Wisnu Ikhsantama (Foto: dok. Wisnu Ikhsantama)
Wisnu Ikhsantama (Foto: dok. Wisnu Ikhsantama)

Wisnu Ikhsantama, Sosok Penting di Balik .Feast, Hindia, dan Gelombang Baru Industri Musik

Agustinus Shindu Alpito • 03 Mei 2023 14:40
Setiap era dalam industri musik melibatkan tangan dingin seorang produser yang tidak bisa dikesampingkan begitu saja nama dan perannya. Produser ibarat arsitek yang memahami konsep secara utuh dari sebuah rancangan musik dan bagaimana mengeksekusi itu agar sampai maksud dan tujuannya ke telinga khalayak. Hasil pekerjaannya pun tak jarang menjadi penanda era tertertu perjalanan musik. Ini bukan pekerjaan mudah, para produser bukan saja memahami teknis produksi, tetapi juga rasa dan lebih dari itu adalah visi.
 
Lantas, siapa sosok produser musik paling representatif hari ini? Jawabannya adalah Wisnu "Tama" Ikhsantama.
 
Tama ada di balik rekaman-rekaman penting hari ini, mulai dari album .Feast, Lomba Sihir, Reality Club, Hindia, Glaskaca, Lightcraft, dan masih banyak lagi. Menariknya, band-band yang "dipegang" Tama adalah wajah gelombang baru industri musik, khususnya dari luar arus utama. Salah satu album yang turut diproduserinya, Abdi Lara Insani dari .Feast, bahkan menyabet penghargaan Album Rock Terbaik dalam AMI Awards tahun 2022.

Tentu para musisi dan band-band itu tidak asal saja menunjuk siapa orang yang pantas untuk mengolah karya musik mereka. Sang produser bisa saja menjadi penentu kesuksesan sebuah lagu atau album. Jika perspektif para musisi adalah karya yang dilahirkannya, maka produser punya sudut pandang yang lebih luas bagaimana karya itu diolah dan kemudian disajikan. 
 
Medcom.id beberapa waktu lalu menemui Tama, menggali lebih dalam bagaimana perjalanan dirinya menjadi salah satu produser muda yang diburu band-band hari ini. Tama bukan saja bercerita tentang momen saat mengambil keputusan menjalani profesi sebagai produser, tetapi juga selingkar problematika dan sudut pikirnya tentang musik hari ini.
 

Bagaimana awalnya lo tertarik menjadi produser musik?
 
Ceritanya waktu itu, kalau mungkin ketemu gue pas 2012 sampai 2014 gue adalah straight orang yang 80's banget. I looks, gue berdandan kayak 80's untuk dengerin musik-musiknya 80's ke belakang, ya 90's juga lah masih agak dikit-dikit gitu. But, I hate today’s music di tahun itu. I hate it. Cause I know like, cause i feel, gue bilang (musik populer era itu) jelek. Sampai suatu ketika - mungkin intronya adalah gue dengerin itu thrash metal, Duran Duran, Genesis, Rush, terus mungkin di Indo-nya ya pasti lah ya angkatannya Dewa, Karimata, Kla Project, Java Jazz, Krakatau, Protonema - waktu gue bilang musik Indonesia sekarang jelek. Dosen gue Dr William Gibson PhD, dia studi fine arts. Logic banget orangnya. Dia tanya Kenapa gue pengin jadi record producer. Terus gue bilang buat gue musik Indonesia sekarang jelek. Terbaik masih di 80-an sama 90-an awal. Sisanya udah nggak ada yang bagus.
 
Dosen gue langsung motong, “Salah lo! Lo nggak bikin musik.” Ego gue ketabrak dong, gue kayak, "Dih apaan sih baru kelas pertama udah nyalah-nyalahin gue." Terus dia jelasin, “Ya salah lo dong, lo bukan jadi orang bikin musik yang bagus. Lo kan menyerah gitu, lo selalu ngulang apa yang dari kemarin lo bikin. Metal lagi, lo bikin fussion lagi, lo bikin ini lagi, bikin itu lagi." 
 
"Karena lo coba retrospective thinking lo cuman mengulang apa yang kejayaan dulu tapi lo enggak pengin itu jadi embodiment sekarang. Ibarat kata, lo adalah orang yang bilang 'Mobil paling bagus Mercedes W124 yang tahun 90, terus lo bilang itu yang paling nyaman, itu yang paling enak gitu.' Ya salah lo adalah lo nggak bikin nilai-nilai itu ada di sekarang dengan bentuk yang sekarang." 
 
“Karena lo enggak living new generation, gue ngelihatnya lo itu old school,” dosen gue langsung ngomong gitu. 
 
“Yaudah gue tantang lo ubah fashion lo, art pertama kali masuk yang paling gampang dengan fashion, karena di situlah lo akan merasa gue pengin jadi yang kaya gini dan sekitar lo nge-judge. Lo merasa lo cocok, orang lain sekitar lo gimana gitu."
 
Terjadilah satu momen gue yang tadinya pakai kaos death metal terus, Exodus, Metallica yang band-band 80-an, 90-an, gitu terus tiba-tiba gue berubah banget, jadi Zara banget jadi H&M banget ya mencoba try to fit in my generation lah akhirnya. Sampai akhirnya gue sadari kayaknya orang mulai nge-judge gue, dan beberapa orang meninggalkan gue tapi dosen gue cuman bilang kayak, “Cabut dari situ, jangan dengerin, jangan lo nyebur sama orang yang nge-judge lo negatif.” Dan gue sadari mindset gue mulai berubah, jauh lebih sehat ngelihat semuanya gue mulai lebih living in my generation.
 
Kemudian dosen gue tanya, “Lo mau jadi apa ke depan?” Gue jawab mau jadi record producer mainly in modern rock yang gue lebih banyak resonate gitu. Terus gue sebut satu band Andra and The Backbone. Mungkin (cita-cita) gue akan kerja bareng mereka gitu, menang AMI (Anugerah Musik Indonesia), terus gini, terus gitu. Dosen gue terus bilang, “Tam, Andra and The Backbone tuh generasi atas lo. Mereka sudah punya style-nya, mereka udah punya pemikiran sendiri, mereka udah punya orang orangnya yang lebih mengerti mereka dibanding lo anak baru yang baru mau masuk ke mereka. Lo akhirnya cuma menjadi perpanjangan tangan mereka. Lo orang kreatif bukan?” Aduh goyang lagi kan ego gue ditabrak (jawaban seperti itu).
 
Terus dosen gue bilang, “Tugas lo adalah cari temen lo yang lagi butuh banget dikerjain (produksi musiknya), lo masukkin mindset lo dan apa yang lo suka di bandnya, dan mereka juga menyuarakan apa yang problem-nya bisa lo resonate dengan mereka. Mereka adalah orang orang yang dari generasi lo, Tam. Tapi, jangan ketemu sama yang old school.”
 

Sebelum lo studi musik secara formal, instrumen apa yang lo kuasai?
 
Gue interest di drum, ikut marching band di SMP, cuma pas SD belajar gitar ajalah standar gitu. Waktu lagi interest sama drum kaki gue patah, terus jadinya ya sudah lah fokus aja main gitar. Karena semua orang pengin jadi gitarist, ngga ada yang main bass. Ya sudah gue main bass. Terus tiba tiba bikin lagu, pianisnya gue ngga suka line-nya, ya sudah gue main keyboard.
 

Momen pertama lo menjadi produser seperti apa?
 
Ya akhirnya mulai dari situ (diskusi dengan sang dosen saat kuliah), hidup gue mulai berubah sampai gue jalanin satu persatu, terjawablah poin-poin dia (dosen) ketika sudah mulai merasakan, "Oke gue pegang dalam hati adalah yang gue rekam moment," karena yang di-capture bukan hanya sekadar bunyinya, bunyinya adalah media untuk menyampaikan perasaannya.
 
Suatu ketika ada band kocak datang ke gue, “Tam gue mau rekaman, tapi duitnya tinggal segini nih.” Mereka pitch lah gini-gini, vision-nya menceritakan tentang ini-itu.  “Tapi, sorry banget ini cuman ada segini, Tam.” Terus gue jawab, "Ya, sudah nggak apa-apa segitu aja. Berangkat kita."
 
Dan sekarang, band itu besar, .Feast. Itu pas album Beberapa Orang Memaafkan, yang Multiverse udah duluan itu masa gue transisi dan Multiverse itu pas gue lagi belajar gitu. 2017-2018 tuh feast pas Multiverse, dan mereka adalah band yang lagi butuh-butuhnya dateng ke gue, jodoh gue di situ.
 

Menurut lo apa karakteristik musik era sekarang?
 
Gue mungkin bilang warna generasi ini tuh malah sebenarnya buat gue terjawabnya dari Lomba Sihir. Gue kerja bareng beberapa nama, beberapa band, cuma akhirnya gue merasa semua berangkat dari keresahan, merasakan apa. .Feast dengan sosial dan politiknya dan sudut pandangnya.
 
Gue kerja sama Reality Club, keresahannya adalah melankolis, hopeless-romantic. Tapi, dibilang hopeless juga enggak, tapi hopefull. Terus kalau mau ditarik lagi ke Rachun, Rachun itu keresahannya mungkin, "Yaelah apaan sih deep-deep banget, hidup gini aja kali slow.’ Gue ketemu sama Lomba Sihir yang rasanya adalah kita semua tuh resah, dengan topik-topik tentang informasi yang terlalu banyak. Maka setiap orang semakin resah, karena informasi yang terlalu banyak tersaji sekarang. Maka dari itu mungkin kalau mau dibilang generasi sekarang tuh apa? Ya resah. Makanya topik-topik mental health naik, topik-topik sosial politik naik, topik-topik melankolis naik. Gue ngerasa semua itu pada dasarnya keresahan masing-masing dengan apa yang pengin mereka ungkapkan.
 
Maka dari itu tiap gue nge-treat band enggak ada yang pernah sama. Reality Club punya estetikanya sendiri, .Feast punya estetikanya sendiri, Lomba Sihir punya estetikanya sendiri.
 

Ada band lain yang sebenarnya lo pengin banget terlibat dalam albumnya?
 
Salah satunya mungkin Perunggu. Gue pengin kalau ada salah satu lagu mereka, gue bisa bekerja bareng. Karena beresonansi. Gue jujur denger Perunggu sebelum mereka naik, gue tau ini band bagus.
 
Hal yang gue salut dari Perunggu, gue sangat menghargai mereka tidak terlihat ‘ngoyo’ itu yang kadang gue ngeliat hari ini sebagai sesuatu yang gold gitu
 

Dalam proses produksi musik, apakah lo termasuk produser yang cukup banyak melakukan intervensi dalam proses kreatif band-band yang lo produserin?
 
Dari sudut pandang gue pribadi iya ke beberapa band, dan enggak ke beberapa band. Kalau yang sudah nggak perlu gue apa-apain ya sudah nggak gue apa-apain. Karena idenya udah berhasil memukau gue, so be it. Nggak yang harus gimana gimana. Ada yang dateng ke gue setengah jadi, ada yang ngasih lirik doang, dan ada aja gue sampe di titik bantu aransemennya. 
 
Mungkin bahasanya gini, ketika kamu bisa masak gitu, berarti tugas kamu nanti masakin orang. Atau jangan-jangan buat ngebenerin masakan orang? Atau buat nikmatin masakan orang? Atau cuma ngasih tahu cara plating-nya bagimana? Maksudnya, jadi balik lagi dengan lo bisa masak kan lo akan lebih menikmati semuanya. Karena lo tahu cara memasak, jadi tahu prosesnya, ketika ada makanan datang nanti, lo jadi tahu kurang ini kurang itu.
 

Bagaimana lo menentukan pekerjaan yang akan lo ambil?
 
Ini ada lucu-lucuan jadi semua band yang dateng ke gue, gue tanyain gini, ”Satu, kenapa lo mau kerja bareng gue? Kedua, kenapa gue harus mau?” Tapi kan menurut gue ini buat ngetes bagaimana mereka merasakan karyana sendiri dan bagaimana mereka menilai karyanya sendiri.
 
Kalau ada yang jawab, “Oh Bang gue mau kerja sama lo soalnya lo yang megang (produksi album) .Feast, megang ini megang itu, gue suka sih sama hasilnya terus feels-nya mantap bisa terkenal gitu.” Ya berarti lo enggak butuh kerja sama gue, yang lo butuhkan adalah lo ketemu sama distributor yang bisa bikin band lo gede.
 

Menurut lo, apa yang akhirnya membuat band-band itu memilih lo sebagai produser?
 
Gue gatau, mungkin dari faktor budget pasti ada, pertemanan pasti ada, feel juga pasti ada, dan resonansi juga pasti ada.
 

Dengan pekerjaan yang banyak dari berbagai band, sementara lo harus memikirkan band-band yang lo produksi satu per satu dengan segala keresahan dan karakteristik mereka, bagaimana lo menjaga "titik kalibrasi" dan standar hasil produksi?
 
Mungkin ketika masuk di situ, itulah poin-poin meditatif masuk. Mungkin lebih banyak mengosongkan diri ya. Ketika riuh hari ini, besok punya riuhnya sendiri. Gue mencintai momen hari ini ya, jadi terima kasih problem-problem yang hadir hari ini gue butuh mereka buat berkembang tapi gue mau lebih besar dari itu. Justru kalimat gue makanya kayaknya orang tuh bukan berlomba mengisi diri sih, berlomba mengosongkan diri.
 

Pertanyaan terakhir, siapa penulis lagu yang paling lo kagumi di Indonesia? 
 
Semua gue respek, gue kagum. Sama Baskara sih, keluh kesah dan kejujurannya selalu suka. Bilal Indrajaya juga suka, Maul dari Perunggu juga suka.
 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(ASA)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan