Menjadi dewasa bukan berarti berdamai dengan keadaan. Lewat "Sinestesia", ERK yang secara usia semakin matang tetap menjaga tradisi mereka melontarkan lirik-lirik tajam, reflektif, dan apa adanya. Gagasan konten itu dibalut dengan musik yang lentik, musik yang seolah-olah jauh dari nada marah, sinis, atau protes.
Sinestesia mengakomodasi enam fragmen warna. Tiap warna berisi dua atau tiga lagu yang digabungkan dalam transisi yang lembut.
Enam fragmen warna itu adalah, Merah (Ilmu Politik, Lara di Mana Mana, Ada Ada Saja), Biru (Pasar Bisa Diciptakan, Cipta Bisa Dipasarkan), Jingga (Hilang, Nyala Tak Terperi, Cahaya Ayo Berdansa), Hijau (Keracunan Omong Kosong, Cara Pengelolaan Sampah), Putih (Tiada, Ada), Kuning (Keberagamaan, Keberagaman).
Metrotvnews.com menemui ERK saat mereka tengah latihan untuk Konser Sinestesia yang akan digelar 13 Januari 2016 di Taman Ismail Marzuki. Cholil dan Adrian mendominasi jalannya wawancara, lantaran Akbar datang terlambat.
Dalam wawancara, terkuak cerita-cerita yang sebelumnya belum terpublikasi luas. Terutama soal bagaimana ERK bertahan dari pergolakan internal yang nyaris menenggelamkan eksistensi mereka.
Mengapa menggunakan fragmen warna dalam album Sinestesia?
Cholil: Awalnya dari pengalaman-pengalaman kita sehari-hari mengalami sinestesia. Gue berpikir ketika kemampuan Adrian dalam melihat menurun, apakah dia bisa mendapat stimulan lain untuk bisa menikmati atau berhadapan dengan warna.
Pada 2012, gue terbesit albumnya akan seperti itu. Apakah Adrian saat mendengarkan lagu ini ada pengalaman bertemu dengan warna-warna.
Adrian: Ketika Cholil ngomong ke gue, sejujurnya sebelum 2009, mata gue mengalami kelainan dengan cahaya. Warnanya suka berubah-ubah, berpendar. Setelah 2009 lebih parah, warna di mata gue akhirnya mengganggu. Pusing efeknya.
Ketika Cholil bilang, gue mencoba mendengarkan lagu-lagunya semalaman sambil menikmati warna yang muncul di gue. Mungkin ada unsur persepsi di gue, warna apa yang paling nikmat ketika gue mendengarkan lagu apa. Ada beberapa yang tidak gue niatkan, warna itu datang begitu saja. Tapi ada beberapa lagu yang gue rasakan pakai mood gue, persepsi warna lagu itu yang gue yakini.
Apa gagasan awal menggabungkan lagu?
Cholil: Menggabungkan lagu itu sudah dari 2010. Kita awal 2010 rilis Hilang untuk Amnesti Internasional. Masuk ke album tiga kita kepikiran kayaknya kita harus melakukan apa yang belum kita lakukan. Akhirnya kita kepikiran untuk menggabungkan. Kita juga suka musik yang mempunyai banyak kamar. Akhirnya mulai mencari lagu-lagu untuk digabungkan.
Bagaimana proses kreatif ERK dalam membuat materi di album Sinestesia?
Adrian: Yang paling terakhir dikerjakan itu lirik. Dapatnya sedikit demi sedikit. Pada beberapa bulan terakhir (sebelum rilis) baru semua lirik ngumpul. Jadi kita musik duluan. Dari 2009 kita sudah mengumpulkan sedikit-sedikit. Prosesnya nge-jam, sempat setahun kosong tanpa kita ada kemajuan karena kondisi gue. Sampai pada akhirnya Akbar coba take drum. Proses kreatifnya diubah, bikin lagu langsung di studio rekaman.

Cholil: Kalau album satu dan dua kita workshop dulu di studio latihan, baru ke studio rekaman. Tapi di album ini kita tidak punya waktu di studio latihan. Waktu bertukar pikiran enggak sebanyak album pertama dan kedua. Secara biaya jadinya lebih gede karena kita ke studio enggak tahu mau ngapain.
Kita kayak melukis yang kita enggak tahu. Sebelum berangkat ke US (2013) sudah hampir jadi. Sebenarnya, sebelum berangkat ke sana sudah pengin banget diselesaikan. Tapi tetap belum berhasil. Niat awal mau dilanjut, dikerjakan dari sana (Amerika), gue sudah beli peralatan. Tetapi tugas kuliah gue banyak dan akhirnya ketunda.
