Dalam perjalananya, setiap periode perkembangan sastra di Indonesia melahirkan berbagai sastrawan terkenal akan karyanya yang menceritakan kehidupan sosial disetiap zamannya. Salah satu sastrawan terkenal yaitu Seno Gumira Ajidarma. Dia dikenal dengan berbagai kumpulan cerita pendek (cerpen) pada masa orde baru (Orba).
Baru-baru ini, putra guru besar Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada Prof. Dr. MSA Sastroamidjojo itu mengadakan acara pertunjukan seni membaca cerpen. Menurutnya, seni membaca cerpen merupakan suatu terobosan baru untuk mengubah citra sastra yang terkesan kaku dan serius.
"Penting karena image sastra suntuk dan serius, dan perlu perjuangan besar membacanya," kata Seno kepada Yovie Widianto, dalam program Idenesia dengan tema "Aksara Bersuara."
Pria kelahiran Boston, Amerika, itu menilai, seni membaca cerpen dapat menghidupkan kata-kata yang terangkai menjadi sebuah cerita, sehingga kesan kaku sastra yang dinilai selama ini bisa cair dan menimbulkan imajinasi bagi para pendengar untuk mendengarkan setiap rentetan kisah yang diceritakan dalam sebuah cerpen tersebut.
"Seni membaca cerpen ini melewati batas itu, dia bisa dihidupkan, dan jika pembacanya sekelas Butet akan menjadi hidup, sehingga satra terapresiasi, sehingga sastra tidak membosankan," ungkapnya.
Ya, Butet Kartaredjasa memang ikut ambil bagian dalam pertunjukan seni membaca cerpen yang digagas Seno. Pria yang terkenal sebagai pemeran teater dan pelawak ini mengaku menjadi penggemar karya cerpen Seno.
Butet menganggap, cerpen yang dibuat oleh Seno merupakan sebuah hasil sastra yang tidak hanya menyajikan cerita kepada pembacanya. Tetapi, banyak unsur edukasi dan informasi yang dikemas ke dalam sebuah bentuk cerita.
"Sejak zaman Orde Baru, bahkan cerpen dia (Seno) dalam serial Saksi Mata sangat infomatif, menyampaikan pesan yang zaman orba yang tidak mungkin disampaikan ke media publik. Adanya justru infomasi itu ada di dalam cerpen,” kata Butet.
Memang, karya Seno melalui cerpen pada zaman Orba banyak digandrungi. Cerpen-cerpen tersebut diterbitkan melalui surat kabar atau buku. Seiring berkembangnya zaman, cerpen dalam surat kabar sudah tidak terlalu diminati oleh pembaca dan pecinta sastra di Indonesia.
Hal itulah yang dilihat oleh Adimas Immanuel, sastrawan muda yang menyebarluaskan karya sastranya melalui media sosial. Beda dengan Seno, Adimas lebih banyak menghasilkan karya sastra dalam bentuk puisi.
Puisi Adimas cenderung menceritakan tentang kehidupan sehari-sehari, sehingga tak jarang berbagai kelompok umur menggemari karyanya. Secara tidak langsung, melalui media dan tema puisi yang dipilih membuat dunia sastra kembali dinikmati oleh masyarakat saat ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News