Jika ingin jemawa, WSATCC bisa melakukannya sejak dahulu. Tapi mereka memilih tetap membumi dan terus berkarya hingga masuk usia pra-remaja, 12 tahun. Uniknya, WSATCC awalnya bukanlah hasil rembuk para pemusik untuk menciptakan grup musik dengan konsep klasik secara musikalitas dan visual.
Ruang Rupa yang berada di kawasan Tebet pada awal Juli itu mendadak mendung. Terik matahari siang tiba-tiba digulung awan gelap yang menjanjikan hujan. Tempat berkumpulnya seniman dari berbagai latar belakang itu juga tidak lepas dari gempuran suasana pesta demokrasi yang sedang mencapai titik puncaknya di awal Juli.
Di ruang pameran terdapat puluhan karya yang sedang dipajang, hampir keseluruhan karya itu menyuarakan harapan dan pujian kepada Joko Widodo, yang pada saat itu sedang menjadi kandidat calon presiden. Tempat ini dipilih oleh Saleh Husein untuk berbagi kisah dengan Metrotvnews.com tentang enam pemuda yang akhirnya menjalankan “company” yang bergerak di bidang musik, White Shoes & The Couples Company.
Saleh Husein, Yusmario Farabi, dan Aprilia Apsari adalah tiga anak muda kreatif yang dipertemukan dalam lingkungan kampus Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Meski mereka bukan berasal dari jurusan musik, trio ini gemar bernyanyi saat berkumpul bersama.
“Waktu itu kami nongkrong di kampus, Sari bisa nyanyi, dan dulu (di tempat nongkrong) ada dua gitar, satu enggak bisa di setel, kami iseng nyanyi bikin lagu. Kebetulan waktu itu ada acara "Kriyasana Mahasiswa Desain Grafis Indonesia" dan tuan rumahnya IKJ. Di acara itu, acara penutupan terakhirnya adalah pentas musik. Nah, kami iseng tampil di situ, ternyata sambutan penonton lumayan menyenangkan. Waktu itu kami bawa "Runaway" (Runaway Song, kemudian masuk dalam album pertama WSATCC),” ujar Saleh mengenang masa awal terbentuknya WSATCC.
Dalam wawancaranya dengan Metrotvnews.com, Saleh menjelaskan bahwa konsep awal trio ini adalah mengusung aliran chamber pop, yang mengedepankan instrumen akustik dalam tiap penampilannya.
“Setelah kami tampil bertiga, terus masuk Mela (Apri Mela Prawidyanti) dan Ricky (Ricky Surya Virgana), mereka itu suami-istri, Ricky di cello dan Mela main violin. Nah, kami kepikiran bikin musik chamber pop yang berhubungan dengan akustik ruang. Kami sudah latihan dan setelah berjalan, kita ngerasa butuh beat, dulu kami sempat pakai drummer The Sastro, tapi karena dia sudah punya band akhirnya Ricky rekomendasiin John (John Navid). Dari situ sampai sekarang kita ber-enam,” kisah Saleh.
Enam penggawa mahasiswa seni itu lantas bertransformasi menjadi grup musik dengan gaya nyentrik dan musikalitas yang segar. Seperti diketahui, sulit menyebutkan grup musik dengan konsep pop klasik selain Naif di era awal 2000-an.
Saleh mengungkapkan bahwa konsep gaya busana WSATCC yang lawas bermula dari keinginan mereka untuk punya pembeda antara keseharian sebagai mahasiswa seni dan saat di atas pentas. Hal ini berlanjut dengan kesadaran para personel WSATCC bahwa tampil di atas panggung adalah sebuah produk visual yang tidak bisa dipisahkan dari gaya busana.
WSATCC lantas secara alami mengadopsi gaya era 60-an dan 70-an, mulai dari baju, rambut, hingga musik. untuk mendapatkan busana-busana lawas tak jarang mereka mencari ke pasar pakaian bekas yang berada di kawasan Senen dan Pasar Baru.
Tahun 2005 bisa dibilang sebagai titik awal perjalanan panjang WSATCC, ditandai dengan rilisnya album perdana dengan judul "White Shoes & The Couples Company". Selain itu di tahun yang sama lagu mereka yang berjudul "Senandung Maaf" masuk dalam album kompilasi soundtrack film "Janji Joni".
Album soundtrack film "Janji Joni" secara mengejutkan juga menjadi penanda perjalanan musik indie di Indonesia, karena hampir seluruh band – termasuk The Adams, Sajama Cut, Zeke & the Popo dan Sore- yang terlibat dalam proyek soundtrack film arahan Nia Dinata itu mampu menjadi role model band indie yang sukses secara musikalitas sekaligus industri.
Dua tahun berselang sejak rilisnya "Senandung Maaf", lagu itu berhasil bercokol di posisi 129 dalam daftar 150 Lagu IndonesiaTerbaik versi majalah Rolling Stone Indonesia. Posisi "Senandung Maaf" berada empat tingkat di atas lagu "Mengejar Matahari" dari Ari Lasso dan lima tingkat di atas "Laskar Pelangi" milik Nidji.
“’Senandung Maaf’ kita peruntukan untuk film"Janji Joni", waktu itu Nia Dinata dan tim datang ke tempat kita rekaman. Kami dikasih satu slot (lagu) untuk isi satu scence. Waktu itu belum ada filmnya, masih skrip. Jadi, kami membayangkan skrip. Waktu pihak dari film mau datang untuk dengar lagu (pesanannya), kami bingung (karena belum dapat yang pas). Akhirnya, kami buatlah lagu yang sederhana, berbicara tentang kalau lo punya kesalahan lo bisa minta maaf lewat lagu. Sesederhana itu,” jelas Saleh kepada Metrotvnews.com.
Pesona musik WSATCC di album pertama juga yang membuat situs ulasan musik, All Music Guide, membuat tulisan khusus untuk WSATCC dengan judul “One of the Most Crush-worthy Bands”. Sebuah judul yang sangat membanggakan. Gayung bersambut, berkat sorotan media internasional WSATCC dipinang oleh label skala global asal Amerika Serikat, Minty Fresh.
Perlu diketahui bahwa Minty Fresh adalah label yang berdiri sejak 1993, beberapa band yang berada di bawah naungan label ini adalah The Cardigans, Tahiti 80, dan Ivy. Selain Minty Fresh, beberapa label yang turut mendistribusikan musik WSATCC adalah Bosmoon Beatball Records (Korea Selatan), Avant Garden Records (Taiwan), dan Desinee (Jepang).
Lagu Daerah di Tangan Grup Musik dari Cikini.
Pada akhir 2013, WSATCC membuat sebuah proyek aransemen ulang lagu daerah yang dikemas dalam album mini berjudul "White Shoes & The Couples Company Menyanyikan Lagu Daerah". Terobosan ini membuat WSATCC diganjar AMI Awards kategori Lagu Berbahasa Daerah Terbaik. Namun, piala penghargaan itu tidak akan sebanding dengan apa yang telah dilakukan WSATCC terhadap upaya pelestarian musik daerah secara nyata.
Dengan aransemen a la WSATCC, lima lagu dalam album mini ini, "Jangi Janger", "Tjangkurileung","TeO Rendang O", "Lembe-Lembe", dan "Tam Tam Buku", berhasil menjadi lagu segar bernuansa klasik. Lagu-lagu yang dipilih memang terdengar awam, tetapi disitulah letak pelestarian sesungguhnya yang dilakukan WSATCC.
“Kami seleksi banyak lagu daerah, kami banyak dapat dari David Tarigan (produser dan pecinta musik Indonesia). Kami pas dengar lagu daerah sudah membayangkan bakal bawa lagu itu saat di panggung. Jadi, lagu daerah ini pemilihannya berdasarkan kesukaan setiap personel. Itu cukup panjang prosesnya. Kenapa enggak kami bikin album penuh, karena sebenarnya kami enggak pernah membedakan antara album penuh atau album mini. Tapi ternyata ditelaah ke belakang lagi, album mini lebih kontekstual. Contohnya, "Skenario Masa Muda". Kami membicarakan film Indonesia kenapa, mulai dari persoalan kineforum sampai sinematek,” ucap Saleh dengan gayanya yang santai.
Lebih dalam, Saleh menjelaskan, bahwa proyek lagu daerah yang digarap WSATCC bukan semata aksi heroik untuk melestarikan lagu yang saat ini kurang populer itu. Kecintaan WSATCC dengan lagu daerah sudah terjadi sejak band ini terbentuk, sayangnya mereka waktu itu belum menemukan momen yang tepat untuk mengakomodasi lagu daerah sebagai single dalam album.
Untuk masalah perizinan hak cipta, Saleh mengatakan bahwa WSATCC mengklasifikasi dua jenis lagu daerah yang mereka bawakan ulang. Pertama, lagu daerah yang sudah berada dalam ranah publik (public domain), dan yang kedua lagu daerah yang penciptanya masih bisa ditelusuri. Untuk lagu daerah yang masuk kategori kedua, pihak dari WSATCC mengurus izin hak cipta melalui keluarga pencipta lagu.
“Seperti lagu ‘Tjangkurileung’ ada keluarga dari peciptanya di bandung. David tarigan ke Bandung untuk urus itu. David punya komunitas pecinta musik Indonesia, jadi dia bisa dapat link yang banyak,” tukas Saleh.
Secara spesial, album lagu daerah direkam di studio legendaris, Lokananta, yang terletak di Solo, Jawa Tengah. Studio klasik yang berdiri pada 1956 yang banyak menyimpan arsip audio kenegaraan.
Aura Klasik Yang Entah Dari Mana
Tidak bisa disangkal penampilan WSATCC membawa kesan klasik terlepas dari gaya berpakaian mereka. Seperti reaksi kimia yang entah dari mana asalnya, setiap lagu yang dibawakan WSTC mendadak menyebarkan nuansa lawas. Sayangnya, para personel WSATCC juga tidak bisa menjelaskan fenomena ini.
“Gue juga heran, orang-orang juga bilang begitu. Bahkan pernah dicoba orang lain bawa lagu kami dengan alat musik dan kunci yang sama, jadinya tetap beda. Kalau untuk musik yang terdengar vintage, gue enggak tahu kenapa, apa karena lirik kami, apa karena IKJ yang kasih atmosfer monokrom, kami juga enggak ngerti,” ujar Saleh keheranan.
“Kami enggak dibikin-bikin, bukan disengaja vintage. Kami enggak mencoba kayak Naif, skill mereka jago-jago juga (jadi tidak mungkin ditiru). Kalau kami pengin kelihatan old school, berarti kami punya pakem khusus, tapi kami enggak punya pakem itu, kami bebas. Tetapi kami sadari ketika di panggung dan di album, itu baru konsep, karena itu melibatkan visual juga,” sambung gitaris yang juga tercatat sebagai personel The Adams itu.
Dalam proses kreatif pembuatan lagu, Saleh juga mengaku WSATCC tidak memiliki formula khusus. Semua lagu yang lahir terjadi dengan proses yang alamiah.
“Kalau proses kreatif, kami ketemu, ngobrol, terus (beberapa personel bilang) ‘gw ada sketch lagu nih’. Kalau sudah ada sketsa musik, Sari langsung bikin liriknya. Secepat itu sih. Atau Sari punya lirik dan nada, karena kebetulan dia bisa main gitar lalu ditunjukin ke anak-anak untuk diaransemen ulang,” kata Saleh.
Untuk urusan lirik, WSATCC termasuk pandai dalam menyiratkan pesan. Meski identik dengan lirik bercerita, WSATCC ternyata memiliki lagu bernuansa politik. “Kayak lagu ‘Aksi Kucing’, itu sebenarnya politis, tapi orang melihatnya menjadi lagu yang fun, enggak berat. Lagu itu bisa disukai enggak hanya oleh orang-orang yang suka politik, tetapi juga semua kalangan mulai dari anak-anak sampai orang tua. Ketika orang sudah sampai tahap suka, otomatis akan mencari tahu arti dari lagu itu,” beber Saleh.
Dengan segala pencapaian yang telah mereka raih, WSATCC kini memiliki satu keinginan untuk menggelar konser tunggal di kawasan Taman Ismail Marzuki. Sebuah kawasan yang tentu akan menarik ingatan Sari, Ricky, Mela, John, Saleh, dan Rio, untuk kembali ke 12 tahun yang lalu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News