Tak perlu sangsi menakar kadar ‘rock’ dalam darah Eet. Beberapa orang mencoba menterjemahkan rock melalui gaya, tindak-tanduk dan juga musik, tetapi Eet tidak perlu ngoyo untuk berlagak sebagai rocker. Rock adalah napas Eet Sjahranie.
Eet awalnya dikenal sebagai gitaris yang kerap terlibat di berbagai proyek musik, salah satunya adalah penggarapan album Fariz RM. Bagian gitar dalam lagu “Barcelona” milik Fariz RM adalah permainan Eet.
Sepulangnya dari tinggal dan studi di Amerika Serikat, Eet memang ingin berkarya di dunia musik. Waktu itu, menjelang akhir dekade 1980-an, musik Indonesia diwarnai demam solois yang dikemas dalam musik rock, seperti Nicky Astria dan Ikang Fawzi.
Eet sempat ditawari untuk ikut andil dalam tren itu sebagai penata musik dan produser, tetapi dia tidak tergiur. Sebagai gitaris, Eet tidak hanya ingin duduk di belakang mixer rekaman saja. Akhirnya dia mendapat gagasan dan kesempatan menggarap satu konsep duo.
“Akhirnya singkat cerita, gue tawarkan alternatif, kita bikin duet saja antara penyanyi solo dan gue. Konsepnya kayak 2D (Dian Pramana Poetra dan Deddy Dhukun), namanya E & E saja. Sebelum peristiwa ini gue sudah buat Edane dan sudah rekaman, sama Ekki Soekarno. Waktu itu jenis musiknya pop rock,” kata Eet dalam perbincangannya dengan medcom.id.

Foto: Edane formasi terbaru / Edane Facebook
Proyek E & E versi Eet dan Ekki mandek di tengah jalan. Padahal mereka sudah menyelesaikan beberapa materi lagu. Kesibukan Ekki ditengarai jadi penyebab terhentinya proyek ini. Namun Eet tidak menyerah. Dia tetap meneruskan konsep duo dengan penyanyi solo Ecky Lamoh.
Nama Ecky yang memiliki huruf awal “E” pun cocok bagi Eet, karena tidak perlu mengganti nama E & E yang sempat diusung bersama Ekki, “Gue telepon Ekki Soekarno untuk pakai nama E & E sama Ecky Lamoh, dan dia setuju.”
Persoalan nampaknya tidak ada habisnya menghampiri Eet. Saat E & E merencanakan terjun ke industri musik lewat album kompilasi, tiba-tiba ada nama serupa muncul di televisi, yaitu I & I. Sebuah proyek kolaborasi antara Ian Antono dan Ikang Fawzi.
“Gue bilang sama produsernya, bagaimana ini kok sudah ada I & I. Dan memang konsepnya sama, vokalis dan gitaris. Akhirnya dibilang, ‘Enggak usah ikut album kompilasi, tapi bikin album saja sekalian! Tapi ganti nama. Jadi disambung saja, Edane. Sekarang direpresentasikan dengan huruf (font) dari mesin tik (edane). Sampai sepakat, akhirnya bikin album,” jelas Eet.
Setelah itu, Eet menyiapkan format album bersama Ecky, dalam perjalanannya pun konsep terus berubah sampai muncul sebuah ide bahwa Edane bukan lagi duo tetapi band. Lantas terbentuklah Edane formasi awal yaitu Eet Sjahrani (gitaris), Ecky Lamoh (vokalis), Iwan Xaverius (bassist) dan Fajar Satritama (drummer). Empat pemuda cadas itu pun menghasilkan album pertama Edane pada tahun 1992, “The Beast.”

Foto: Eet Sjahranie / Metrotvnews.com / Agustinus Shindu Alpito
Edane, Band yang Enggak Happy
Bagi Eet, Edane bukanlah band yang ‘happy’. Band ini telah berusia 23 tahun di tahun 2015. Entah sudah berapa kali mengalami permasalahan, bongkar-pasang personel, timbul-tenggelam di industri musik, tetapi nyatanya Edane tetap bertahan.
Band yang awalnya diambil dari huruf awal nama Eet dan Ecky ini pun tak mampu mempertahankan formasi awal. Ecky memutuskan hengkang, kemudian bassist Iwan Xaverius pun dalam perjalanannya memilih meninggalkan Edane. Hal ini tentu bukan sesuatu yang mudah, karena Eet harus putar akal mengarahkan perjalanan Edane atau hilang ditelan zaman.
“Edane itu bukan band happy. Artinya begini, bahwa secara umum, lazimnya orang kan happy main musik di perjalanannya. Edane itu enggak pernah happy, bukan gue enggak bersyukur tapi dari awal Edane bukan bentukan yang happy,” kata Eet.
Dengan segala persoalan yang dialami, Edane kini terkesan lebih matang dan dewasa. Tahun 2015 mereka pilih untuk kembali hadir dengan album baru, formasi yang baru.
Jika Eet selama ini hanya sebagai gitaris tunggal, kini Edane memiliki dua gitaris. Saat ini, Edane terdiri dari Eet, Fajar Satritama, Hendra Zamzami (gitaris), Ervin Nanzabakri (vokalis) dan Daeng Oktav (bassist). Formasi ini, minus Hendra, sebenarnya sudah melahirkan album “Edan” yang rilis di bawah bendera Logiss Records milik Log Zhelebour.
Sebelum merilis album baru, Edane menggelontorkan sebuah singel berjudul “Hail Edan.” Lagu ini sekaligus memperlihatkan musik Edane yang terdengar beda, lebih kencang, bersemangat dan lebih galak dari musik-musik Edane sebelumnya.
"Edane dari 1992 dengan perjalanannya dan lain-lain, ini yang paling mentok yang kita jalani. Karena kita enggak mungkin beyond itu lagi. Tapi kalau bicara karya dan kreativitas enggak mau dibilang mentok karena kita enggak tahu mentoknya di mana. Kalo genre secara umum, ini genrenya maksimal ya segini. Ini yang kita bilang limitasi musik Edane,” tutur Eet.
Eet menganggap formasi dan format musik Edane saat ini adalah hal yang dia nantikan sejak tahun 1992, “Gue sudah banyak ‘diserang’ dan memang begitu realitanya. Gue enggak mau (persoalan itu) diangkat kepermukaan karena sebenarnya sepele. Masalah like and dislike, Edane is not gold anymore, but this time I’ve been waiting since 1992. Karena formasi yang sekarang saling intact (kompak) dan fit in (mengisi).”
Band bagi Eet layaknya sebuah tubuh yang harus memiliki kepala untuk menentukan kendali. Terkadang sikap permisif dengan dalih saling menjaga perasaan justru membuat band kehilangan arah.
“Kalau sama yang formasi sekarang harus jelas, selalu ngomong, harusnya jadi diktator dari dulu, he-he-he. Karena dulu gue itu sangat Indonesia, jadi akhirnya ada yang enggak cocok cenderung diam dan pecah di suatu waktu. Dari situ gue belajar, makanya gue selalu nasihatin band-band baru. Band itu enggak bisa kalau (menentukan sesuatu) rembukan bareng. Harus ada yang mengepalai,” terang pria asal Samarinda itu.
Foto: Eet Sjahranie / Metrotvnews.com / Adi Waluyo
Enggak Bisa jadi Rocker di Indonesia!
Jika orang yang ingin tampil nge-rock berusaha habis-habisan memermak penampilan dan gaya hidup mereka biar terkesan gahar, layaknya bintang rock dunia, itu tidak berlaku buat Eet.
Tidak jarang anak muda menerjemahkan gaya hidup rock dengan menggeluti narkoba dan alkohol. Mengenai hal ini, Eet menganggap ada perbedaan kultur yang mendasar antara paham rock dengan budaya Timur.
Meski tidak menampik bahwa napas rock begitu erat dengan seks dan narkoba, Eet terus terang menggeluti rock sebatas dari sisi musiknya.
“Gue paling maksimal cuma ini (sembari menunjuk sebatang rokok ditangannya),” kata Eet saat membeberkan bahwa dirinya tidak kecanduan alkohol dan obat-obatan terlarang.
Namun, Eet juga dengan lugas mengatakan bahwa gaya hidup rocker yang erat dicitrakan dekat dengan narkoba dan seks itu adalah bagian dari kultur Barat, tempat rock itu lahir. Gaya hidup seperti itu tentu tidak sejalan dengan kultur budaya Indonesia.
“Enggak ada itu rock positif, rock itu sex, drugs and rock & roll, tetapi gue hanya menggeluti musiknya, gua enggak melihat itunya (gaya hidup rocker),” seloroh Eet.
Karena kultur rock yang bertolak belakang dengan budaya Timur itu Eet berpendapat bahwa di Indonesia tidak bisa menjadi rocker.
“Sampai kapan juga enggak akan pernah bisa jadi rocker di Indonesia. Karena itu bukan budaya kita. Kalau rockers sana itu (di barat) gayanya memang begitu. Musiknya keras, gaya ngomongnya sudah begitu, pakai kata-kata ‘F@#k’ dan teriak-teriak. Gue tidak mengatakan itu lebih bagus, tetapi itu budaya mereka. Itu kenapa mereka jadi fasih dan kita kaku. Tapi itu bisa dipelajarin secara musically,” tukasnya.
Selain itu, kesulitan menjadi rocker di Indonesia adalah karena iklim industri musik yang kurang mendukung, dilihat dari berbagai sudut pandang.
“Setelah gue jalani, sudah enggak bisa hidup dari band (rock). Industrinya sudah collaps. Kalau mau jadi musisi rock, di samping musik harus ada sumber penghasilan lain. Kalau di musik, saat ini ujung-ujungnya mengandalkan pemasukan dari showbiz-nya, bukan lagi dari penjualan album,” kata mantan gitaris God Bless itu.
“Rock itu jenis musik yang akhirnya dikategorikan, itu karena ekpresi kemarahan anak muda waktu itu. Dari rock biasa lantas jadi rock yang heavy, jadi metal. Gue terus terang enggak ada arti khusus mengenai itu. Gue enggak suka kata genre itu dipakai jadi embel-embel ini-itu," tukas Eet.
Foto: Eet Sjahranie / Metrotvnews.com / Adi Waluyo
Eet dan God Bless
Berbicara mengenai karier Eet Sjahranie, tentu tidak bisa mengesampingkan masa-masa saat ia bersama God Bless, salah satu band rock legendaris Indonesia. Eet masuk God Bless untuk menggantikan posisi Ian Antono yang di akhir dekade 1980-an sempat memutuskan keluar.
Baik Eet dan Ian, dalam wawancara dengan Metrotvnews.com menegaskan, bahwa pada saat itu keputusan Ian untuk keluar bukanlah karena permasalahan internal. Ian pada saat itu kecewa dengan industri musik yang cenderung merugikan musisi, oleh karena itu dia memutuskan keluar dan menjadi orang di belakang layar.
“Waktu itu gue di Surabaya dan ada yang bilang kalau gue disuruh telepon Mas Yoki (Jockie Soerjoprajogo, keyboardist God Bless). Akhirnya gua telepon, masih pake telepon umum. Habis itu diajak ketemuan di Gins (studio musik). Di situ dibeberin semua panjang lebar sama Mas Yoki, ujungnya baru dibilang kalau diminta gabung God Bless. Bingung waktu itu, minta waktu seminggu buat mikir. Waktu itu yang bikin bimbang karena nama God Bless terlalu besar dan gue juga punya kemauan sendiri soal musik gue mau ke mana. Singkatnya, akhirnya gue terima,” papar pria pemilik nama asli Zahedi Riza Sjahranie itu.
Bergabung dengan God Bless seperti mimpi di siang bolong bagi Eet, karena Ian Antono adalah salah satu gitaris idolanya.
Dalam kelanjutannya, Ian Antono kembali ke God Bless. Akhirnya band itu memiliki dua gitaris dan sempat melahirkan album “Apa Kabar” (1997). Tetapi, God Bless bukanlah pelabuhan terakhir Eet. Dia lebih memilih untuk fokus membesarkan bayinya sendiri, Edane.
“Setelah album ‘Apa Kabar’ sempat ada meeting soal kelanjutan mau dibawa ke mana God Bless, pada saat itu setelah selesai kontrak dengan Aquarius, gue menawarkan materi Edane ke Sony Music. Waktu itu masih dipegang Pak Yan (Jan Djuhana). Akhirnya diterima dengan persyaratan enggak boleh terikat di band dan label lain. Gue harus tanda tangan kontrak, gue berpikir, Edane sudah gue perjuangin dari dulu. Akhirnya pulang tanda tangan, gue telepon Mas Ian bilang mau keluar dari God Bless, Mas Ian malah ngajak ngobrol ke rumahnya. Setelah gue jelasin, Mas Ian ngerti. Gue temuin semua personel God Bless yang lain biar enggak ada kesalahpahaman. Akhirnya gue mundur dan fokus di Edane,” papar Eet.
Hasil keputusan Eet untuk fokus ke Edane tidak sia-sia, nama Edane semakin melambung. Hit “Kau Pikir Kaulah Segalanya” adalah salah satu lagu yang membuat nama Edane semakin akrab di telinga. Lagu itu keluar kala Edane berada di bawah naungan Sony Music Entertainment Indonesia.
Rock In 82
Jika ingin mengetahui secuplik masa remaja Eet, maka lagu “Rock In 82” adalah jawabannya. Eet hijrah dari kota Samarinda ke Jakarta dan melanjutkan pendidikan di SMA Perguruan Cikini. Eet pun sudah membentuk band rock kala itu.
Di masa SMA itulah bakat gitar Eet sudah terpancar dan diakui orang banyak. Saat itu, Eet mendapat penghargaan sebagai gitaris terbaik dalam sebuah festival band, dengan juri Bens Leo dan Abadi Soesman.
“Band gue waktu SMA, “Cikini Rock Band” namanya, ikut festival tahun 1979 yang ngadain Fakultas Kedokteran UI. Terus band kita dapat nomor dua, tapi gue dapat gitaris terbaik. Gue tidak mau sesumbar merasa gue hebat. Menurut gue, karena pada waktu itu yang minta distorsi cuma gue doang. Waktu itu enggak boleh bawa alat sendiri kalau ikut lomba. Gue minta tone blender (sound effect distorsi), kalau dulu itu trennya SMA mainnya yang jazzy-jazzy gitu kan. Nah kita sendiri yang pakai distorsi,” kenang Eet.
“Rock In 82” juga memiliki arti tersendiri bagi Eet, di tahun 1982 dia lulus dari SMA. “Gue SMA empat tahun,” kata Eet sambil tertawa.
Eet tergolong siswa yang beda dari teman-teman sekolahnya, dalam soal selera musik. Lirik yang menceritakan siswa urakan pada lagu “Rock In 82” seolah cerminan Eet di masa remaja.
Eet adalah sedikit dari musisi Indonesia yang konsisten di jalur musik yang sesuai dengan idealismenya dalam berkarya. Dia tidak semata mengikuti keinginan pasar dan cenderung seperti jadi pembangkang tren musik yang ada.
Usianya memang tidak lagi muda, namun mengutip kalimat Eet, justru saat inilah yang dinanti-nantinya sejak dahulu. Musik Edane yang semakin garang dengan formasi yang lebih kompak.
“Edane is not gold anymore, but this time I’ve been waiting since 1992,” lagi-lagi Eet mengatakan kalimat yang menggambarkan Edane saat ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News