Ia mengambil keputusan yang sederhana namun sangat berani: berjualan kerupuk dorokdok. Bukan lewat toko atau lapak mewah, tetapi dengan mengayuh sepeda ontel berkeliling kampung.
Pilihan itu lahir dari kesadaran bahwa keberlangsungan hidup tidak boleh bergantung pada ketenaran. Sang istri pernah membagikan momen tersebut, menegaskan prinsip yang menjadi pegangan keluarga mereka: “Alhamdulillah yang penting Halal.”
Epy sendiri sering bercerita bagaimana ia justru terinspirasi dari sosok orang tua yang masih kuat berjualan dengan sepeda. Ia pernah berkata, “Kenapa dia masih semangat? Saya belum tua, tapi bingung kerja apa?”
Keteguhan itu berbuah manis. Dari hasil berjualan kerupuk, Epy mengaku bisa “bayar cicilan, bayar karyawan, membeli baju karyawan”, sebuah pencapaian yang terasa ironis untuk seorang aktor senior yang dulu begitu melejit.
Meski begitu, perjuangan sebagai penjaja makanan tidak selalu mulus. Epy pernah merasakan pahitnya ditolak ketika mencoba menawarkan dagangan. Ia bahkan mengaku pernah “diusir” dan “dibentak aparat”, sebuah pengalaman yang sempat membuatnya trauma.
Kini, ketika publik mengenangnya, fase hidup ini justru memperlihatkan sisi paling manusiawi dari seorang aktor besar: keberanian untuk merendah, bekerja keras, dan mencari nafkah yang halal tanpa peduli gengsi. Masa ketika ia berjualan kerupuk bukanlah episode kelam, melainkan bukti keteguhan dan kejujuran yang membuat sosok Epy Kusnandar semakin dihormati setelah kepergiannya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News