Kill The DJ (Foto:Antara/Teresia May)
Kill The DJ (Foto:Antara/Teresia May)

Resep Sukses Kill The DJ dan JHF

Agustinus Shindu Alpito • 23 Juni 2014 11:23
medcom.id, Jakarta:  Butuh nyali dan tekad tebal bagi seorang musisi untuk mengarungi dunia musik yang tidak menjanjikan dari segi uang dan popularitas. Beberapa di antara mereka terus berjalan, dan sejumlah lainnya hilang digulung waktu.
 
Jogja Hip-Hop Foundation (JHF) adalah anomali. Sebuah kelompok hip-hop yang mampu terus eksis 12 tahun lamanya di tengah industri musik hip-hop yang tidak tentu rimba.
 
"Industri musik hip-hop saat ini masih gitu-gitu aja. Industrinya di berbagai segi benar-benar tidak mendukung.  Artinya, tidak hanya hip-hop. Tetapi, yang lain (musik secara umum, Red) juga. Ada beberapa energl-energi besar musik hip-hop di beberapa kota, tapi butuh upaya berjuang lebih kalau mau diterima masyarakat," ungkap pentolan JHF, Kill The DJ, kepada Metrotvnews.com.

Konsistensi JHF bertahan di jalur hip-hop memang pantas di apresiasi. Mereka bukan hanya menyuguhkan kemasan musik hip-hop dengan segala lokalitas ala Yogyakarta. JHF lebih dari sekadar bermusik. Mereka mampu meleburkan hip-hop menjadi lagu latar kehidupan masyarakat Yogyakarta dengan lirik-lirik sarat budaya, sekaligus cermin bagi kaum muda untuk melihat kembali dari mana mereka berasal. Tentu ini bukan upaya mudah.
 
"Dulu kebanyakan anak hip-hop hanya kumpul dengan anak hip-hop . Jadi, ya gitu-gitu aja. Kalau aku dari dulu kenal semua (seniman dan musisi tanpa melihat aliran, Red), dan itu sejarahnya agak aneh orang hip-hop bisa bergaul ke mana-mena. Aku pikir mereka (anak hip-hop) harus membuka wawasan dan berbicara bukan hanya soal hip-hop," urai pelantun 'Song of Sabdathama' itu.
 
Kill The DJ mengakui bahwa upaya JHF menyampaikan pesan sosial melalui lirik yang dibalut musik hip-hop, bukanlah yang pertama di negeri ini. Jauh sebelum JHF lahir, sebuah kelompok hip-hop kritis asal Bandung, Homicide, telah lebih dulu mengeluarkan lirik-lirik tajam bertema sosial.
 
"Homicide bagus, tapi teksnya tidak terpahami oleh yang dia perjuangkan. Kalau dia bikin lagu untuk buruh, tapi buruhnya enggak paham teksnya, ya bagaimana? Aku bikin teks yang sederhana, yang bisa dipahami semua orang. Kalau aku bikin teks untuk petani, ya petani harus paham aku lagi ngomong apa. Untuk apa misalnya aku menggunakan kata proletar, tapi mereka (kaum yang diperjuangkan, Red) enggak mengerti proletar itu apa," kritik Kill The DJ.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ROS)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan