Masuknya nama Joey Alexander tentu membanggakan bagi Indonesia. Dalam usianya yang teramat muda, yakni 13 tahun, dia sudah dua kali dinominasikan untuk Grammy. Putra Indonesia itu juga menjadi orang paling muda yang pernah masuk daftar nominasi anugerah musisi bergengsi tersebut.
Media Indonesia mewawancarai Sri Hanuraga untuk mempelajari bagaimana seorang Joey Alexander bisa membuka jalannya menuju Grammy, sesuatu yang pastinya dicita-citakan banyak musikus Indonesia yang berharap memiliki karier internasional.
Sri Hanuraga seorang pianis jazz muda asal Indonesia. Joey pernah beberapa kali menonton konsernya dan mengikuti workshop kepadanya. "Sempat ibunya menghubungi saya untuk les sekali," kisah lelaki yang akrab dipanggil Aga itu, Rabu (15/2).
Aga ingat pertama kali melihat Joey sekitar 2011, ketika dia baru bisa main piano dan tampil di Herbie Hancock. "Walaupun dia hanya tahu blues scale, cerita yang dia sampaikan dengan permainannya sangat luar biasa. Saat itu juga saya tahu dia punya bakat dalam storytelling yang sangat exceptional," cermatnya.
Dalam pengamatan Aga, storytelling dalam improvisasi ialah hal yang paling penting dan sulit untuk diajarkan. Bahkan kebanyakan pemain prodigy alias yang sejak muda ketahuan memiliki bakat yang dominan biasanya hanya menonjol secara teknis. "Akan tetapi, Joey tidak seperti itu, dia sudah sangat dewasa dan memiliki kemampuan 'storytelling' yang eksepsional bahkan untuk musisi jazz kelas dunia," imbuhnya.
Lantaran tidak menetap di Indonesia, Aga hanya mengikuti perkembangan anak berbakat itu lewat Youtube. Dia mengakui perkembangan Joey sangat pesat. Dalam waktu satu tahun dia telah memiliki kapasitas musisi jazz kelas dunia. Mengingat sesi workshop bersamanya, Joey memang memiliki bakat yang luar biasa. Dia menyerap apa saja yang didengarnya dengan cepat.
Tidak hanya bakat
Apakah hanya bakat itu cukup mengantarkan Joey menuju Grammy? Bagi Aga tidak. Menurutnya, Joey juga ditopang peran orangtuanya yang menemukan orang-orang yang tepat, mulai label rekaman, manajemen, dan lainnya. Semua itu menunjang Joey dari sisi bisnis sehingga bisa masuk radar Grammy.
Sebagai catatan, karena melihat bakat anaknya, orangtua Joey sampai menjual bisnis keluarga mereka di Jakarta lantas pindah ke Amerika Serikat. Keluarga penikmat jazz itu berharap langkah tersebut bisa mendorong perkembangan permainan musik Joey yang mulanya dipelajari anak itu secara autodidak.
Kesuksesan tentu tidak terjadi dalam semalam, banyak juga promotor musik yang ragu. Mereka kurang yakin anak sekecil itu (Joey kala itu 11 tahun) bisa membuat penonton jazz tertarik dan membeli tiket. Kini keraguan itu pun terjawab, Joey mampu memuaskan penikmat musik.
Di usia 9 tahun, Joey memenangi juara utama di Master-Jam Fest di Ukraina, sebuah kompetisi untuk segala umur dengan 200 kompetitor dari 17 negara berbeda. Ketika 10 tahun, dia tampil di berbagai festival jazz di Jakarta dan Kopenhagen.
Undangan dari Wynton Marsalis mengantarkannya ke penampilan perdana Joey di AS. Dia memainkan jazz pada 2014 di Lincoln Center's Rose Hall, diikuti dengan penampilannya di Jazz Foundation of America di Apollo dan Arthur Ashe Learning Center di Gotham Hall.
Dia pun diundang promotor musik jazz Amerika kenamaan yang juga dikenal sebagai 'impresario jazz paling terkenal', George Wein. Undangan itu mengantarnya untuk tampil di dua panggung dalam ajang bergengsi Newport Jazz Festival.
Memenangi ajang-ajang festival mungkin secara tidak langsung membantu musisi untuk lebih dikenal. Namun, menurut Aga, menemukan label, agen, dan manajemen yang tepat lebih berperan banyak dalam membangun pamor Joey untuk masuk Grammy.
Di sisi lain, mentor-mentor bermusiknya pun menjadi jembatan untuk membuka jaringan untuknya lebih dikenal di kalangan elite jazz. Bagi Aga, pemain trompet kenamaan Wynton Marsalis terutama, diyakininya mempunyai pengaruh yang kuat dalam pesatnya karier Joey.
Soal pemilihan agensi, dijelaskan Aga, amat penting karena berperan untuk membantu musisi masuk ke event-event bagus. Di sisi lain, label juga berperan penting untuk membawa artisnya ke sorotan media, festival, dan ajang penghargaan.
Aga yang kembali dari Belanda sejak 2013 kini menjadi dosen di fakultas musik di UPH dan Institut Musik Daya Indonesia. Dia juga masih sesekali kembali ke Eropa untuk konser dengan band-nya yang berbasis di Polandia, The Brag Pack.
Ada perbedaan yang besar dalam pengalamannya merintis karier bermusik. Pertama tak seperti Joey, Aga bukanlah seorang prodigy. Dia mulai bermain jazz ketika umur 17 tahun. Pun ketika dia mulai menekuni jazz, pendidikan jazz belum sebaik sekarang dan event jazz belum banyak. Media sosial juga belum seperti sekarang.
Ketika memutuskan belajar jazz piano di Belanda, dia mengikuti beberapa kompetisi termasuk di antaranya Young Pianist Foundation (YPF) Jazz Piano Competition (juara II) dan Juara 1 European Keep An Eye Awards, Best Soloist East of Eastern Jazz Festival.
Berbeda dengan Joey yang banyak mendapat bantuan untuk memperkenalkan karya musiknya, di Belanda Aga melakukan sendiri.
Melihat capaian Joey dan pengalamannya sendiri, Aga melihat setidaknya ada dua hal yang perlu diperhatikan bila musisi jazz ingin masuk ke radar Grammy. "Pelajari bahasa dan trasidi jazz sedalam mungkin. Setelah itu membuat karya sendiri yang memiliki bunyi yang baru, jangan melulu mengikuti tren yang ada," sarannya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News