ALI (Foto: Michael Tartaglia)
ALI (Foto: Michael Tartaglia)

Ali dan Gelombang Habibi Funk

Agustinus Shindu Alpito • 05 Oktober 2023 18:46
Beberapa waktu terakhir invasi habibi funk semakin masif. Habibi funk tidak pernah secara spesifik dianggap sebagai sebuah genre musik. Tetapi sebutan itu mulai jamak digunakan yang sebenarnya lebih kepada istilah gaya musik funk dari dunia Arab dan Afrika bagian Utara dekade '60-an hingga '70-an. Penetrasi musik ini semakin tak terkendali, merasuk ke lantai-lantai dansa kota-kota besar dunia. Berlin berikut penggila-penggila musik di dalamnya jadi episentrum awal yang bertanggung jawab akan masifnya penyebaran musik ini.
 
Adalah sosok Jannis Stürtz yang tidak bisa dilepaskan dari demam "habibi funk" di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Secara telaten Jannis mengumpulkan musik-musik kawasan Arab dari era '50-an, '60-an, hingga '70-an yang memiliki pondasi dan karakteristik serupa. Upbeat, groovy, gitar yang melodius, drum repetitif, punya kadar soul tinggi, dan tentu saja funky. Apa yang dilakukan Jannis bukan pekerjaan mudah. Dia melakukan riset dan menggali rilisan fisik musik yang langka selama bertahun-tahun. Sampai pada akhirnya Jannis merilis musik-musik yang ditemukannya dari kawasan Arab melalui label yang dia beri nama Habibi Funk Records. Dari situlah istilah "habibi funk" menyebar luas.
 
"Awalnya, terasa lebih sulit. Contohnya mencari (sosok) Fadoul yang memakan waktu satu tahun prosesnya. Kami menemui seseorang yang mengenali fotonya dan kami hanya tahu informasi di mana keluargannya tinggal sepuluh tahun lalu, kami hanya tahu nama tetangganya di Casablanca, bukan nama jalan dan sebagainya," kata Jannis, dilansir dari PAM (Pan African Music).

Kata-kata Jannis di atas merujuk pada sosok Fadoul, musisi Maroko era '70-an, yang kemudian karyanya menjadi rilisan awal Habibi Funk Records.
 
Sebelum mendirikan Habibi Funk Records, Jannis punya label bernama Jakarta Records. Kedua label ini dia jalankan dari Berlin, Jerman. Kota dengan kultur musik yang dinamis. Jakarta Records sendiri dikenal punya peranan penting dalam menyuplai musik-musik dansa bawah tanah dengan fokus rilisan pada genre hip-hop dan musik-musik yang terpengaruh dengan elektronik, soul, jazz, dan funk. Rilisan Jakarta Records menjadi rujukan selector dan disjoki dari penjuru dunia. Nama "Jakarta" dipilih Jannis setelah liburan ke Indonesia. Sedangkan nama "Habibi Funk" menurut Jannis dipilih untuk merepresentasikan musik-musik yang mereka rilis yang memiliki keterkaitan kuat dengan musik-musik funk Arab. Dia menganalogikan istilah "habibi funk" seperti sebutan "krautrock" yang sama-sama tak punya arti khusus.
 
Tantangan awal dalam mengekspos funk Arab dan mengemasnya jadi komoditas dalam industri musik global bukan semata soal proses penggalian musik-musik yang menarik dan layak untuk mendapat pendengar lebih banyak. Jannis punya tanggung jawab moral ketika berhadapan dengan budaya di luar asalnya. Dia tahu hal itu bisa menimbulkan asumsi buruk dan memori kolektif akan kolonialisme, terlebih dia berkutat dengan musik dari negara-negara Arab dan Afrika.
 
"Kalau kamu orang Eropa atau label Barat dan membuat kesepakatan dengan artis musik non-Eropa, jelas ada tanggung jawab khusus untuk memastikan bahwa Anda tidak mereproduksi pola eksploitasi ekonomi historis, yang merupakan hal terpenting dalam aspek pasca-kolonial dari apa yang kami lakukan," kata Jannis kepada The Vinyl Factory.
 

 
Di Indonesia, gelombang "habibi funk" turut dirayakan. Ali adalah contoh paling tepat. Ali lahir saat pandemi covid-19 lewat single debut "Dance, Habibi" yang dirilis pada 2021. Dalam waktu  singkat Ali punya perjalanan yang mengagumkan. Mereka telah menyelesaikan tur Perancis dan Australia dengan status saat itu belum memiliki album.
 

 
"Kita dari awal melihat itu, melihat fenomena itu (habibi funk). Terus ya mungkin karena kesukaan kita juga sama musik-musiknya gitu musik-musik yang sebenernya sama, bisa dibilang kayak dengerin musik-musik '70-s, '60-s dari Afrika, Middle East, Turki, yang bisa dibilang ya eksotis lah ya. Terus dari situ lah pokoknya kita pengin bikin proyek kayak gitu, proyek senang-senang yang kayak ngeluapin semua yang kita suka," kata Coki, panggilan akrab John Paul Patton, kepada Medcom.id
 
Apa yang dilakukan Ali menarik. Tren musik habibi funk bertransformasi dari preservasi menjadi reproduksi. Ketika Habibi Funk Records awal-awal sebatas merilis ulang rilisan-rilisan musisi funk negara-negara Arab dari era '60-an sampai '70-an, kini justru sound dan karakteristik musik itu dibuat ulang oleh band-band non-Arab, namun tetap menggunakan bahasa Arab.
 
Ali serius dalam membuat musik yang terpengaruh gelombang habibi funk. Mereka melibatkan rekan yang memang paham bahasa Arab untuk menjadi konsultan dalam menulis lirik dan pelafalan. Fenomena ini unik, bagaimana musik Arab era lampau memengaruhi salah satu band Indonesia lima dekade kemudian, lengkap dengan bahasa Arab yang digunakan. Dan itu dilakukan dalam konteks seni-kreatif, bukan keagamaan.
 
"Sejauh ini sih bahasa Arab tetap jadi bahasa yang kita pilih. Mungkin (nantinya) enggak semua lagu kayak gitu, (menggunakan bahasa Arab) lebih ke arah fungsinya sebagai pemanis dan estetikanya, dan sebagai statement kalau kami emang bermain di warna musik itu," kata Coki.
 
Ali dan Gelombang Habibi Funk
(Foto: Michael Tartaglia)
 

Racikan funk Arab ala Ali dapat didengar lewat album debut mereka Malaka. Album sembilan track itu secara estetika suara sukses bila disebut funk Arab era '70-an. Tetapi, itu bukan berarti mereka sepenuhnya ingin melepas identitas sebagai band yang berasal dari Asia Tenggara. Hal itu kuat tercermin dalam pemilihan judul album dan beberapa track di dalamnya seperti "Equator" dan "South East."
 
Malaka dirilis dengan pesta yang menampilkan Ali secara live di sebuah bar yang identik dengan barometer pergaulan Jakarta Selatan hari ini, Zodiac. Ali memainkan set Malaka dengan dengan penonton penuh sesak. Menandakan bagaimana musik mereka telah diterima dan habibi funk jadi estetika tersendiri yang relevan secara universal. Album Malaka bahkan bukan saja diedarkan di Indonesia, tetapi juga didistribusikan secara global oleh label asal Berlin, Sound Metaphors.
 
Lewat fenomena ini, sekali lagi musik membebaskan sekat-sekat dengan cara paling dapat dirayakan semua orang dari semua bangsa. Dari Berlin, Maroko, Jakarta, dan ujung-ujung dunia yang entah, mari kencangkan volume speaker dan ikuti kata Ali, Dance, Habibi! 
 

 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(ASA)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan