Tiga topik penting tersebut adalah air, sejarah, dan gender. Topik tersebut diangkat karena dekat dan bersinggungan dengan kehidupan sehari-hari setiap orang.
"Topik ini diangkat karena kami ingin membicarakan hal-hal yang dekat dengan masyarakat dan berkorelasi dengan orang banyak. Kami tidak mau terlalu teoritis dan mengawang-awang," ujar Irma Chantily, salah seorang kurator muda di Jakarta Biennale 2015, saat diwawancarai di Gudang Sarinah, Jakarta Selatan, Sabtu (14/11/2015).
Air menjadi isu yang belum terpecahkan di Indonesia. Sebab, air merupakan sumber kehidupan, namun bisa juga menjadi bencana.
Topik sejarah diangkat karena merupakan sebuah isu penting di mana refleksi masa lampau berdampak pada masa kini.
Sementara, gender juga merupakan hal penting untuk diangkat dalam pameran kali ini. Sebab, hingga sekarang masih ada kompromi dan bahkan menentang batasan-batasan identitas gender yang ada.
"Jakarta Biennale sejak 2009 telah bertransformasi dengan melibatkan publik dan ruang-ruang kota sebagai bagian dari praktek serta strategi artistiknya. Hal ini bertujuan untuk menempatkan Jakarta Biennale sebagai platform praktik-praktik seni rupa yang kritis terhadap publik dan ruang kotanya," tutur Ade Darmawan, Direktur Eksekutif Jakarta Biennale 2015.
Diharapkan Jakarta Biennale 2015 mampu mengedukasi masyarakat umum.
"Salah satu visi misi kami adalah menjadikan Jakarta Biennale sebagai platform yang memiliki peran edukasi secara umum, yaitu publik dan secara khusus di wilayah praktik pengetahuan seni rupa," kata Ade.
Jakarta Biennale 2015 mengangkat tema Maju Kena, Mundur Kena: Bertindak Sekarang!
Pameran ke-16 ini berlangsung pada 15 November 2015 hingga 17 Januari 2016, di Gudang Sarinah, Jalan Pancoran Timur II No. 4, Jakarta Selatan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News