"Kalau (RUU Permusikan) tidak urgen, kenapa harus dilanjutkan. Kan masih banyak yang masih urgen," ujar Heru saat dihubungi Medcom.id.
Heru melihat berbagai macam celah yang tak berpihak kepada musisi. Misalnya, adanya keharusan mengikuti sertifikasi bagi para musisi yang otodidak sebagaimana terdapat dalam pasal 32.
Menurut Heru, isi pasal itu terkesan menganaktirikan band-band independen. "Kesannya lebih membela industri besar. Padahal kita di Indonesia ini kan macam-macam," ujarnya.
Kemudian, ada pula Pasal 5 tentang nyanyian musisi bernada provokasi yang bisa diancam pidana; Pasal 18 tentang keharusan memakaikan promotor berlisensi hingga Pasal 42 berkaitan pelaku usaha bidang hotel, restoran, dan tempat hiburan harus memutar musik tradisional.
"Misalnya harus mutar musik tradisional di kelab dan bar aku pikir bukan tempatnya. Memang ini masih RUU, belum final. Istilahnya disemprit dulu sebelum salah jalan," ungkapnya.
Ia menambahkan, ada berbagai pasal lain yang masih membingungkan, khususnya bagi musisi yang tak memahami bahasa hukum. Menurut pandangannya, RUU Permusikan belum matang namun sudah disosialisasikan ke publik.
"(RUU Permusikan) harusnya melindungi dan menyejahterakan musisi Indonesia. Jika memang terlaksana (musisi) bisa ikut merealisasikan lewat bayar pajak. (RUU) ini harus ditinjau kembali," tuturnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id