(Foto: Metrotvnews.com/ Agustinus Shindu Alpito)
(Foto: Metrotvnews.com/ Agustinus Shindu Alpito)

Mondo Gascaro, Menggali Identitas Musik Indonesiana

Agustinus Shindu Alpito • 06 Juni 2016 16:49
EMPAT tahun berlalu sejak Mondo Gascaro memutuskan keluar dari grup musik Sore. Sejak saat itu pula, sang musisi kutu buku ini membuka babak baru sebagai musisi solo yang diperhitungkan.
 
Mendengarkan karya-karya Mondo adalah sebuah pengalaman yang berkesan. Seolah dia tidak saja menghadirkan nada untuk didengar, tetapi juga nuansa untuk dirasa. Di atas semua itu, karya-karyanya menyejukkan, manis, dan memikat.
 
Membahas Mondo bukan saja menarik soal sisi musikalitasnya, tetapi juga kesehariannya. Mondo adalah kutu buku. Dia tidak bisa lepas dari kebiasaan membaca, bahkan setiap sebelum tidur dia menyempatkan diri untuk menggali informasi dari laman Wikipedia.

"Di rumah, koleksi buku dia ada dua ruangan, dan belum dirapikan. Mondo mau koleksi bukunya rapi, dia mau bukunya disampul dan didata," kata istri Mondo, Sarah Glandosch.
 
Mondo merupakan pria berdarah Jepang-Indonesia. Selain membaca, dia juga hobi menonton film-film Jepang. Menariknya, Mondo menata koleksi film bukan dari genre atau judul, tetapi berdasarkan nama sutradara. Di samping itu, dia adalah peminum kopi ulung, dengan rata-rata menghabiskan enam cangkir per hari.
 
"Sekarang dia sudah mengurangi minum kopi. Dulu dia tidak minum air putih. Kalau kopi habis, ya bikin kopi lagi," ucap Sarah.
 
Bersama sang istri, Mondo membangun label Ivy League Music. Lewat label itu, Mondo menjadi produser beberapa musisi, termasuk album Dunia Batas dari Payung Teduh.
 
Musiknya yang lembut seolah merepresentasikan sosok Mondo. "Dia orang paling positif yang pernah saya kenal. Semua hal dia lihat dari sisi baiknya. Dia enggak pernah marah, karena buat dia marah itu berarti kalah," kata Sarah.
 
medcom.id mendapat kesempatan mewawancarai Mondo di kawasan Gandaria, Jakarta Selatan, pada pertengahan Mei 2016. Tak disangka, Mondo saat itu sedang menjalani sesi latihan di studio bersama sahabatnya, Dono Firman, yang juga mantan personel Sore. Dono merupakan sosok yang ikut melahirkan album ikonik Sore, Ports of Lima.
 
Mondo Gascaro, Menggali Identitas Musik Indonesiana
Mondo kembali bermusik bersama sahabatnya, Dono Firman, yang juga mantan personel Sore. (Foto: Agustinus Shindu Alpito)
 

Pada malam yang hangat itu, Mondo yang kini berusia 40 tahun berbagi kisah perjalanan hidupnya.
 
Kapan paparan musikal pertama yang cukup memengaruhi Mondo?
 
Dari kecil sudah dikelilingi musik. Bokap punya band, dan dia yang pertama bikin karaoke bar Jepang pertama di Indonesia. Namanya Shika Bar, ada di Cikini. Bokap dulu kuliah dan bekerja di sana. Lalu, dapat nyokap yang asli Jepang.
 
Kemudian, gue dengar Beatles pertama kelas 4 SD, album Sgt. Pepper's Lonely Hearts Club Band, kemudian doyan dan mengikuti album Beatles lain. Sebelumnya, gue memang senang bermain piano, tetapi enggak serius. Setelah mendengarkan Beatles ingin bermain gitar.
 
Dalam beberapa penampilan, Mondo menyelipkan kertas partitur lagu di hadapan. Kapan mulai punya kebiasaan membaca musik dengan partitur?
 
Gue SMP kelas 3 pindah ke Amerika Serikat, di Los Angeles. Terus waktu kuliah memang ambil musik. Di situ gue belajar teori musik.
 
Mondo Gascaro, Menggali Identitas Musik Indonesiana
Salah satu partitur lagu yang digunakan Mondo pada sesi latihan (Foto: Metrotvnews.com/Agustinus Shindu Alpito)
 
Apa yang mendasari keputusan mengambil sekolah musik?
 
Karena suka musik. Gue dengerin musik secara serius, gue pelajari komposisinya bagaimana, gue rasakan.
 
Karena gue senang musik banget. Jadi, kalau gue mendengarkan musik, gali instrumennya ada apa saja. Struktur lagunya bagaimana, bagian-bagiannya. Lalu, gue catat instrumentasinya sampai pada akhirnya nada-nadanya.
 
Kami mendapat informasi bahwa saat di Amerika, Mondo tidak memiliki instrumen keyboard hingga berlatih musik dengan dengan kertas bergambar tuts. Bagaimana situasi pada waktu itu?
 
Enggak semua yang belajar musik di college tempat gue belajar punya keyboard dan piano, tetapi kami diharuskan terus latihan. Kalau mau main piano beneran biasanya kami harus sewa di kampus.
 
Saya suka belajar dari buku musik. Biasanya di buku musik memang ada kertas bergambar tuts dan itu memang ditujukan agar bisa digunakan untuk latihan di mana saja. Gue latihan juga dengan itu.
 
Gue suka baca buku tentang musik, gue baca buku tentang komposisi dan orkestrasi, lalu gue kembangkan sendiri. Karena terkadang apa yang kita pelajari sekolah, susah diterapkan di kehidupan nyata.
 
Setelah selesai studi musik di Amerika, lalu bagaimana cara Mondo memulai karier sebagai musisi di Indonesia?
 
Waktu pulang ke Jakarta enggak tahu apa-apa. Dulu sempat tinggal di Bandung sama Awan (bassist Sore). Kami waktu itu mendalami Beatles, terus bikin G-Pluck (grup musik tribute untuk The Beatles). Itu ngeband profesional pertama gue. Lalu baru pada tahun 2001 kami bikin Sore.
 
Setelah keluar dari Sore, Mondo merilis beberapa singel, termasuk Saturday Light dan Komorebi yang dirilis dalam format vinil. Bagaimana proses kreatif Mondo sebagai seorang musisi solo?
 
Enggak ada yang spesifik, idenya dari musik itu sendiri. Musik yang menginspirasi konten lagunya. Gue suka humming (bernyanyi dengan mulut terkatup) dan kalau gue merasa nadanya enak, lalu gue kembangkan.
 
Secara rinci, bagaimana proses tersebut? Misal, dalam penulisan singel Saturday Light?
 
Saturday Light, prosesnya waktu itu gue ke Yogya liburan bersama Sarah sebelum nikah. Itu liburan pertama setelah bertahun-tahun enggak pernah liburan. Waktu itu gue belum keluar dari Sore, tetapi sudah jarang manggung, dari situ gue merasakan hidup yang menyenangkan dengan hal-hal sederhana. Inspirasinya dari gue humming nada itu dan mood yang gue rasain.
 

 
Kemudian, humming itu direkam?
 
Gue jarang merekam humming di handphone. Gue ingat di kepala. Gue terbayang not balok dari nada yang gue humming.
 
Lebih sering menggunakan instrumen keyboard atau gitar saat menulis lagu?
 
Lebih sering gitar karena bisa dibawa ke mana-mana.
 
Seluruh singel Mondo yang telah dirilis berbahasa Inggris. Apakah seluruh lagu dalam album debut Mondo juga berbahasa Inggris? Apa alasannya?
 
Kebetulan saja bahasa Inggris karena memang pas gue ciptakan pertama yang terngiang bahasa Inggris. Di album debut treatmentnya 50:50, bahasa Inggris dan Indonesia, lebih karena cocoknya menggunakan bahasa apa.
 

 

 

Ibu kandung Mondo asli orang Jepang. Apakah kultur Jepang memengaruhi gaya berkesenian dan proses kreatif Mondo?
 
Kalau Jepang tradisional enggak. Gue mendengarkan musik pop Jepang juga, tetapi lebih suka musik Brasil, soft rock. Musik Americana digemari di Jepang dan memberi pengaruh di sana pada 1970-an. Menurut gue pribadi, musik pop Jepang sama pop Indonesia era itu serupa. Cara bikin melodi dan treatment chord.
 
Mungkin karena sama-sama negara kepulauan dan Asia. Sama dalam hal komposisi dan nada, orang kita doyan minor, dan mereka juga suka minor. Coba saja dengarkan lagu-lagu Fariz RM atau Dian PP, kalau diganti bahasa Jepang tetap cocok juga.
 
Apa keputusan mendasar yang membuat Mondo membuat proyek solo, bukan band?
 
Buat gue yang penting itu bermusik terus, berkarya terus. Apa pun payungnya. Kalau  gue bikin band baru untuk mengumpulkan orang dengan sinergi yang cocok, sejujurnya agak malas. Karena akan membatasi musik itu sendiri. Kalau band konteks rock & roll, seakan-akan harus membuat musik yang sama. Misal, kami bawakan grunge, grunge terus. Sedangkan sekarang misal gue ingin bikin garage, ya untuk satu lagu saja. Nantinya bisa beda lagi.
 
Mondo Gascaro, Menggali Identitas Musik Indonesiana
(Foto: Metrotvnews.com/Agustinus Shindu Alpito)
 
Berarti ada kemungkinan musik Mondo akan berbeda di album selanjutnya?
 
Bisa saja. John Coltrane dalam 10 tahun bisa bermain dengan band yang sama dan ganti-ganti. Tidak masalah. Miles Davis juga seperti itu. Tidak masalah. Kalau ngeband dalam konteks rock cenderung kaku, tetapi dalam konteks jazz lebih bebas.
 
Perbedaan apa yang paling dirasa, ketika dulu bergabung dalam band, dan saat ini solo?
 
Kalau band yang menulis lagu banyak, materi banyak. Tinggal akan dibagaimanakan lagu itu. Rumitnya di situ adalah menyatukan kepala yang banyak, dan membuat itu jadi kesatuan yang menyatu. Kalau sekarang karena sendiri, rumitnya tidak ada batasan. Sekarang, gue juga lebih bebas memilih siapa pemainnya seperti apa, karakter pemain seperti apa. Menurut gue, itu perbedaan antara solo dan band.
 
Lalu, apa tantangan yang dihadapi kini sebagai musisi solo?
 
Gue sendiri, tetapi enggak sendiri juga. Banyak yang membantu. Gue dibantu Lafa (gitaris di proyek solo Mondo dan juga produser album pertama Danilla) Bayu  (bassist) dan kami juga sempat mengajak pemain musik dari Jogja, dan lain-lain. Itu meriah dan gue senang banget. Pengalaman yang gue enggak dapat di Sore. Tantangannya sekarang adalah mengatur jadwal para pemain, data musiknya, itu ribet tetapi menyenangkan.
 
Sebagai musisi solo, siapa teman diskusi dalam proses kreatif?
 
Ini (mengacungkan rokok yang terselip di jari dan tertawa). Sarah memberi masukan yang beda, juga dari sound engineer, dari Lafa dan Bayu. Tetapi tidak secara intensif.
 
Sewaktu di Sore, ada label yang melekat bahwa kalian membawakan musik "Indonesiana." Apakah dalam proyek solo ini tetap mengusung musik "Indonesiana" itu?
 
Istilah "Indonesiana" itu, waktu di zaman Sore kami berpikir apa nama musik kita. Karena orang bermusik paling malas ditanya aliran musiknya apa. Kenapa kita bilang "Indonesiana"? Kata itu terinspirasi dari Brasil, karena Brasil terpengaruh musik dari Eropa dan Afrika. Ketika mereka merambah ke musik pop, mereka enggak sembarang menerima pengaruh itu. Mereka tidak sembarangan menerima pengaruh, tetapi mencoba melebur itu ke sejarah musik mereka.
 
Pada 1960-an, Brasil dikontrol oleh Amerika. Pemusik muda pada zaman itu, mereka merasa memiliki musik pop nasionalis sebagai hal yang penting, mereka menyebut MPB (Musica Pop Brasilia). Era 1960-an akhir ada gerakan tropicalia. Itu lebih kepada statement politik dan artistik.
 
