Ecko Show dalam Video Musik
Ecko Show dalam Video Musik "Orang Baru Lebe Gacor" (Foto: YouTube Ecko Show)

Lagu Indonesia Timur Bawa Revolusi Baru Industri Musik, Ecko Show: Dulu Dapat Sorotan Aja Susah!

Basuki Rachmat • 02 Desember 2025 06:19
Jakarta: Di linimasa yang bergerak secepat kilat, satu suara kini mendominasi percakapan musik Indonesia: suara dari Timur. Bukan lagi sekadar fenomena minor atau eksotisme sesaat, musik dari Indonesia Timur telah menjelma menjadi kekuatan kultural baru. Menguasai algoritma, menembus pasar, dan menggoyang fondasi industri yang selama puluhan tahun cenderung Jawa-sentris.
 
Kalau Anda membuka TikTok atau YouTube Shorts dalam beberapa bulan terakhir, mustahil melewatkan ritme yang menghentak dari lagu-lagu seperti “Tabola Bale,” “Pica-Pica,” atau “Orang Baru Lebe Gacor.” Lagu-lagu itu bukan sekadar viral, mereka hidup sebagai mantra sosial, jadi bahan remix, jadi backsound pesta, jadi penanda identitas. Di sudut-sudut kota besar, anak-anak muda di Jaksel dan Bandung berdansa dengan bahasa dan cadence yang lahir jauh di sebelah timur garis Wallacea. Ada sesuatu yang berubah dalam peta musikal negeri ini, dan perubahan itu datang dengan energi yang sulit diabaikan.
 
Fenomena ini mencapai puncak simboliknya ketika nama-nama dari Timur memborong panggung AMI Awards 2025. Silet Open Up pulang dengan tiga piala dan kepercayaan diri baru, sementara rapper Gorontalo Ecko Show muncul sebagai figur penting dari kebangkitan hip-hop daerah. Bagi Ecko, kemenangan itu tidak sekadar kemenangan. Ia adalah koreksi sejarah.
 
"Karena ini pertama kali meraih AMI Awards, jadi sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata ya. Saya selaku pelaku hip-hop yang notabene dari dari Timur Indonesia atau daerah, jangankan untuk menerima piala AMI, untuk mendapatkan sorotan aja itu agak susah untuk kita bermain di musik hip-hop," ujar Ecko Show.


 
Namun, yang membuat musik Timur begitu menggema bukan hanya euforia kemenangan. Ada identitas sonik yang autentik di dalamnya. Kejujuran dan kebanggaan lokalitas yang sering hilang jika bicara pop industri secara umum. Salah satu energi itu datang dari "hip-hop acara", istilah untuk musik yang berakar dari pesta rakyat, panggung tenda, dan ruang-ruang sosial Timur Indonesia. Gaya ini punya dinamika yang dengan cepat memikat pendengar urban karena terasa jujur, lucu, keras, sekaligus emosional.
 
"Kalau di Jawa kan ada NDX A.K.A. yang punya ciri khas sendiri dengan hip-hopnya. Di Jakarta punya ciri khasnya sendiri, ada PORIS dan Tenxi. Nah, kami juga dari Timur punya sendiri nih yaitu hip-hop acara khas Timur," ujarnya.
 
Lalu bagaimana gelombang ini bisa menjadi begitu besar, begitu cepat? Jawabannya tampaknya datang dari pertemuan sempurna antara karakter musik dan arsitektur digital baru.
 
Pengamat musik Aldo Sianturi menyebut fenomena ini sebagai “rekonstruksi pasar,” bukan sekadar viral moment. 
 
"Musik Timur menawarkan ekspresi emosional dan naratif yang kuat, di titik ketika pasar mulai jenuh dengan pop urban konvensional," ujar Aldo kepada Medcom.id.
 
Menurut Aldo, ada tiga mesin utama yang mendorong gelombang ini: keaslian budaya, demokratisasi platform, dan amplifikasi komunitas. Yang terakhir ini sering kali diabaikan, padahal krusial. Komunitas Indonesia Timur yang besar dan aktif menciptakan ekosistem viral yang tumbuh alami. 
 
Namun Aldo juga memberi pengingat penting. Jika musik Timur ingin bertahan dan bukan hanya menjadi hype musiman, ada dua syarat yang perlu dijaga: kontinuitas estetika dan regenerasi talenta. 
 

 
"Jika kedua elemen ini terpenuhi, musik Timur berpotensi menjadi 'genre lane' baru dalam lanskap musik nasional. Tanpa itu, risikonya adalah penurunan menjadi fenomena hype siklus pendek," tutup Aldo Sianturi.
 
Untuk sekarang, gelombang itu masih berada di titik pasang tertingginya. Di jalanan, anak-anak muda menari dengan aksen yang belum tentu mereka pahami. “Pica-Pica” disetel tanpa jeda di berbagai kota, musisi daerah lain mulai terinspirasi dan ikut bereksperimen. Yang terjadi bukan sekadar viralitas, melainkan redefinisi pusat dan pinggiran, sebuah reorientasi yang membuktikan bahwa selera publik Indonesia tidak lagi terpaku pada satu episentrum.
 
Suara-suara dari Timur kini tidak hanya didengar. Mereka diikuti, digemakan, dan dirayakan. Mereka telah menjadi bahasa baru keriuhan digital, sekaligus pengingat bahwa musik Indonesia akan selalu menemukan cara untuk berubah, melawan arus, dan membuka pintu bagi suara-suara yang dulu tidak dianggap.
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ASA)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan