Dari kiri Editor Rolling Stone Indonesia Wendi Putranto, moderator Zulfikri dari MI, Aldo Sianturi Indonesia Country Manager Believe Digital, dan David Karto dari Demajors, dalam diskusi Kotak Musik MI di Jakarta, Rabu (2/3).(Foto:MI)
Dari kiri Editor Rolling Stone Indonesia Wendi Putranto, moderator Zulfikri dari MI, Aldo Sianturi Indonesia Country Manager Believe Digital, dan David Karto dari Demajors, dalam diskusi Kotak Musik MI di Jakarta, Rabu (2/3).(Foto:MI)

Perusahaan Rekaman Rambah Manajemen Artis, Ideal?

Agustinus Shindu Alpito • 14 Maret 2016 10:28
medcom.id, Jakarta:  Berbagai cara dilakukan perusahaan rekaman atau biasa disebut label untuk bertahan di industri musik Indonesia, yang terkadang sulit ditebak pola konsumennya. Mulai dari penetrasi ke pasar musik digital, bekerjasama dengan gerai restoran cepat saji, hingga merangkap bisnis manajemen artis.
 
Bisnis manajemen artis belakangan ramai dilakukan oleh label. Sambil menyelam minum air, langkah label terjun ke manajemen artis dianggap sejalan dengan bisnis produksi musik yang dijalankan. Tetapi, keputusan ini tetap memiliki pro-kontra.
 
“Itu dua entitas yang berbeda. Jadi tidak baik seperti itu. Lain ceritanya bila perusahaan label itu punya perusahaan lain yang khusus manajemen artis. Jadi si label hanya fokus pada produksi saja,” terang Aldo Sianturi, praktisi industri musik, dalam diskusi yang diselenggarakan Kotak Musik - Media Indonesia, beberapa waktu lalu.

Menurut Aldo, keputusan ekspansi bisnis label adalah hal wajar di dunia bisnis. Tetapi membuka lini bisnis manajemen artis adalah keputusan yang cukup menyimpang dari fungsi awal perusahaan rekaman.
 
“Kalau saya melihat itu hal wajar di bisnis, cuma substansinya saja. karena sebenarnya bisnis model label itu awalnya sama seperti bank. (Artis) dipinjamkan uang untuk produksi dan promosi (musisi), baru dikutip di belakang (dari penjualan singel atau album). Yang bingung soal iklim industri musik bukan cuma Indonesia. karena semua pendapatan label juga menurun. Sekarang lebih turun pendapatan label dari zaman analog dulu.”
 
Di tengah situasi industri musik yang labil, membuka bisnis manajemen artis terbilang menggiurkan bagi perusahaan rekaman. Karena tidak bisa dipungkiri, industri live show bisa dibilang tetap berjalan dan menghasilkan uang ketimbang berjualan album fisik.
 
"Ketika memegang manajemen artis, berarti memegang semua revenue. Mereka bisa saja jadi booking agent, sehingga tidak mengurus manajemen si artis. Tetapi kalau manajemen artis, semua diambil. Artis dapat endorsement iklan diambil, dapat live show diambil, dapat royalti juga diambil. Ini bisa saya kategorikan greedy. Core bisnis (label) bukan di situ,” jelas jurnalis dan pengamat musik Wendi Putranto yang juga hadir dalam diskusi itu.
 
Dari pengamatan Wendi bisnis manajemen artis yang dipegang oleh label tak sepenuhnya mulus. Manajemen yang seharusnya dimaknai sebagai pengorganisasian secara bertanggungjawab dan adil justru tak bersifat demikian.
 
"Dalam perjalanannya gue lihat banyak dikeluhkan teman-teman artis yang berada di dalam. Mulai dari potongannya terlalu besar, income yang dipotong ada yang bukan nett income. Mereka juga merasa label cuma dapat komisi tapi tidak mengembangkan artis secara maksimal. Bukan berarti sistem ini tidak berhasil, ada juga yang berhasil. Ada beberapa label yang saya dengar cukup adil terhadap artisnya, tetapi kebanyakan yang saya dengar banyak yang jadi ‘sapi perah’.”
 
Dengan adanya manajemen artis, seperti yang diurai Wendi, segala pemasukan musisi yang terkait dengan produk musik yang dikelola label mendapat potongan. Besarnya potongan bervariasi, bisa sampai 30 %. Tergantung sistem dan kebijakan masing-masing label. Pada kenyataannya, tidak semua label tergiur model bisnis ini. Demajors salah satunya.
 
“Kami tidak ada rencana ke arah sana, karena manajemen artis bukan bidang yang kami kuasai. Kami tidak akan terjun ke bidang yang tidak kami kuasai. Dulu orang pada bilang kenapa Demajors enggak bikin studio rekaman saja?  Kami enggak mau karena untuk buat studio rekaman butuh orang-orang yang ahli di bidang audio, sedangkan kami tidak memiliki keahlian di situ,” kata David Karto, pendiri Demajors.
 
Zaman memang tidak bisa dilawan. Keputusan perusahaan rekaman mengembangkan sayap bisnis membuka divisi manajemen artis bisa jadi penyelamat finansial label di tengah iklim industri musik Indonesia yang tak menentu. Yang penting, aturan main yang cukup adil bagi artis, sehingga kondisi ‘artis seperti sapi perah’ tidak terjadi.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(FIT)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan