IMEX 2023 menampilkan 12 penampil dari berbagai penjuru Indonesia, yaitu Eta Margondang (Sumatra), Sako Serikat (Sumatra), Sora (Jawa Barat), Gamelan Selonding (Bali), Orasare (Bali), Rindik Pinggitan (Bali), Chandra Irawan (Nusa Tenggara Barat), Marinus Kevin & The Local Elite (Nusa Tenggara Timur), Uyau Moris (Kalimantan), Pepe Pepe Baine (Sulawesi), dan Papua Vocal Ensembles (Papua).
.jpg)
(Orasare, grup asal Bali yang memadukan unsur tradisi dengan fussion jazz. Foto: dok. IMEX)
Ini adalah kali keempat IMEX digelar, festival ini sebenarnya bukan saja ditujukan untuk mempresentasikan keberagaman world music Indonesia. Tetapi, sebagai ajang pemasaran musik lokal untuk dapat masuk ke industri world music global. IMEX mengundang delegasi internasional untuk memantik terciptanya pasar industri yang dapat membawa para musisi-musisi lokal ke panggung yang lebih besar, dan dapat memasarkan musiknya lebih luas. Delegasi yang hadir dalam sesi music market adalah Christine Semba dari World Music Expo (WOMEX), Kirill Kuzmin dari Aga Khan Music Programme, Junghun Lee dari Global Music Market Network, Nicolas Ribalet dari Nanto-City Cultural Center Helios, dan Sutanto dari Festival 5 Gunung.
Mengedepankan Wajah Keberagaman Musik Lokal
Franki Raden, founder dan artistic director IMEX, mengatakan bahwa ajang ini menjadi paguyuban besar world music Indonesia. Karena itu, IMEX selalu mengupayakan untuk menghadirkan setidaknya satu wakil dari tiap pulau-pulau besar di Indonesia.
"Proses kurasi untuk saat ini by reference, beberapa orang yang kami kenal dan punya otoritas. Kami juga punya dewan kurator tetapi belum berfungsi penuh. Prosedurnya tetap sama, mereka mengirim video atau link lagu. Tetapi kami memiliki kriteria dari setiap pulau-pulau besar minimal ada satu wakil. Kami ingin menampilkan keberagaman musik kita. Dan makin lama kurasi akan semakin ketat," kata Franki Raden pada Medcom.id di Puri Lukisan Ubud. Sabtu, 23 September 2023.

(Sako Serikat asal Lampung yang memadukan musik Melayu dengan electronic dance music. Foto: dok. IMEX)
World music sendiri sebenarnya tidak serta-merta diterjemahkan sebagai musik tradisi yang konservatif. Para musisi world music hari ini telah melakukan lompatan jauh pada musik-musik berakar tradisi dan etnik. Grup Orasare dari Bali contohnya, mereka membawa musik Bali dengan presentasi fussion jazz yang kental. Kemudian Sako Serikat dari Lampung yang mengawinkan musik Melayu dengan electronic dance music. Atau misal band Lorjhu yang menarik perhatian kancah musik urban lewat karakter Madura yang kental, baik dalam narasi, bahasa, hingga musikalitas. Franki berharap IMEX dapat bertumbuh seiring semakin berkembangnya kancah world music di Indonesia, dan menjembatani ke ekosistem industri world music internasional.
"Sekarang menurut saya ada gelombang baru (di kancah world music), kelihatan makin gencar. Teman-teman di daerah semakin menyadari potensi kedaerahan mereka, untuk melihat kemungkinan di luar. Pasarnya sudah mulai kelihatan, emerging market. Terkadang mereka justru masuk pasar di luar, di Indonesia belum tentu ada yang mendengar. Samba Sunda misal, saya mendengarnya justru di festival besar Montreal Jazz Festival," kata Franki.
Geliat industri musik dengan muatan lokal juga mulai dilirik label besar. Salah satunya label dan distributor musik besar di Indonesia, demajors. Demajors baru saja membentuk sub-label dengan nama Bahasa Ibu Records untuk mendukung semangat musisi-musisi yang mengusung unsur lokalitas dan tradisi. Lorjhu adalah roster pertama mereka. Kehadiran Bahasa Ibu Records sebagai bukti bagaimana musik berbasis tradisi dan lokalitas memiliki potensi yang menjanjikan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News