Bob dan Mike Marjinal.(Foto: Agustinus Shindu A/MTVN)
Bob dan Mike Marjinal.(Foto: Agustinus Shindu A/MTVN)

Sudut Pikir Marjinal

Agustinus Shindu Alpito • 04 Mei 2016 12:36
Metrotvnews.com, Jakarta: Bersama komunitas Taring Babi yang bermarkas di kawasan Jagakarsa, Marjinal membuktikan diri bahwa tato sekujur tubuh, rambut mohawk, tindik, bukan cerminan manusia tak beradab. Justru sebaliknya, mereka selama ini dikenal sebagai komunitas yang kreatif dan mampu memberdayakan diri sendiri.
 
Pada suatu sore, Metrotvnews.com menelisik masuk ke markas Taring Babi, bertemu dengan dua personel Marjinal, Mike dan Bob. Proses wawancara kami lebih terasa seperti obrolan ringan namun bergizi. Sangat cair.
 
Tidak puas hanya menghabiskan sore di teras depan, Metrotvnews.com diajak "tur" rumah komunitas ini. Melihat bagaimana wujud studio rekaman super minimalis, tembok yang penuh coretan dan tempelan poster, hingga studio tato.

Meski terhitung sebagai grup musik berpengalaman, Marjinal jauh dari kesan senior. Sikap para personel Marjinal jauh dari kesan bintang. Salah satu warga sekitar komunitas Taring Babi yang Metrotvnews.com temui memberi kesaksian bahwa Marjinal mampu melebur tanpa batas dengan warga setempat.
 
"Kalau soal kebaikan, tentu anak-anak (Marjinal) enggak mungkin mengumbar cerita. Biar saya yang cerita, setiap mereka pergi dari luar (kota dan negeri), misal dari Jepang kemarin, kalau ada oleh-oleh, makanan atau beras, dibagi rata ke tetangga-tetangga sekitar," kata salah satu warga.
 
Rumah komunitas Taring Babi di Jagakarsa jauh dari kesan mewah. Bahkan, jalan menuju rumah itu kurang dari tiga meter lebarnya. Hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki dan naik sepeda motor. Mereka menyewa rumah itu sejak tahun 2002, saat ini biaya sewa rumah itu seharga Rp1,5 juta per bulan.
 
"Kadang kami patungan, atau kadang kami tampil di acara yang memberi uang banyak, misal kami dapat Rp5 juta waktu manggung, kami senang sekali karena itu uang yang banyak, jadi bisa untuk bayar sewa rumah," kata Bob.
 
Obrolan kami melebar, mulai dari pembahasan "punk" itu sendiri, hingga cerita ringan sehari-hari. Berikut wawancara Metrotvnews.com bersama Bob dan Mike.
 
Apa arti punk menurut kalian?
 
Bob: Kalau soal bagaimana menerjemahkan punk, misal ada 30 anak punk di sini, kalau ditanya soal punk punya jawaban berbeda-beda.
 
Ada yang menerjemahkan punk dengan berkarya sebagai koki, pemusik, penulis, tapi pada intinya punk itu menjadi diri sendiri. Jadi tidak ada satu pakem punk seperti apa, apakah harus turun ke jalan, harus bertato, atau harus mohawk.
 
Kalian dikenal mampu memberdayakan diri dan komunitas dengan bekerja, salah satunya menjual kaus yang disablon sendiri. Bagaimana jika kalian melihat karya kalian dibajak, baik produk merchandise atau musik?
 
Bob: Kalau kami sah-sah saja dibajak, kaus bajakan Marjinal ada, kita punya contohnya di belakang (disimpan). Sah-sah saja. Jadi motivasi untuk kita, artinya kita harus bikin desain yang lebih bagus lagi.
 
Yang menjual lagu bajakan Marjinal di lapak juga banyak, mereka yang jual juga enggak tahu Marjinal. Tapi kalau itu bisa memberi rezeki mereka, bisa memberi uang untuk mereka bayar kontrakan, silakan.
 
Halal untuk dibajak. Kalau kita bikin lagu, kita terinspirasi dari apa saja, chord yang kita pakai untuk main musik juga sudah ditemukan oleh orang-orang sebelum kita, jadi secara langsung kita terinspirasi orang lain, dan setelah jadi lagu ya kita kembalikan lagu ke (umum).
 
Dengan pola pikir seperti itu, lalu bagaimana kalian memaksimalkan pendapatan dari berkarya?
 
Bob: Apa yang bisa kita lakukan maksimal ya kita lakukan, selama orang bergerak pasti ada hasilnya. Selama ini dari hasil produksi, ada yang sablon, bikin tato, ada yang jual koran. Kalau soal musik,  buat kami untuk media bersuara.
 
Apakah kalian mengelola royalti kekayaan intelektual kalian dengan baik?
 
Bob: Enggak ada. Perkembangan di luar (komunitas Taring Babi) dan di sini beda. Tapi perlahan ke arah sana. Kami perlahan menghargai. Justru teman-teman dari Jepang yang memikirkan itu, karena dua album kami rilis di Jepang.
 
Setelah eksis selama dua dekade, apa tantangan yang kalian hadapi saat ini?
 
Bob: Kami berpikir bagaimana lebih mengakar lagi. Setelah kami biasa main dengan distrosi, dengan band, sekarang kami tertantang main akustik di depan nenek-nenek, orangtua, supaya bisa lebih diterima semua.
 
Penampilan kalian eksentrik. Melihat ke belakang, apakah kalian sempat mengalami penolakan dari warga sekitar ketika mendirikan komunitas di tengah perkampungan ini?
 
Bob: Kita harus terbuka, kita harus belajar dengan masyarakat.  duduk bareng dan ketemu. Ada beberapa kelompok yang awalnya datang dan mencoba mengajak kami mengikuti (jalan pikir) mereka, tapi kami ajak duduk bareng dan diskusi hingga akhirnya bisa saling menghargai.
 
Akhir-akhir ini kalian sering konser di Jepang, mengapa komunitas seni dan punk di sana begitu antusias dengan Marjinal?
 
Bob: Awalnya, ada teman seorang fotografer dari Jepang Ayumi Nakanishi, dia yang sering mengikuti kami di sini. Dia foto-foto bikin video, terus bikin video dokumenter tentang kami dan diputar di sana.
 
Banyak tanggapan dari punk yang sudah tua. Setelah mereka melihat video dokumenter kami, mereka bilang ingat 20 tahun lalu skena punk di Jepang seperti di Indonesia pada saat ini.
 
Sudut Pikir Marjinal
Bob dan Mike. (Foto: Agustinus Shindu A/MTVN)
 
Lalu bagaimana dengan iklim skena punk di Indonesia pada saat ini?
 
Bob: Sangat besar, salah satu terbesar di Asia itu di Indonesia.
 
Bagaimana agar para musisi berbasis punk bisa terus berkembang luas dan mengakar?
 
Bob: Kembali lagi apakan akan terbuka atau tidak, termasuk soal penulisan lirik. Contohnya, bagaimana agar saudara-sauadara kita yang jualan di pasar tahu lirik kita dan perjuangan kita lewat lirik.
 
Kekuatan lagu-lagu kalian ada pada lirik yang mampu memecut semangat pendengarnya, bagaimana proses kalian menulis lirik?
 
Bob: Kami pakai bahasa yang sederhana, sekarang banyak orang pintar tetapi tidak berbagi. Mereka menggunakan bahasa-bahasa “langit”  yang tidak bisa dipahami oleh semua orang.
 
Saat ini perjuangan apa yang ini digalakkan Marjinal?
 
Mike: Kami ingin mencoba memberdayakan petani kopi dengan memotong rantai penjualan yang tidak penting. Ada teman-teman yang sudah mendampingi mereka.
 
Enggak apa-apa kami beli mahal, asal ke petani langsung. Di Starbucks saja sudah berapa harganya. Seharusnya petani kopi bisa mendapat harga yang lebih baik. Biarkan mereka bikin koperasi, kita hanya mendorong itu.
 
Selain itu harus ada transfer informasi mengenai dampak ekologi, misal satu pohon kopi bisa menghasilkan beberapa jenis kopi dengan metode stek.
 
Realisasi seperti apa yang kalian harapkan dari perjuangan memotong rantai tengkulak pada petani kopi?
 
Mike: Saya berharap akan lebih banyak petani yang membuka warung kopi secara langsung,  yang saya harapkan akan jadi warung yang pintar, mampu menguasai sisi sejarahnya juga. Yang sekarang ingin kami tawarkan adalah bahasa bentuk, bukan lagi bahasa bunyi dan bau, karena ketika sudah bicara bentuk sudah pasti menghasilkan bunyi dan bau.
 
Sudut Pikir Marjinal
Bob dan Mike. (Foto: Agustinus Shindu A/MTVN)
 
Kalian termasuk  grup musik yang kritis menyikapi berbagai kebijakan pemerintah. Apakah pernah kalian duduk satu meja dengan pemerintah?
 
Mike: Sering. Tapi, kami melihat mereka sebagai instrumen Negara. Contoh KPK dan Komisi Yudisial yang dibentuk untuk terciptanya peradilan hukum yang baik. Keadaan mereka untuk kebutuhan memperbaiki hukum yang sudah bobrok di negeri ini, tetapi dilemahkan. Percuma juga mereka menangkap para koruptor tetapi sampai tingkat peradilannya ada suap.
 
Lalu, kebijakan pemerintah seperti apa yang ideal menurut kalian?
 
Mike: Menurut saya tidak ada kebijakan yang kuat ketika masyarakat tidak dilibatkan. Kendalanya apa? edukasi dan informasi. Di era sekarang kita harus inisiatif untuk itu. Agar upaya baik terus tercipta..
 
Akhir-akhir ini marak polemik reklamasi. Bagaimana kalian memandangnya?
 
Mike: Alhamdullilah kami tergerak. Kami punya kekhawatiran besar atas semua itu.  Kami tidak punya kepentingan apa-apa. Kami sadar melakukan hal ini atas dasar rasa peduli kami dengan kehidupan di luar kita. Dari kesadaran bahwa apa yang terjadi di luar akan memengaruhi apa yang terjadi pada kami.
 
Kita hanya diarahkan kepada monopoli yang pada akhirnya mengarah kepada keuntungan kelompok-kelompok kecil saja. Ketika masayarakat dilengkapi dengan edukasi dan informasi, mereka tidak lagi awam.
 
Ketika semua itu disadarkan, perubahan hal yang tidak bisa dielakan, revolusi jadi hal yang pasti. Tapi kenyataannya masyarakat kita masih terkotak-kotak pola pikirnya.
 
Yang punk juga gitu-gitu saja. Isu yang diangkat (oleh komunitas punk) bahkan isu luar negeri. Tidak mau membumi dengan menyorot persoalan di tingkat lokal.  
 
Begitu juga dengan kelompok masyarakat lain? Petani ya mengelompok dengan petani. Nelayan juga begitu. Yang (beraliran musik) grindcore juga. Itulah karakter masyarakat kita. Ada apa ini? Sudah secara sistem memang dibuat tidak ada persatuan. Akhirnya main ego saja.
 
Siapa pemimpin DKI Jakarta yang ideal, jelang pemilu tahun 2019?
 
Mike: Kita krisis pemimpin. Yang ada hanyalah cukong dan centeng yang bertugas bagaimana menyukseskan program neoliberalisme dan memfasilitasi para pemodal dalam proyek-proyek privat.
 
Contoh masalah reklamasi, apakah ada hal baik yang ditawarkan pemerintah? Ini kan manipulasi semua. Untuk pembangunan? Pembangunan yang mana? Jelas-jelas itu bisnis privat.  Belum lagi dampak ekologi.
 
Sudut Pikir Marjinal
 
Di beberapa kota, keberadaan anak punk jalanan dianggap meresahkan hingga tak jarang aparat melakukan razia. Bagaimana kalian memandang persoalan ini?
 
Mike: Saya menyikapinya sederhana, jika ada tindak kriminal, kemungkinan itu bisa dilakukan siapa saja, oleh anak punk atau kyai atau ustaz. Ini bagaimana masyarakat menyikapinya. Jangan melihat itu si A atau si B, tetapi ketika dia salah secara hukum ya salah. Kita semua sama di mata hukum.
 
Apa kalian juga melakukan upaya edukasi dan tukar pikiran bersama komunitas punk lain, termasuk anak punk yang kerap ditemui di jalanan?
 
Mike: Ya, di rumah kami ini (Taring Babi) selama 19 tahun kami berdiri, ini tempat untuk siapa saja.
 
Gue lebih suka blusukan ke kampung-kampung, ke masyarakat memahami bareng-bareng punk itu apa, tapi pada akhirnya kembali lagi bahwa punk adalah spirit.
 
Semangat untuk menjadi diri sendiri tanpa harus terbatas oleh aliran musik. Tiba-tiba punk tidak mau membaur di masyarakat dan hanya mengikuti luar negeri saja. Di luar bikin 'food not bomb' kita ikut-ikutan. Ini memberi kesimpulan bagi gue kalau masyarakat kita krisis identitas
 
Apakah kalian pernah mendapat kecaman atau pencekalan dari aparat?
 
Bob: Pada waktu Hammersonic tahun 2014, ketika itu kami masuk sebagai daftar band pengisi. Ketika pihak Hammersonic mengurus izin ke pihak kepolisian, saat melihat ada nama Marjinal, pihak kepolisian tidak memberi izin.
 
Alasannya, kami dianggap bisa menimbulkan ketidakstabilan di masyarakat. Mungkin karena pada waktu itu masa-masa pemilu. Akhirnya kami tidak jadi main.
 
Kalian bukan grup musik yang membanderol penampilan dengan harga tinggi, namun kalian mampu bertahan sejauh ini. Apakah kalian hanya mengandalkan sektor musik dan pernik (merchandise) sebagai penghasilan?
 
Mike: Kami punya pekerjaan lain, seperti Bob jadi seniman tato, saya terkadang berjualan kayu, cungkil kayu. Selama ini, kami disokong oleh bos besar, yaitu Allah.
 
Kalau saya sendiri, sering dapat uang dari menjuarai lomba mancing. Ini serius. Saya sering ikut lomba mancing, dan seperti penghasilan rutin. Bahkan saya bisa punya motor dari hadiah lomba mancing hehehe...
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FIT)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan