Roy Marten (Foto:Metrotvnews.com/Agustinus Shindu A)
Roy Marten (Foto:Metrotvnews.com/Agustinus Shindu A)

Zig-zag Jejak Roy Marten

Agustinus Shindu Alpito • 25 Februari 2016 15:25
medcom.id, Jakarta: Dekade 1970-an dan 1980-an dianggap sebagai masa emas perfilman Indonesia. Penilaian itu berdasar dari kuantitas film Indonesia dan kualitas para sineas yang ada. Salah satu aktor yang lahir pada masa itu adalah Roy Marten.
 
Pada suatu siang pertengahan Februari 2016, Metrotvnews.com menyambangi kediaman sang aktor di kawasan Kalimalang, Jakarta Timur. Setibanya di rumah yang bernuansa teduh itu, Roy menyambut kedatangan Metrotvnews.com.
 
Ayah dari presenter Gading Marten itu lalu mulai menguak lembar demi lembar kisah kehidupannya. Dimulai dari karier film yang sudah ditekuninya sejak 1970-an.

Sepak terjang Roy di dunia film tentu tidak perlu diragukan lagi. Film sekelas Badai Pasti Berlalu dan Cintaku di Kampus Biru adalah contoh film yang dibesarkan dan membesarkan nama Roy.
 
Seperti kisah-kisah sosok besar lainnya, selalu tersimpan cerita menarik di balik kesuksesan. Roy bercerita jika semua bermula dari kenekatannya hijrah ke Jakarta.
 
Zig-zag  Jejak Roy Marten"Dulu hidup saya awal-awal di Jakarta sangat sulit. Saya tidak punya uang untuk tinggal di Jakarta. Saya sengaja ke Jakarta karena enggak ingin manja. Di Jakarta benar-benar jadi gelandangan. Dulu saya ngekos di Grogol Rp3.500. Angka itu dulu besar.  Sekitar tahun 1974. Lalu, saya diusir dari kos itu karena sering telat bayar. Terus, saya tinggal di tempat teman yang sekarang jadi Mal Taman Anggrek. Dulu, di sana sawah. Dua tahun di sana, baru nasib saya berubah," tutur Roy mengenang.
 
Roy adalah sosok yang ulet. Dia tidak menyerah begitu saja pada mimpinya menjadi seorang aktor. Mimpi yang pada masa itu tak lazim berada di benak para remaja.
 
Awal dekade 1970-an, tidak ada sekolah akting atau manajemen artis yang membuka kesempatan terbuka bagi siapa saja yang ingin terjun ke dunia hiburan. Tapi, ketekunan yang akhirnya membuka jalan hidup Roy.
 
"Saya nekat ke Jakarta, luntang-lantung. Saya mulai karier dari model. Jadi binaragawan untuk menyambung hidup. Pada saat itu bersama Pangky Suwito menjadi model," ujar Roy.
 
"Ketika nama saya dimuat di majalah sebagai model, nama saya ditulis Pierre. Waktu itu model yang terkenal namanya Pierre. Saya protes karena itu bukan nama saya. Lalu, di situ saya bertemu wartawan namanya Albert Situmorang, wartawan Sinar Harapan. Dia menawarkan saya main film pertama kali, judulnya Bobby (1974). Tetapi filmnya flop, tidak laku. Lalu tahun 1975 saya diajak kembali, main film Rahasia Gadis. Di situ saya bertemu Yenny Rachman dan Ully Artha pertama kali. Itu juga kurang beruntung, filmya tidak laku," kata pria yang kini berusia 63 tahun itu.
 
Roy memiliki nama asli Roy Wicaksono. Tetapi saat awal dia terjun ke dunia film, namanya dianggap kurang komersial. Akhirnya dipilih nama Marten untuk mengganti nama Wicaksono.
 
"Pas mau diganti, saya bingung. Terus ada yang bilang pakai nama Martin saja. Saya bilang, maunya Marten. Awalnya, saya tidak mau harus ganti nama, tapi lama kelamaan semua sudah tahunya Roy Marten. Sampai akhirnya orang tua juga panggil saya Roy Marten," ujar aktor kelahiran 1 Maret 1952 itu.
 

Film yang Mengubah Nasib
 
Meski awal kariernya tidak mulus, Roy terus mencoba dan mencoba. Berbagai kesempatan yang ada dia tempuh, hingga pada akhirnya Dewi Fortuna berpihak kepadanya.
 
"Pada tahun 1976 ada novel sangat terkenal,  Cintaku di Kampus Biru. Saya kembali diajak main film. Di film itu saya ketemu Yati Octavia. Film itu meledak. Sejak itu, nasib saya berubah. Sejak film itu diputar, terjadi perubahan drastis dalam hidup saya," ucap Roy.
 
Popularitas Roy sebagai aktor baru begitu memikat pada masa itu. Mungkin sama meledaknya ketika Nicholas Saputra sukses berperan sebagai Rangga di Ada Apa Dengan Cinta.
 
Roy bukan lagi gelandangan di Jakarta, dia seorang bintang film ternama!
 
Zig-zag  Jejak Roy Marten
 
"Pada waktu itu, ibaratnya hari ini masih belum jadi apa-apa. Sore hari, Cintaku di Kampus Biru tayang. Besok, saya sudah jadi orang lain. Sejak saat itu saya dikirim 100 surat setiap hari dari penggemar. Awalnya saya masih membalas. Tahun berikutnya saya hanya membaca dan tidak membalas karena minimal 150 surat setiap hari datang. Tahun berikutnya, saya sudah tidak membaca dan tidak membalas, karena tidak mungkin. Satu tahun saya main 14 film," jelasnya.
 
Pesona akting Roy begitu memikat. Tawaran film tak henti-hentinya menghampiri. Pada saat itu, kira-kira honornya Rp2 juta untuk berperan di satu film. Roy memanfaatkan popularitas dan kualitas aktingnya untuk membuat standarisasi honor yang lebih baik.
 
"Saya bilang kepada Robby Sugara, bintang film Indonesia itu angka psikologisnya tidak lebih dari dua juta. Saya bilang sama Robby, coba minta naik Rp3 juta per film. Dulu, rumah di Pulomas masih Rp13 juta. Saya lalu coba water test. Karena ada empat tawaran film, saya coba di salah satunya minta naik honor. Kalau ditolak, toh masih ada tiga tawaran lain," ungkapnya.
 
Ide Roy itu  didengar seorang wartawan, SK Martha. Dia menulis artikel tentang kemunculan 'The Big Five' (Roy, Robby Sugara, Yenny Rachman, Yati Octavia, Doris Callebout) dengan honor minimal Rp5 juta.
 
"Langsung pada gempar semua. Karena itu terasa tidak mungkin. Satu bulan kemudian, produser datang ke saya bawa Rp7,5 juta. Dari situ honor saya naik terus sampai terakhir Rp40 juta pada awal 1980-an. BMW Seri 2 waktu itu masih Rp32 juta. Mobil paling mewah pada saat itu," kata Roy.
 
Ada cerita menarik saat Roy berperan di film Badai Pasti Berlalu (1977). Sebagai bintang baru yang bersinar, Roy menyabet nyaris semua tawaran film yang ada. Saat produksi Badai Pasti Berlalu, Roy juga terlibat di tiga judul lain.
 
"Saya baru tahu belakangan kalau Teguh Karya agak tersinggung. Teguh Karya  ketika itu kan seperti dewa-nya film. Sedangkan saya hitungannya orang kampung baru datang," sebutnya.
 
"Ada sebuah kejadian, saya sudah tidak tidur tiga hari. Waktu itu film satu lagi, saya syuting di Puncak. Saya tidur cuma di mobil, dua jam, lalu ke lokasi syuting Badai Pasti Berlalu. Adegannya saya cium Christine Hakim, lalu ditampar. Adegan itu diulang 17 kali. Awalnya, saya pikir kalau saya salah. Belakangan saya tahu sutradara zaman dulu kalau marah seperti itu. Pinjam tangan pemerannya," papar Roy, disusul tawa lepas.
 

Lukisan dari Penjara
 
Melompat ke era 2000-an, Roy dua kali terjerat hukum atas kasus narkoba, yakni pada 2006 dan 2007. Roy dipenjara di Rutan Medaeng, Sidoarjo, Jawa Timur. Hidup Roy berubah drastis. Dari aktor tenar,  jadi narapidana yang serba terkekang.
 
Penjara tak serta-merta 'membunuh' Roy. Justru di tempat itu dia banyak belajar, pelajaran yang tak pernah dia dapatkan di glamornya panggung sinema.
 
Zig-zag  Jejak Roy Marten
Roy Marten dan lukisan hasil karyanya (Foto:Metrotvnews.com/Agustinus Shindu A)
 
"Ketika di penjara, saya bertemu seorang kakek bernama Jeffry. Dia pernah 11 tahun di penjara di Pulau Buru bersama Pramoedya Anata Toer. Saya hanya tujuh bulan di penjara, dan bertanya pada dia bagaimana cara mengalahkan penjara. Dia jawab ada dua cara, pertama dengan menurunkan standar kita. Yang menyusahkan orang itu standar dalam hidupnya. Orang itu dipenjara oleh standarnya sendiri. Kalau standar kita sudah paling rendah, kita tidak akan jatuh lagi. Kedua, dengan cara tidur. Karena jika tidur kita tidak dipenjara. Bebas bermimpi apa saja," kata Roy, tertawa.
 
 Untuk membunuh waktu, Roy menjalani kegiatan yang tak pernah dia lakukan sebelumnya, melukis.
 
"Saya belajar melukis di penjara. Waktu SMA saya suka bikin sketsa, sebatas itu. Saat di penjara waktu begitu banyak, di sana ada pelukis. Saya hanya mencoba, karena saya belum bisa pakai warna. Biasanya hanya dengan pulpen atau pensil," jelasnya.
 
Lukisan-lukisan Roy di penjara banyak terinspirasi karya Hendra Gunawan. Kini, lukisan Roy terpajang di rumahnya.
 
Penjara juga memberi inspirasi Roy untuk membuat sebuah film drama tentang penantian eksekusi hukuman mati. Ide itu terlintas karena Roy berada di penjara yang sama dengan seorang terpidana mati.
 
"Saya ingin membuat film seseorang yang menunggu hukuman mati. Saya pernah di penjara, dan waktu di sana ada orang mau dihukum mati, Sumiarsih dan Sugeng. Ketegangannya luar biasa. Sumiarsih di sel isolasi dan di sel perempuan. Saya tadinya mau dikenalkan, tapi enggak mau. Saya tidak tega. Ketika kita di luar penjara melihat berita eksekusi mati, itu tidak terasa emosinya. Tetapi saat di dalam penjara, itu emosional banget. Kita melihat dia, melihat dia dibawa dari sel. Saya melihat dia. Saya tahu dia tidak bisa makan tidak bisa tidur. Sangat membekas buat saya," kata Roy.
 

Dunia Peran dan Politik
 
Hingga kini, Roy masih aktif di dunia film dan sinetron. Suami Anna Maria itu memaknai bahwa dirinya mengalami tiga kali klimaks sepajang kariernya. Pertama, saat sukses membintangi Cintaku di Kampus Biru, kedua lewat Kabut Sutra Ungu (1979), dan ketiga masa sukses sinetron Bella Vista (1995).
 
Soal keputusan terjun ke sinetron, Roy mengaku awalnya tidak tertarik menjadi bintang televisi. Tapi dia tidak menampik bahwa jalan hidupnya memang tidak bisa jauh dari dunia peran.
 
"Tahun 1990-an tawaran film sudah sepi. Pada waktu itu mulai ada sinetron. Saya ditawar Rp300 ribu enggak mau. Orang di film dibayar Rp40 juta," ujar Roy, diiringi gelak tawa.
 
"Orang film merasa lebih tinggi dari sinetron, di Barat (Hollywood) seperti itu. Waktu itu Multi (Multivision Plus) menawarkan bikin sinetron Bella Vista (1995). Saya main di situ, dan akhirnya meledak. Saya pikir, saya tidak bisa meninggalkan dunia (seni peran) ini," aku Roy.
 
Zig-zag  Jejak Roy Marten
Roy Marten bersama puluhan selebritas yang tergabung dalam Gerakan MasBro JokoJeka menggalang dana sumbangan untuk mendukung capres cawapres Jokowi-JK di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, 8 Juni 2014 (Foto:MI/Immanuel Antonius)
 

Nama Roy tidak melulu muncul dalam pemberitaan seputar dunia hiburan. Dia sesekali tampil di acara politik. Namanya beberapa kali disorot media nasional. Tepatnya pada 2013, ketika mendeklarasikan dukungan kepada Joko Widodo agar maju sebagai calon presiden.
 
"Saya salah satu pendiri Partai Demokrat. Ketika peristiwa 65 meledak, rumah saya jadi basis, sering kedatangan Matori Abdul Djalil, George Aditjondro. Kami PNI ketika itu. Politik sudah seperti DNA bagi saya.  Lalu sebelum orang mendeklarasikan mendukung Jokowi, saya yang pertama mendeklarasikan," sebut Roy.
 
Roy lantas mengenang masa kecilnya di Salatiga,  kota di mana terjadi pembantaian besar-besaran terhadap pengikut PKI. Peristiwa itu melekat benar di benak Roy.
 
"Waktu saya sekolah, dari ruang kelas saya bisa mendengar PKI disiksa. Mereka menjerit kesakitan. Saya tidak bisa melihat mereka, tetapi terdengar suaranya," kata Roy.
 
Menurut Roy, sudah saatnya bangsa Indonesia membuka sejarah dan masa lalu sesuai fakta. Justru dengan itu rekonsiliasi bisa dibangun dan bersama-sama belajar dari apa yang telah terjadi.
 
"Ini adalah trauma bangsa kita, seharusnya pemerintah minta maaf. Kalau memang ada PKI yang salah, misal pemberontak, silakan ditahan dan diproses hukum. Tapi yang para petani tidak tahu apa-apa, di mana memberontaknya dia? Dulu rumah-rumah para antek PKI diambil begitu saja, orangnya diusir. Saya melihat langsung hal seperti itu," jelasnya.
 
Membicarakan politik bersama Roy sangat menarik. Wawasannya luas, tegas, dan gaya bicaranya tidak menghakimi. Meski demikian, Roy tidak terpancing untuk terjun langsung ke dunia politik praktis sebagai birokrat.
 
Zig-zag  Jejak Roy Marten
Roy Marten dan pengurus Forum Komunikasi Pendiri dan Deklarator Partai Demokrat dalam jumpa pers di Jakarta, 24 November 2014 (Foto:Antara/Muhammad Adimaja)
 

Jika dia mau, tawaran itu sudah datang sejak dulu.
 
"Zaman Golkar, saya ditawari jadi wakil rakyat, saya enggak mau. Lalu zaman PDI, waktu masih Suryadi dan Megawati, saya ditawari juga tidak mau. Waktu era Partai Demokrat ditawari Jawa Tengah nomor satu (calon gubernur), saya tidak mau. Saya melihat politik tidak seperti itu. Saya lebih ingin negeri ini dipimpin orang yang mengerti manajemen dan punya energi seperti Jokowi dan Ahok. Saya lebih memilih di perjuangannya saja," katanya tegas.
 
Dunia hiburan dan politik memang seolah dekat. Sudah banyak contoh di negeri ini para penghibur yang banting setir jadi politikus. Popularitas mereka di dunia hiburan jadi modal utama menggaet pemilih. Lepas dari kemampuan dan kualitas diri yang ada.
 
"Saya apresiasi ketika seniman banyak yang mau jadi birokrat. Masalahnya adalah tidak seimbang antara kemauan dan kemampuan. Lahannya beda antara kesenian dan politik birokrat. Karakternya beda. Teman yang di DPR dan pemimpin daerah dari kalangan seniman juga diam saja dan tidak terdengar kiprahnya saat ini. Menurut saya kita memang harus tahu diri," kata Roy.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(ROS)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan