Seperti diketahui, satu dekade terakhir festival musik yang mengusung embel-embel jazz makin banyak dan populer.
Namun, profesor musik ini menyayangkan kurangnya esensi dari jazz itu sendiri pada festival yang ada.
"Festival jazz yang ideal itu dari semua genre, mulai dari swing sampai ke jazz zaman sekarang, zaman Fourplay, jazz kontemporer, dan dari semua dekade. Itu baru bisa disebut jazz festival," kata Prof Deviana kepada Metrotvnews.com, baru-baru ini.
Salah satu standar penting yang disorot Prof Deviana dalam festival jazz adalah masalah tata suara. Menurut dia, penata suara dalam festival musik jazz harus memiliki kualifikasi khusus. Tidak asal-asalan atau sekadar bisa.
"Sound enginer harus tahu akustik yang bagus seperti apa. Di Indonesia, hampir semua festival, sound-nya kurang baik. Bagaimana mau maksimal kalau yang mengatur sound operator. Bunyi instrumen bagaimana harus tahu," jelas akademisi dan musisi yang sempat bermain dalam grup Dr & The Professors bersama Tompi itu.
"Kalau festival jazz seharusnya yang mengatur sound orang sekolah sound. Karena hukum akustik, kalau sistem itu dibuat supaya bunyi instrumen itu bisa didengar orang di belakang, tidak dengan efek. Kecuali memang misal gitaris suka pakai efek. Jadi pengertian soal akustik di Indonesia belum menyeluruh," terangnya.
Prof Deviana pernah studi piano klasik dan komposisi di Musikhochschule Freiburg, Jerman. Lantas dia menyusun kurikulum studi musik yang diakui pemerintah Jerman dan Swiss.
Dalam karier musiknya, Prof Deviana juga dikenal piawai bermain musik jazz dan tampil di sejumlah festival jazz dunia.
Kini, Prof Deviana mengabdikan diri sebagai pendidik di Institut Musik Daya Indonesia. Dia masih produktif melahirkan sejumlah karya musik dan aransemen. Salah satunya adalah album Symphonic Tales of Indonesia, yang berisi lagu-lagu daerah dibawakan dengan orkestra.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News