Bagi Space 92, festival bukan sekadar soal ukuran panggung atau nama besar di poster. Ini adalah ruang uji coba. Ia memang datang dengan kerangka set yang sudah ia siapkan untuk tur global, namun tidak pernah menganggapnya sebagai formula mati. Hampir setiap minggu, ia mengerjakan materi baru, menyelipkan track yang belum pernah dimainkan, lalu membiarkan reaksi penonton berbicara. Jika energi bergerak ke arah yang tak ia duga, set pun ikut berubah. Membaca crowd, baginya, adalah bagian dari bahasa utama seorang DJ.
Pendekatan itu juga ia terapkan secara spesifik untuk Asia. Setiap kali datang ke tempat baru, ia menyiapkan setlist khusus, memikirkan apa yang mungkin bekerja untuk karakter penonton dan atmosfer lokasi. Adaptasi bukan reaksi darurat, melainkan bagian dari persiapan. Di panggung festival, spontanitas justru lahir dari kerja yang matang.
Namun tantangan terbesar Space 92 hari ini justru datang dari luar panggung. Dunia musik elektronik bergerak dengan kecepatan yang nyaris tak memberi jeda. Satu lagu dirilis, bulan berikutnya publik sudah menunggu yang baru. Pola konsumsi yang serba cepat ini, menurutnya, melelahkan. Menjaga kualitas sambil terus mengejar kuantitas adalah tekanan nyata bagi musisi mana pun. Karena itu, ia memilih jalan tengah: merilis karya baru secara berkala, dua atau tiga bulan sekali, dengan standar yang tetap ia jaga.
Menariknya, Space 92 mengalami fase awal kariernya justru tanpa satu elemen penting: dance floor. Ia tumbuh di masa pandemi, memproduksi musik dari apartemennya, tanpa klub, tanpa tes langsung di hadapan penonton. Lagu-lagunya naik di Beatport, dibicarakan di internet, dan mendapat respons luas namun semua itu terjadi tanpa kontak fisik dengan crowd. Ketika akhirnya ia bisa tampil langsung setelah pandemi, ia merasa seperti menemukan kembali musiknya sendiri. Track yang dulu hanya hidup di layar, kini bernapas di antara orang-orang yang menari.
Perubahan zaman juga terlihat jelas di lantai dansa. Ponsel kini menjadi bagian dari pengalaman konser. Bagi Space 92, kehadiran kamera memang bisa memotong euforia, tapi tidak sepenuhnya mematikan suasana. Di momen tertentu orang merekam, terutama saat lagu-lagu populer diputar. Namun pada akhirnya, sebagian besar tetap kembali menari. Musik, sekali lagi, menjadi penentu.
Semua refleksi itu bermuara pada satu kesimpulan sederhana namun tajam. Ketika ditanya siapa yang memegang kendali hari ini apakah DJ, penggemar, atau platform, Space 92 tidak menampik rumitnya situasi. DJ masih punya kuasa, katanya, tapi dengan syarat. Di era algoritma, seorang DJ tidak bisa lagi berdiri hanya dengan satu keahlian. Ia harus menjadi segalanya sekaligus.
“Hari ini kamu harus seperti Swiss Army Knife (pisau dan perangkat multifungsi),” ujarnya. Seorang DJ dituntut piawai di balik deck, produktif di studio, punya identitas visual yang kuat, tampil meyakinkan, dan mampu mempresentasikan dirinya di media sosial. Dulu, musik saja sudah cukup. Kini, itu hanyalah satu dari sekian banyak bilah yang harus selalu siap digunakan.
Bagi Space 92, semua itu bukan alasan untuk mengeluh. Ia memilih menikmati perjalanannya, berpindah dari satu tempat indah ke tempat lain, berbagi pengalaman, dan terus bergerak mengikuti perubahan zaman. Di tengah dunia yang serba cepat, mungkin itulah definisi baru bertahan: bukan melawan arus, tapi belajar menavigasinya dengan banyak alat di tangan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News