ERK berhasil membuat salah satu lagu paling magis di Indonesia, Putih. Ceritakan proses kreatif kalian hingga melahirkan lagu itu?
Adrian: Kalau gue paling berasa, ini nulis berdua lagunya (bersama Cholil). Gue nulisnya enggak lama setelah bokap meninggal. Ini lagu bercerita tentang kematian dari sisi yang mati. Gue membayangkan jadi bokap gue yang mencoba berinteraksi dengan gue, tapi gue enggak tahu. Kira-kira seperti itu. Menurut gue kematian itu happy ending, nanti kita ketemu lagi dalam suatu kehidupan yang lebih baik.

Cholil: Secara musik, Putih salah satu yang sempat kita bikin workshop di studio latihan. Sudah lama lagunya, sempat kita gabungin dan jadi begini karakter lagunya. Secara musik paling matang, perpindahan dari kamar ke kamar paling smooth. Awalnya niat pengin bikin lagu tentang kematian bersama teman, sekitar 2000-an awal. Akhirnya, lama tidak bertemu dan teman itu meninggal, seperti ada obligasi untuk menyelesaikan lagunya.
Pada akhir fragmen Kuning, terdengar sayup-sayup nyanyian di tengah keramaian. Suara apakah itu?
Cholil: Itu rekaman suku dayak nyanyi lagu perpisahan. Waktu kita main ke Kalimantan, kita datang ke kampung itu dan ada acara perpisahan dan gue rekam. Gue suka, lagunya bertema tentang perpisahan dan cocok dengan lagu di track terakhir.
Fragmen Kuning berbicara soal keberagaman, bagaiamana pengalaman ERK soal keberagaman di Indonesia?
Cholil: Ketika hidup di Jakarta, enggak pernah gue keluar rumah mendapat kebudayaan baru. Semua orang yang berkumpul di Jakarta jadi orang Jakarta, orang metropolitan. Satu-satunya budaya adalah teknologi. Semua orang berusaha jadi orang Jakarta, kebudayaan lama hanya ada di rumah-rumah mereka doang. Kita justru enggak terbiasa dengan perbedaan satu sama lain.
Harusnya Jakarta melting pot semua orang indonesia, harusnya beragam, semua kultur Indonesia ketika di Jakarta harusnya bisa tumbuh. Tetapi yang ada malah membuat suatu yang baru. Misal saat gue di New York, setiap hari belajar sesuatu. Misal ketemu orang Pakistan, Haiti, Ukraina, Republic Dominika, mereka jalani kultur masing-masing. Kalau di Jakarta, orang Medan jadi orang Jakarta, orang Jawa jadi orang Jakarta. Jadi, kita jadi sama semua, tidak biasa melihat yang berbeda.
Adrian: Ide lagu itu awalnya ketika kami mendengar masih sering terjadi penyerangan agama, terutama warga Syiah dan Ahmadiyah. Kami langsung merasa itu harus ditulis, tema besarnya Tuhan.
ERK selalu sukses menempatkan peran di tiap lagunya, entah sebagai orang yang muak dengan industri, atau korban sikap politik negara, pribadi seperti apakah sebenarnya kalian?
Adrian: Kalau gue sendiri, bedanya sama Cholil, gue lebih mengalir. Gue introvert. Gue enggak eksplosif.
Cholil: Gue cukup enggak terlalu banyak teman, agak jago kandang. Kalau sama yang belum terlalu kenal enggak banyak omong, tapi kalau sudah kenal jadi banyak omong. Gue meledak-ledak, emosional, tempramental.
Akbar: Gue biasa saja, senang bercanda. enggak introvert. Lebih ke terbuka.
Bisa diuraikan apakah sikap tempramental Cholil juga tersulut ketika mendengar permasalahan sosial, seperti korupsi?
Cholil: Ya, marah, makanya kita marah semua. Kalau enggak marah susah. Buat lagu senang-senang, kalau di sini kayaknya enggak bisa. Efek Rumah Kaca isinya kayak sinis semua. Yang menggerakkan kita itu kemarahan-kemarahan, atau kepasrahan atas kekalahan. Yang menggerakkan kami itu kemarahan. Kalau gue enggak punya sifat tempramental, emosional kayaknya agak susah. Pada kenyataannya kalau Efek Rumah Kaca bikin lagu marah tapi orang-orangnya engak marah akan aneh.

Apakah ERK sempat mengalami masa genting, seperti perselisihan internal yang mengancam eksistensi band?
Adrian: Banyak, awalnya masalah terlambat. Tapi lama-lama masalah kehidupan kita sehari-hari. Banyak terpenjara terbelenggu. Masing-masing personel beda menyikapinya. Pernah berapa kali beda pendapat yang sebenarnya nyambung di lagu kita. Sesungguhnya kita belajar dari lagu kita. Seperti korupsi, sebenarnya kita sendiri sering melakukan itu
Perselisihan itu sampai membuat ERK hampir bubar?
Adrian: Iya, seingat gue pernah. Maksudnya, sudah bete (jenuh) karena capek juga jadi pembohong. Kalau kita menulis sesuatu yang baik tapi kita enggak bisa jalani, atau teman kita tidak bisa menjalankan.
Apakah konten yang kalian bawakan menjadi beban moral?
Cholil: Enggak buat gue, gue enggak tahu yang lain. Gue mau optimal. Ini bukan beban moral, tetapi ini tujuan hidup. Mediumnya bisa dengan musik atau hal lain. Enggak tahu kenapa pada akhirnya band ini jadi begitu ekstrem. Kita hampir mau bubar karena mempermasalahkan seberapa ideologis dan seberapa keras kita menjalankan kehidupan berpatokan pada lagu-lagu yang kita buat. Gue enggak merasa terbebani, karena tujuan hidup gue memang ingin jadi yang lebih baik.
Sejauh mana ERK menerapkan gaya hidup seperti yang kalian suarakan dalam lagu kalian. Barangkali para penggemar bisa terinspirasi gaya hidup kalian?
Cholil: Itu yang jadi bahan perdebatan kita, kehidupan sehari-hari. Hal seperti itu yang bikin kita pengin bubar, pertanyaan yang seperti itu. Karena kita sudah mempertanyakan hal itu duluan.
Dengan segala pencapaian, pengakuan, dan dampak yang sudah kalian paparkan selama ini, apa tantangan ERK saat ini?
Adrian: Masa ERK semakin besar dan gue baru punya anak. Kadang-kadang gue belajar dari mengurus anak sehari-hari. Mengurus anak, terbentur dengan harapan keinginan gue. Mulai dari impian menyekolahkan anak di tempat terbaik dan lain-lain. Apakah gue bisa tetap idealis dengan harapan seperti itu? Sebenarnya bisa berlangsung smooth, tapi gue merasa ada beberapa persen kesulitannya.
Cholil: Kans untuk bubar sudah lewat, ekspektasi masing-masing terhadap band ini sudah beda. Kita melalui fase vakum, tapi tetap ada. Band ini bisa tetap jalan dengan metode vakum-jalan, vakum-jalan, tanpa bubar. Kalau tidak cocok, kayaknya kita enggak perlu membahas itu lagi. Sudah selesai perdebatan soal itu. Tentang bagaimana kita menjalani lagu. Kita percaya masing-masing mengerti untuk apa kita bermusik. Harapan gue ini bukan album terakhir dan ini sudah seperti keluarga.
Masing-masing (personel) sudah mengerti dinamika masing-masing. Zaman dulu prioritas pertama musik, nomor dua keluarga. Sekarang kita sudah berkeluarga, nomor satu jadi keluarga. Menomorsatukan musik jadi tidak realistis. Kalau kita enggak mau ada yang mengalahkan musik, ya enggak usah nikah. Karena kalau sudah punya keluarga dan menikah harus memprioritaskan keluarga. Tidak masuk akal memprioritaskan musik. Memang ada yang sudah berkeluarga dan memprioritaskan musik, tetapi keluarga jadi berantakan. Musik itu jadi salah satu kendaraan dan tujuannya keluarga. Dulu kendaraannya ngeband tujuannya musik.

Setelah Konser Sinestesia, apa benar ERK akan kembali vakum?
Cholil: Iya, istri sekolah dan gue nemenin, karena bawa keluarga. Soal berapa lama kira-kira selama orang mengambil studi doktoral.
Apa yang akan dilakukan dua Adrian selama ERK vakum?
Adrian: Kumpul sama keluarga, coba bikin lagu. Kondisi mata gue enggak bisa lihat, sekarang yang terbayang adalah main sama anak dan bikin musik di rumah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News