Kalau di Indonesia keadaannya terbalik, waktu tahun 1950-an sampai1960-an kita dipaksa bikin musik nasional dan itu berhasil. Itu jadi akar yang bagus untuk musik Indonesia. Sampai zaman orde baru, semua berubah. Kita hanya menerima musik yang terpapar dari Barat. Kecuali musisi yang mendobrak, yang akan selalu ada pada setiap era, seperti Guruh Gipsy, Fariz RM, atau sekarang ada White Shoes & The Couples Company.
 
Mengapa gue sebut Sore musiknya "Indonesiana," karena Sore punya kesadaran bahwa kita punya akar musik yang panjang. Dan sekarang di proyek solo gue, gue tetap menyebut "Indonesiana."
 

 

 

Bagaimana Mondo melihat iklim musik populer di Indonesia pada saat ini?
 
Beragam banget, banyak yang baru-baru. Pergulirannya juga cepat. Di satu sisi variasi, cuma jangan sampai kehilangan fokus dalam mengeksplorasi konten atau ide yang matang. Karena banyak dan cepat, proses menyelami ide, style, dan materi itu membuat seolah-olah harus cepat. Padahal dibutuhkan waktu untuk mendalami konten musik itu sendiri.
 
Kembali ke soal album debut, siapa saja yang terlibat?
 
Gue kerja sama sama adik gue lagi, Mayumi Haryoto untuk bikin artwork membahas apa yang bisa disampaikan musik secara visual. Lalu ada beberapa featuring di album ini, ada Sari dari White Shoes and The Couples Company, ada Deni vokalis The Monophones, ada pemain saksofon Jogja, Jay Afrisando.

Kalau Sari, waktu gue bikin lagu terpikirkan yang menyanyi lagu itu harus Sari. Kalau Deni, gue memang dari dulu ingin kerja sama bareng dia. Mereka spesial menurut gue, Sari kita semua sudah tahu, dan Deni sayang sekali karena bandnya sudah tidak aktif lagi.

Apakah dalam proyek solo ini Mondo termasuk musisi yang sangat memerhatikan brand dan citra diri?
 
Zaman sekarang brand memang penting. Tetapi gue selalu melihat Miles Davis, dia musisi yang tidak peduli dengan brand. Dia pernah dikritik soal gaya busananya. Akhirnya, dia bawa rak baju ke atas panggung dan bilang, "Nih, elo lihat saja bajunya." Tetapi di sisi lain, Miles Davis eksentrik dalam berpenampilan, dan itu sudah jadi 'brand' dia sendiri, secara autentik. Menurut gue, pribadi apapun yang dilakukan harus jujur dan autentik.
 
Mondo Gascaro, Menggali Identitas Musik Indonesiana
Mondo Gascaro (Foto: manajemen Mondo Gascaro)
 
Musisi atau band Indonesia yang Mondo kagumi?
 
Efek Rumah Kaca dan Danilla. Kalau Efek Rumah Kaca, bagaimana sosok Cholil bisa membuat mereka bertiga jadi kesatuan yang buat gue fenomenal. Pencapaian yang luar biasa.
 
Danilla secara musikalitas merepresentasikan musik yang gue bilang tadi, "Indonesiana." Sekarang jarang sekali musisi perempuan dengan attitude seperti itu. Kayak musik Indonesia zaman 1980-an, seperti Januar Christy.
 
Album terakhir yang sedang disimak?
 
Silampukau. Gue suka, mereka orisinil. Mereka ngehek, keren, berhasil merepresentasikan kotanya tanpa mengada-ada. Itu yang membuat musik folk berhasil. Kebanyakan musik folk yang kita bilang folk ternyata bukan folk. Dari segi teknis dan songwriting. Menurut gue musik folk harus merepresentasikan folk, keseharian, dan intim dengan pendengarnya. Itu berhasil di Silampukau.
 
Sudah mendengar album Los Skut Leboys? album studio pertama Sore tanpa Mondo.
 
Pernah diperdengarkan Awan sebelum album itu rilis.
 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(DEV)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan