Persepsi reggae adalah musik pantai terus berlanjut dan semakin membesar hingga saat ini. Lantas, apakah persepsi reggae musik pantai sejalan dengan kultur asli reggae itu sendiri?
Ini bukan soal benar atau salah, tetapi memahami perkembangan sub-kultur secara terbuka, termasuk memahami seluk-beluk sejarah dari musik itu sendiri. Akulturasi itu pasti, tetapi jika akulturasi tumbuh diimbangi sikap kritis dan keterbukaan pikiran, tentu akan berjalan lebih dinamis.
Tim Indis Metrotvnews.com mengonfirmasi langsung seputar kaitan reggae dan pantai kepada Duta Reggae Indonesia, Ras Muhamad. Juga tokoh dan musisi reggae terhormat, Tony Q Rastafara. Pendapat dari mereka cukup untuk membuka sekat dalam benak tentang sejarah dan apa yang terjadi pada reggae di negeri ini.
"Itu yang aku masih pikirkan sampai saat ini, itu persepsi yang tidak akurat soal reggae identik dengan pantai. Persepsi itu sudah lama berjalan dan persepsi yang sangat awam. Banyak orang yang berpikir dan hanya mengenal reggae dari lagu-lagu populer Bob Marley, UB40, Big Mountain, dan juga video musik Inner Circle yang Sweat itu syutingnya di pantai, jadi ada persepsi awam bahwa reggae itu pantai. Itu persepsi yang mungkin sudah ada selama 30 tahun di Indonesia," kata Ras dalam percakapan WhatsApp.
Jika Bob Marley yang dijadikan rujukan utama sebagai kiblat reggae, juga asing rasanya berbicara pantai.
"Kalau seorang musisi reggae bertanya (mengeluarkan pernyataan) reggae musik pantai, saya akan balik bertanya, lagu reggae dari Jamaika atau Inggris di era 1960-an dan 1980-an apa yang bertema pantai? Karena aku sendiri tidak bisa menjawab lagu reggae bertema pantai dari Jamaika. Bob Marley sendiri tidak memiliki satupun lagu bertema pantai," tegas Ras.
Ras tentu tidak sembarang dalam memberi pernyataan seputar reggae. Musisi yang tumbuh besar di New York, Amerika Serikat, itu telah bolak-balik Kingston, Jamaika. Dia juga kerap tampil di daratan Eropa, dan menjalin pergaulan dengan musisi reggae internasional.
"Persepsi awam itu sangat disayangkan. Persepsi itu di Indonesia diperkuat tema-tema (musik dan lagu reggae) yang seragam, terutama soal pantai, santai, dan persaudaraan. Itu menjadi phrases bagi saya yang kurang mendalam bagi saya," lanjut Ras.
Tony Q yang ditemui di kawasan Bulungan, pada pertengahan Desember 2016 turut menyumbang analisa seputar reggae dan pantai. Menurut dia, fenomena itu tidak lepas dari dari sejarah Jamaika itu sendiri.
"Kalau menurut analisaku, anggapan (reggae dan pantai) ini tidak lepas dari penjajahan Inggris ke Jamaika. Orang-orang Inggris itu datang ke Jamaika, dan dari mereka ada yang menikmati suasana di Jamaika, Orang-orang putih itu bersantai di Jamaika di pantai dan dihibur oleh orang-orang Jamaika yang membawakan musik reggae. Image yang tercipta dari situ," kata Tony Q.
"Di Indonesia juga seperti itu, misal lagi ke Bali, ke pantai, merasa tempat itu identik dengan reggae. Image yang terbentuk seperti itu. Karena mindset sudah terbentuk bahwa reggae musik pantai, akhirnya itu terakumulasi menjadi besar. Padahal, Bob Marley orang gunung. Lagu-lagu Bob Marley pun soal perjuangan, perjuangan (persamaan) warna kulit dan segala macam."
Dengan pendapat dua musisi reggae di atas, dapat disimpulkan bahwa reggae secara kultur memang tidak ada kaitannya dengan pantai. Hal itu juga diperkuat pengalaman Ras yang sempat merasakan tinggal di Jamaika, dan merasakan langsung pola hidup kultur reggae di tempatnya berasal.
"Pada tahun ini saya tinggal selama lima bulan, dari Januari sampai Mei, untuk belajar dan mendalami musik yang telah memilih saya. Tinggal di Jamaika itu sangat sulit melihat pantai. Pantai yang bisa dilihat adalah pantai yang dilalui ketika dari dan menuju airport. Pantainya berbatu dan jarang orang mengunjungi, nama pantainya Bull Bay. Bull Bay itu sekitar 2 KM ke luar kota Kingston ke arah airport. Mengapa orang sana jarang ke pantai? pertama karena transportasi itu sangat mahal sekali. Sangat jarang orang Jamaika ke pantai. Mereka yang tinggal di Kingston, mereka akan stay di Kingston, kecuali orang kelas menengah ke atas," kisah Ras.
Jejak Reggae di Indonesia
Tony Q adalah pionir musik reggae di Indonesia. Tetapi, sebelum Tony Q ada lagu populer bernuansa reggae yang dibawakan oleh Nola Tilaar. Lagu itu berjudul Dansa Reggae, dirilis pada awal era 1980-an. Sejauh ini, Dansa Reggae dipercaya sebagai lagu reggae pertama berbahasa Indonesia.
Tony Q sendiri mulai membawakan musik reggae pada tahun 1989. Dia pertama kali membawakan musik reggae di Pid Pub, Pondok Indah. Sebuah klab yang identik sebagai markas anak-anak rock dan metal.
Era akhir 1980-an dan awal 1990-an, musisi reggae di Indonesia bisa dipastikan hanya hitungan jari satu tangan. Menurut penuturan Tony Q, Imanez adalah salah satu penontonnya. Kala itu, Imanez belum dikenal sebagai musisi yang membawakan reggae. Pada tahun 1994, Imanez merilis album - yang terdapat lagu Anak Pantai. Tetapi, tidak semua lagu pada album itu bernuansa reggae.

Tony Q (Foto: Dok. Tony Q)
Album penuh bernuansa reggae benar-benar lahir dari Tony Q di tahun 1996, dengan judul Rambut Gimbal. Ini adalah album reggae pertama dari Tony Q sekaligus menjadi tonggak penting dalam perkembangan musik reggae di Indonesia.
Kembali ke persoalan reggae dan pantai, juga hubungannya dengan lagu Anak Pantai dari Imanez. Tony Q berpendapat bahwa lagu Anak Pantai adalah ekspresi Imanez yang tumbuh dari persepsi reggae identik dengan pantai, yang ternyata memberi pengaruh besar terhadap persepsi awam.
"Imanez sendiri sudah terpengaruh mindset itu (reggae identik dengan pantai), sehingga lagu Anak Pantai yang dia buat menjadi trigger yang membuat image reggae sama dengan pantai itu semakin tebal," ujar Tony Q.
Menurut Ras, persepsi reggae identik dengan pantai di era 1990-an awal wajar terjadi di kalangan penggemar musik, juga awam. Karena, pada era itu informasi masih terbatas.
"Soal (lagu Anak Pantai) almarhum Imanez, saya memaklumi era itu di mana referensi dan materi musik sangat terbatas. Mungkin saat itu beliau ingin berekspresi soal kehidupan di pantai, tetapi disayangkan bilamana ekspresi itu menjadi seragam untuk sebuah kultur, seni budaya reggae. Saya bukan ingin menolak, tetapi ingin memberi persepsi lain, bahwa reggae ini dari Jamaika, dan kultur reggae dari Jamaika itu bukan bertema pantai," jelas Ras.
Ras lantas menceritakan bahwa salah satu klab reggae di Jamaika yang kerap dijadikan rujukan sebagai "markas besar" musik reggae dunia, terletak di perbukitan. Jauh dari kesan tropis atau pantai.
"Lucunya, markas besar reggae-roots music, yang dibuat oleh Gabrie Selassie, yang rumahnya dijadikan semacam klab reggae, Kingston Dub Club, berada di puncak bukit di Kingston yang bernama Skyline, setiap minggu semua rastaman berkumpul di sana. Dan lokasi itu berada di bukit, bukan di pantai."
Musik secara khusus, atau budaya secara umum, akan terus berkembang dalam wujud-wujud baru menyesuaikan dengan kebudayaan, kultur, gaya hidup, pola pikir masyarakat setempat. Begitu pula yang terjadi pada reggae di Indonesia. Sekali lagi, kita tidak perlu melabeli benar atau salah. Tetapi, jika menebalkan sekat pikir bahwa reggae hanya sebatas pantai, santai, dan ganja, itu sama saja mengkerdilkan kebesaran reggae sebagai sebuah kultur - bukan semata musik.
"Musik reggae saat ini menjadi berkembang menjadi reggae dengan Indonesian style. Seperti yang terjadi pada dangdut, musik rock. Lebih kepada fenomena perkembangan masyarakatnya akan seperti apa," ungkap Tony Q.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id