Barangkali, iklim industri musik yang tak tentu rimbanya itu yang justru membuat grup musik semakin kreatif, mencari berbagai cara untuk terus bertahan, menelurkan karya dan memanjakkan kepuasan batin penggemarnya.
Endank Soekamti dan Superglad, dua grup musik ini adalah bukti nyata bagaimana kreativitas justru semakin terpacu. Tak peduli penjualan fisik lesu, pembajakan merajalela, atau bahkan tak mendapat tempat di layar kaca dan radio.
Beberapa waktu lalu, Metrotvnews.com berkesempatan wawancara Buluk, vokalis dan gitaris Superglad. Sosok Buluk di dunia musik cukup ikonik, bersama tiga rekan lainnya, Frid Akbar, Agus Purnomo, dan Dadi Yudistira, Superglad menjelma jadi grup rock yang memiliki basis penggemar kuat di akar rumput.
Buluk lantas bercerita bagaimana Superglad memahami benar karakter para penggemarnya, hingga akhirnya hubungan antara grup musik dan penggemar adalah setara dan saling menguntungkan.
“Kalau dari gua sendiri Superglad tidak pernah menjual CD di atas Rp30 ribu. Pasti di bawah Rp30 ribu. Gue selalu bilang sama Demajors bagimana caranya CD Superglad cuma Rp25 ribu. Lalu Demajors bilang kalau CD harga Rp25 ribu, band cuma dapat Rp1.500 per CD. Buat gue itu enggak masalah yang penting CD gue terjangkau oleh penggemar. Bahkan kalau bisa gue mau harga CD Superglad Rp15 ribu. Karena gue tahu daya beli fans Superglad,” aku Buluk.
Superglad selama ini tidak pernah merisaukan pembajakan. Mereka yakin loyalitas penggemar mampu menjawab berbagai tantangan yang ada. Nyatanya, mereka mampu eksis lebih dari satu dekade di industri musik.
Dari pengalaman sejauh ini, Buluk menceritakan bahwa Superglad selalu merilis karya mereka dengan gratis di internet. Hal itu tidak lantas membuat penjualan CD mereka di pasaran melempem.
“Untuk gue atau bagi band yang punya komunitas atau punya fanbase yang kuat enggak ada masalah dengan hal seperti ini (pembajakan). Kayak sekarang orang ramai bikin digital download, karena penjualan CD berkurang, gue sempat ngobrol sama Eben Burgerkill, kalau di kami hal itu enggak masalah. Gue saja di mobil kalau dengerin lagu tinggal colok USB (flashdisk) saja,” kata Buluk sembari tertawa.
Bicara penjualan musik berbasis digital, Buluk mengaku pendapatan dari sistem itu tak selalu berhasil untuk musisi atau grup dari ranah sidestream. Terlebih sistem digital belum sepenuhnya terjangkau bagi masyarakat Indonesia.
“Sampai sekarang gue masih pesimistis (dengan pendapatan dari penjualan digital). Royalti kecil, cuma Rp15 atau Rp20 ribu per tahun. Dari penjualan iTunes aja kami cuma dapat Rp15 ribu dari tahun 2013. Itu juga paling yang beli kakak gue,” canda Buluk.
“Ya memang pendengar kami bukan penikmat iTunes. Sama saja kayak gue main di Dahsyat yang pasti tidak ada yang menonton. Karena gue punya pasar sendiri.”
Menyiasati pendapatan dari penjualan album, Superglad rajin membuka kios tiap kali tampil dalam konser. Penjualan secara langsung itu terbukti lebih efektif. Bahkan mengalahkan hasil penjualan album mereka di toko CD.
“Kami manggung off-air kita jualan album juga. Itu sangat membantu penjualannya Superglad. Di Demajors, kami tiap tiga bulan dapat laporan, laku sekitar 200-1.500 CD selama tiga bulan. Tetapi Superglad selama tiga bulan manggung bisa jual 5.000 CD. Lebih besar kalau kami jual dari panggung-panggung.”
Menyadari pentingnya loyalitas penggemar, Superglad semakin menggali karakter fan. Bahkan, tak sungkan menggajak mereka berkolaborasi secara langsung. Seperti yang terjadi dalam proyek terbaru mereka, Hang Out with Superglad.
Proyek unik tersebut memungkinkan penggemar membuat lagu secara langsung dengan Superglad. Buluk menyebut ini sebagai pelajaran baru bagi para personel yang terjebak dengan selera musik yang sama.
“Dari media sosial kami pilih sepuluh penggemar datang ke basecamp Superglad untuk berbagi dan buat lagu bareng. Program ini setiap minggu dan sudah jalan dua bulan. Sudah jadi empat lagu. Gue bikin lagu sama fans, karena gini, jujur personel Superglad mentok di tahun 90-an secara musik. Gue mentok di Social Distortion. Dengan program ini gue dapat informasi dari fan, misal kemarin ada yang bilang, ‘Luk lu dengerin deh One Ok Rock.’ Gue kan bingung itu apa, dan ternyata asyik, keren. Gue terbuka sama fan gue.”
Ke depan, Superglad menyiapkan program-program lain yang makin membangun kedekatan dengan penggemar. Mulai dari acara kemah, sampai peluncuran kartu anggota dengan fasilitas menguntungkan bagi penggemar.
Langkah ini ditempuh karena Superglad menyadari mereka bertahan sejauh ini tak lepas dari penggemar. Sehingga membentuk sebuah ekosistem musik yang saling menguntungkan wajib hukumnya.
“Awalnya kami enggak sangka punya fan sebanyak itu. Kami enggak sangka setiap daerah memasang bendera dan banner segala macam. Gue menghargai usaha mereka, kalau gue bikin jarak akan semakin tidak enak. Rencananya setiap manggung Superglad bikin konsep kayak Iron Maiden. Pengalaman gua dengan Iron Maiden waktu mereka ke Indonesia, gue dan Abdee Slank dan artis besar mau minta foto sama mereka susahnya setengah mati. Tetapi ketika Eben Burgerkill menunjukkan ID fans club Iron Maiden, para penjaga memudahkan Eben untuk masuk. Bukan kami pengin eksklusif tapi penggemar dan yang mengenal karya kami berhak mendapat kemudahan dari hak yang lebih,” tutup Buluk.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id