman Indonesia yang begitu banyak dan melimpah sehingga karya-karya anak bangsa bisa dihargai dari segi kualitas dan ekonomi.
"Intinya, saya lihat di Indonesia banyak talenta. Lalu, kenapa proyek-proyek itu enggak dikerjakan di Indonesia? Sebenarnya, kita mampu. Makanya, saya balik ke Indonesia membuka sekolah dan studio," kata dia.
Namun, Andre menyadari bahwa untuk industri kreatif animasi membutuhkan banyak usaha yang harus dilakukan agar berkembang. Ketika ditanya apakah bisa seperti Hollywood, Andre mengatakan, bisa tapi harus melalui perjuangan dan waktu yang lama.
"Kalau kita ingin menyejajarkan dengan Hollywood itu lebih ke bisnis, bukan talenta. Sangat kompleks. Misalnya distribusi, kita bikin karya yang bagus, tapi distribusinya ada atau tidak? Kalau Hollywood, banyak. Dari situ saja kita belum ada pondasi. Jadi menurut saya, bisa tapi dalam jangka waktu yang cukup panjang," ujarnya.
Lebih jauh, Andre tidak muluk dengan berbagai upaya yang dilakukannya melalui sekolah dan perusahaan animasi miliknya. Pertama, dia menginginkan agar Indonesia mampu menggarap kebutuhan animasi berbagai produk nasional agar tidak dikerjakan di negara lain.
Kedua, menggarap berbagai produk animasi negara lain di Indonesia. Poin ini tentunya akan sangat menguntungkan dari segi ekonomi. "Daripada kita impor (karya animasi), mendingan duit orang luar negeri masuk ke negara kita," tutur Andre.
"Ketiga, membuat intelektual property (IP), contohnya Warkop DKI. Sebenarnya, Wakop DKI itu IP juga kan, dan kita senang hingga sukses begitu dan semua orang suka," lanjut dia.
Selain Andre yang sudah terkenal dan melakukan berbagai upaya untuk memajukan industri kreatif animasi Indonesia, negeri ini juga mempunyai seorang ilustrator yang karyanya banyak digunakan oleh brand nasional. Dia adalah Renata Owen.
Sama dengan Andre, ketertarikan Renata akan dunia ilustrasi karena hobi menggambar. Renata menceritakan bagaimana karya ilustrasinya dilirik oleh brand tingkat nasional.
"Pas kuliah ambil jurusan desain komunikasi visual. Dari situ saya sering mengikuti berbagai perlombaan desain, ilustrasi, poster dan lainnya, hasil karya kemudian saya upload di media sosial, portpofolio website, mungkin dari situ brand tersebut melihat karya saya," kata Renata.
Renata juga menyebutkan, karya ilustrasinya juga telah mendapatkan pengakuan di dunia internasional. Hal itu terjadi saat Renata menjadi perwakilan Indonesia sebagai ilustrator saat mengikuti children book fair di Itali.
"Saat itu saya disuruh menggambar dalam waktu beberapa jam, saat itu cuma menggunakan pensil dan manik-manik. Nah, penulis dari Swis itu tertarik dan ingin membeli, padahal saya tidak bermaksud untuk menjual karya saya itu dan dia memaksa. Waktu itu ada dua orang yang tertarik pada karya saya yang sama," ungkap dia.
Kemudian, Yovie tertarik menanyakan bagaimana tanggapan keluarga Renata memilih profesi sebagai ilustrator. Sebab, pada umumnya orang tua di Indonesia tentu ingin anaknya memiliki profesi yang mampu mensejahterakan nantinya.
Renata menjawab, pada awalnya keluarga hanya menganggap bahwa menggambar cuma sekedar hobi. Bukan dijadikan profesi seperti saat sekarang ini.
Namun, setelah kuliah dan mengikuti berbagai perlombaan, menggambar yang awalnya sekedar hobi ternyata bisa bernilai ekonomis. Bahkan, Renata mampu membiayai uang kuliah sendiri dari karya ilutrasinya.
"Nah, sampai kuliah, saya ikut kontes pertama dan hasilnya lumayan, dan setelah itu saya mengikuti kontes dan ada freelance. Sejak saat itu, saya mulai membiayai kuliah saya sendiri," ujar Renata.
Memang, hobi yang ditekuni akan memberikan manfaat. Penasaran bagaimana dua seniman ini mampu meraih kesuksesan melalui hobi mereka? Saksikan program Idenesia episode Seniman Digital Indonesia, di Metro TV pada Kamis (19/1/2016) pukul 22.30 WIB. Jangan lupa, ikuti kuis IDEnesia dan Galeri Indonesia Kaya dengan follow twitter @IDEnesiaTwit atau @IndonesiaKaya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News