Namun 'sejarahnya' membuat Genjer-genjer berbeda. Setidaknya tampak berbeda di mata politik kekuasaan.
Akhir pekan kemarin sebuah Band Reggae di Mojokerto terpaksa ditahan akibat lantunkan Genjer-genjer. Pentas musik pun dibubarkan polisi. Tentu beragam pertanyaan muncul dari penonton yang didominasi remaja belasan tahun, apa yang salah dengan lagu ini?
Ya, mungkin sebagian di antara mereka sudah mengerti perkaranya. Begitulah nasib karya yang melintasi 3 zaman dan selalu terpolitisasi, sejak pendudukan Jepang, Orde Lama, Orde Baru hingga hari ini.
Liriknya yang satire ditulis dalam bahasa Osing oleh seniman angklung asal Banyuwangi, Muhammad Arief pada 1940-an. Aransemennya, menurut sejumlah sumber, berasal dari lagu dolanan yang berjudul “Tong Alak Gentak”.
Lagu dengan ini menggambarkan kondisi rakyat Indonesia di zaman pemerintahan Jepang. Genjer (Limnocharis flava), tanaman gulma yang tumbuh di rawa-rawa, sebelumnya dikosumsi itik, namun menjadi santapan yang lezat akibat tidak mampu membeli lauk yang layak.
%20(600x311).jpg)
Laiknya para seniman, M. Arif menulis syair Genjer-genjer sebagai kritik sosial terhadap penguasa Jepang. Sama halnya bila kita mendengar lagu-lagu Iwan Fals dan karya seni bertema kritik sosial lainnya.
Politisasi Genjer-genjer
Pasca kemerdekaan, lagu ini populer di jajaran lagu Indonesia. Genjer-genjer dinyanyikan kembali penyanyi pop Lilis Suryani dan Bing Slamet di bawah label Irama Record pada 1965.
Karena kepopulerannya pada masa Demokrasi Terpimpin itu, Partai Komunis Indonesia (PKI) menggunakan lagu ini sebagai kampanye partai, guna meningkatkan popularitasnya di kalangan akar rumput. Lagu menggambarkan penderitaan warga desa ini menjadi propaganda yang disukai dan dinyanyikan pada berbagai kegiatan Partai. Saat itulah orang mulai mengasosiasikan lagu ini sebagai 'lagu PKI'.
Pasca Gerakan 30 September 1965, semua yang identik dengan PKI disingkirkan. Tidak terkecuali lagu yang menggambarkan penderitaan orang desa itu berbuah perlawanan terhadap pemerintah. Sama nasib dengan penciptanya, M. Arief, yang digelandang dari rumahnya di Banyuwangi pasca G 30 S/PKI, karena dituduh sebagai anggota PKI, dan tak pernah kembali.
Momok Genjer-genjer juga dimunculkan dalam film Pengkhianatan G 30 S/PKI. Digambarkan para anggota Gerwani dan Pemuda Rakyat menyanyikan lagu ini saat para jendral disiksa. TAP MPRS XXV/1966 tentang Larangan Paham Komunisme di Indonesia dimunculkan untuk mempertegas penolakan terhadap PKI.
Awas PKI
Belakangan isu PKI mencuat kembali seiring perjuangan HAM para keluarga korban tragedi 1965. Bagi sejumlah pihak, ini adalah kekhawatiran besar, PKI muncul lagi.
Baju, pin, stiker bergambar Palu-Arit (lambang komunis), yang muncul seiring euforia Reformasi, mulai dirazia. Buku-buku 'kiri' yang di era Orba dilarang, bebas beredar di awal Reformasi, kembali lagi disita. Foto sejumlah remaja duduk di atas patung pahlawan di Sumatera Utara turut dikaitkan dengan isu bangkitnya komunis.
Ya, harus diakui kesalahan remaja itu adalah kurang pemahaman dan penghormatan kepada sejarah. Namun, hari ini kesalahan remaja itu dua kali lipat. Patung pahlawan yang mereka duduki itu adalah Letda Sujono yang gugur saat mempertahankan area kebun dari massa Barisan Tani Indonesia (BTI), organisasi sayap PKI, pada 14 Mei 1965. Peristiwa itu dikenal dengan sebutan Peristiwa Bandar Betsy.
Itulah nasib Si Genjer-genjer, diciptakan, disukai, dibenci sekaligus ditakuti.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id