Playlist berisikan lagu-lagu lawas dalam negeri pun kini bertebaran di Spotify dan YouTube dalam tajuk "City Pop Indonesia". Deretan playlist dengan tajuk tersebut sudah pasti memuat nama-nama beken dalam ranah musik pop era 80-an, seperti Chrisye, Fariz RM, Utha Likumahuwa, Vina Panduwinata, Guruh Soekarnoputra, hingga Candra Darusman.
Saya yang masih 20-an awal pun sering mendengar teman-teman sebaya saya memutar "Kala Cinta Menggoda" (Chrisye), "Sakura" (Fariz RM), juga "Sesaat Kau Hadir" (Utha Likumahuwa) ketika nongkrong.
Munculnya istilah City Pop Indonesia barangkali turut dipengaruhi tren viralnya lagu-lagu City Pop Jepang macam "Mayonaka no Door / Stay With Me" (Miki Matsubara) dan "Plastic Love" (Mariya Takeuchi). Padahal, kita sebenarnya punya istilah sendiri untuk menamai musik-musik yang disebut sebagai "City Pop Indonesia", yaitu dengan sebutan Pop Kreatif.
Para jurnalis musik era lama menamainya demikian untuk mengidentifikasi musik pop yang lebih progresif, dimana irama musik dan instrumentasinya terdengar ramai dan dinamis, juga tak terpaku pada pakem musik pop.
Jika ditelusuri, memang terdapat benang merah antara City Pop Jepang dengan Pop Kreatif. Keduanya sama-sama memiliki irama yang menimbulkan semangat, serta banyak dipengaruhi musik-musik disko, funk, elektronik, dan fusion. Kedua jenis musik ini juga sama-sama identik dengan kaum urban.
Dalam perjalanan industri musik dalam negeri, tembang-tembang yang disebut sebagai Pop Kreatif sempat merajai pasar serta turut membentuk budaya pop pada masanya.
Tapi, segala sesuatu ada masanya, begitu juga dengan musik Pop Kreatif yang sempat surut dan tergantikan oleh pop rock, pop melayu, hingga invasi musik pop dari barat dan juga Korea Selatan.
Meski sempat lama surut, Pop Kreatif kini bisa dibilang 'bangkit' seiring kembali mencuatnya nama-nama seperti Chrisye, Fariz RM, Utha Likumahuwa, dan lain sebagainya di platform streaming musik.
Di sisi lain, selain kembali mencuatnya nama-nama lama, Pop Kreatif pun seolah bereinkarnasi dalam unit-unit seperti Diskoria, Laleilmanino, Lalahuta, Mondo Gascaro, dan lain sebagainya. Nama-nama tersebut turut menghadirkan Pop Kreatif dalam kemasan baru. Sebuah anthem dari Diskoria yang berjudul "C.H.R.I.S.Y.E" (yang diciptakan oleh Laleilmanino) bahkan menjadi salah satu lagu wajib dalam playlist Spotify teman-teman sebaya saya.
Semangat dan konsep musik yang diusung nama-nama segar tersebut pun saya rasa turut memiliki andil dalam membangkitkan dan mengenalkan Pop Kreatif kepada generasi muda. Merdi, salah satu personel Diskoria, bahkan mengakui kalau musik dan kemasan Diskoria memang banyak terinspirasi dari musik Indonesia masa lalu. Maka dari itu, bukan tak mungkin kalau karya-karya Diskoria dan unit sejenisnya turut memengaruhi banyak anak muda untuk menelusuri musik pop dalam negeri lebih jauh lagi, bahkan hingga ke masa lampau.
"Ya kalau saya sangat kena dengan estetika dan presentasi musik masa lalu, jadi kadang ketika kita mempresentasikan lagu-lagu tersebut, kita berusaha menyajikannya dengan sound yang serupa, desain flyer yang senada, dan juga banyak detail yang sejalan dengan apa yang dilakukan di masa lalu," ucap Merdi dalam wawancara bersama Whiteboard Journal pada 2018 silam.
Bagi saya sendiri, munculnya istilah City Pop Indonesia merupakan bentuk apresiasi dan selebrasi generasi muda terhadap lagu-lagu pop lawas. Entah bagaimana pun mereka menamainya dan merayakannya, setidaknya ini menjadi bukti bahwa generasi muda kita tidak melupakan sejarah.
(Nicholas Timothy Suteja)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News