Selepas maghrib di pertengahan Agustus 2015, empat sosok yang dalam album Ports Of Lima berperan sebagai Javier Rojas (Ade Paloh), Gustav Bomba (Gusti Pramudya alias Bemby), Renzo Zanggo (Reza Dwiputranto alias Echa) dan Claude Jambo (Awan Garnida), berbagi gagasan dan pengalaman lewat perbincangan ringan. Kantor Rooftop Sounds di Jakarta Selatan jadi lokasi pertemuan kami.
Empat 'bandit' yang juga menyandang status bapak itu memang tak lagi merekah. Tapi mereka sudah lebih dari sekadar matang. Meminjam analogi dari sang drummer, Bemby, SORE kini seperti menjalani laku “tai chi,” tak lagi “karate” seperti dulu.
Hasil “tai chi” itu adalah sebuah album bernama Los Skut Leboys. Sebuah album SORE yang paling santai, sekaligus paling menguras tenaga mereka lantaran proses pengerjaan yang cukup panjang.

SORE (Foto: Rendha Rais)
Berikut ringkasan hasil bincang-bincang Metrotvnews.com dengan SORE:
Apa perbedaan yang dirasakan SORE, saat kehadiran awal kalian dan sekarang?
Ade: Apresiasi di musik independen, banyak sound baru di (band-band) sekarang, banyak anak muda, band baru mulai terasa. Progresif.
Masih relevan kah membicarakan dikotomi indie dan mayor saat ini?
Ade: Kata-kata itu harus dibunuh, dipancung. Enggak boleh ada lagi.
Awan: Perbedaan itu enggak eksis, itu cuma gertakan. Orang dulu kalau ketemu band mayor lebih segan, memang ada kelebihan dari power dan sistem. Power itu maksudnya kredibilitas dari musisi dan wadahnya. Misal musik bagus tapi wadahnya enggak kuat, ya akan begitu-begitu saja. Tapi kalau mayor (era) dulu kan jelas, misal dalam berapa bulan sudah masuk di stasiun TV atau radio mana saja. Tapi sekarang sudah banyak sarananya.
Menurut kalian, apakah ada musik Indonesia yang jelek?
Bemby: Kalau menurut gue, musik yang jelek itu, musik yang diciptakan dan yang suka hanya yang menciptakan. Cuma satu orang. Tapi itu enggak mungkin ada.
Eca: Kalau menurut gue cuma ada suka dan tidak suka.
Kalau membicarakan konten lirik musik di Indonesia, lagu dengan lirik seperti apa yang menurut kalian buruk?
Awan: Memang ada lagu yang membicarakan realita. Memang dalam realita keseharian, lo ngomong “tai,” (lantas) apakah lo akan menggunakan kata itu ke orangtua lo? Kan enggak juga. Kalau diperlengkap, mungkin lagu itu bukan enggak bagus, tapi enggak mendidik.

SORE (Foto: Satria Ramadhan)
Lantas, bagaimana kalian menerjemahkan musik Indonesiana seperti yang sering kalian bicarakan?
Awan: Lebih ke mood music
Ade: Maksudnya zaman Nusantara, kejayaan Nusantara dari zaman Majapahit. Kalau dari musik, Indonesiana terjadi di (tahun) 70-an. Waktu itu ada Guruh Gipsy, Yockie Suryoprayogo, Fariz RM. Mereka ambil influence dari luar dan diramu dengan warna Indonesia, yang lucunya mengarah pada senja, menguning, secara mood. Seperti lagu Chrisye Di Batas Akhir Senja, Indonesiana itu mengarah ke senja itu.
Ada misi tersirat soal literasi penggunaan Bahasa Indonesia lewat lirik lagu SORE?
Ade: Ada, meski Bahasa Indonesia ada serapan, tapi kita harus bangga. Nulis lirik Bahasa Indonesia itu susah banget. Akhirnya jadi metaforik, leksikon dikit, vocabulary dikit, makanya pengulangan itu jangan sampai terjadi, dekadensi. Dari kecil gue mendengarkan P Ramlee dan bangga dengan primordiality ke-Melayu-an secara pribadi. Gue sangat condong kepada Eros Djarot dalam penulisan lirik, sangat dia. Menceritakan keindahan yang sederhana dan menimbulkan rasa cinta pada Tuhan, Eros di balik kan SORE, hehehe. Hebat.
Apakah dalam album Los Skut Leboys terdapat lagu yang lahir dari romansa masa muda kalian?
Ade: Album sekarang lebih kepada yang kita alami sekarang, ada lagu Map Biru tentang pengalaman gue cari kerja. Waktu itu sudah diterima di (sebuah bank swasta asing), udah dapat, tapi gue males kerja di bank, gue rusak-rusakin aja interviewnya. Waktu itu gue baru pulang dari Amerika. Gue ngerokok di luar ketemu orang yang sudah lamar kerja ke mana-mana dan ditolak. Dia tahu pasti di bank itu ditolak juga, kejadiannya tahun 2003.
Kapan masa paling menantang bagi SORE?
Echa: Menurut gue pas (pengerjaan) Centralismo
Bembi: Gue pas Mondo cabut
Awan: Kalau statement gue, SORE itu berlima, Gue, Echa, Bembi, Mondo dan Ade. Sempat kerasa pas dia cabut, tapi ada dukungan dari temen, ada Satria (manajer SORE) juga, makanya kita menyelesaikan hutang.
Ade: Itu masa-masa 'begah' (perut kekenyangan). Itu tantangan untuk eksistensi SORE secara keseluruhan.
Pernah mendengar penggemar yang 'terjamah' dengan karya SORE, hingga melakukan hal-hal yang unik?
Bembi: Noh Salleh (penyanyi asal Malaysia) menikah kenangannya juga dari lagu kita, kita main ke Malaysia, main di nikahan dia.
Ade: Ada beberapa yang cerita personal ke WhatsApp dan ke Facebook, banyak dari kaum gay, entah kenapa terinspirasi dan mereka malah mendeklarasikan secara terbuka sebagai gay secara umum setelah mendengar lagu SORE. Kami enggak pernah mengharapkan sesuatu dalam berkarya, enggak pernah ekspektasi. Tapi bagi mereka ada kebebasan saat mendengarkan lagu SORE, Somos Libres misalnya.
Apa analogi yang tepat menurut kalian menggambarkan album-album SORE?
Bembi: Kalau Los Skut Leboys kayak tai chi, halus. Centralismo itu kayak karate dan Ports of Lima itu jiu jitsu.
Hampir semua lagu ciptaan Echa di album-album SORE bernuansa reflektif, bagaimana proses kreatifnya?
Echa: Gue kalau ciptain lagu sendirian, pasti sendirian. Kadang di dalam kamar. Lagu sama lirik bareng, kadang lirik dulu. Lagu paling cepat yang gue ciptain itu Aku, lagu sama lirik enggak sampai lima menit bikinnya.
Ade: Kalau soal penulisan lirik lebih lugas Echa dari gue, lebih kontemplatif, berani, tertata rapi. Gue cepat, tapi engga tahu artinya. Echa liriknya kayak Efek Rumah Kaca, kayak Cholil (personel Efek Rumah Kaca), lugas, enggak ambigu. Kalau gue (menciptakan lagu), dari kata pertama habis itu lanjut.

SORE (Foto: Satria Ramadhan)
Kalian percaya banyak lagu hit lahir dari proses trans (trance) penciptanya?
Ade: Transual, itu sadar tapi enggak sadar. Kalau bule pake drugs, kalau gue transual itu lagi diajak “ngobrol.” Banyak atheis yang merasa superpower dengan segala ke-atheis-an mereka, bilang Tuhan tidak ada. Bagaimana mereka bisa tahu ada nada yang enak bisa bikin mereka merinding? Sebenarnya itu diajak ngobrol sama Yang Di Atas. Kita secara insting tahu, nada enak itu dikasih tahu Yang Di Atas. Beethoven sendiri juga bilang itu.
Bembi: Gue sering banget (terinspirasi) dari mimpi, biasanya dalam mimpi dengerin lagu bagus banget. Tapi pas bangun lupa.
Echa: Kalau gue waras semua (waktu bikin lagu). Dulu waktu SMA sempet bikin lagu-lagu teler, tapi pas gue dengerin waktu sadar ternyata enggak enak malah lagunya, hehehe.
Sangat menarik, apakah sewaktu kalian muda dulu, juga membicarakan musik secara teologis seperti ini?
Ade: Iya sudah dari dulu, enggak ada yang berubah. Makanya kalau gue enggak berekspektasi, tapi punya harapan. Ikhlas saja.
Awan: Kalau gue secara intuisi, sumpah demi Allah, waktu itu kita belum pernah bikin lagu bareng, belum ngumpul-ngumpul kayak sekarang. Gue ke restaurant, gue bayangin ada Ade, Bemby dalam satu band. Sebelum ada SORE, kami sudah saling kenal. Terus waktu ngumpul, kami pura-pura interview sama media, waktu itu di rumah Ade, gue pura-pura wawancara. Ada Mondo waktu itu, terus ketawa-ketawa. Mungkin ada faktor intuisi dan love attraction, dari share ide, share rasa.
Echa: Kalau Awan enggak ngumpulin kita semua, mungkin enggak ada SORE, ngeband sendiri-sendiri kita.
Bembi: Gue sama Awan berdua mulu dari SMA.
Awan: Dulu pas SMA, gue main gitar sama Bembi di sekolah, yang datengin cewek cantik-cantik. Hahaha.
Ade: Dulu bentuknya Awan enggak begini, hehehe.
Apakah referensi musik masa anak-anak yang kalian dengarkan memengaruhi hingga saat ini?
Ade: Gue kelas 2 SD dikenalin Beatles sama Mondo, album Sgt. Pepper’s (Lonely Hearts Club Band). Sebelumnya gue sukanya Beethoven. Terus kelas 4 SD berteman sama Awan. Dulu kita enggak pernah ngomongin musik, kerjanya ngetawain orang doang. Naik bajaj kalau ada orang bentuknya aneh kita ketawa. Itu lem perekat SORE, humor.
Awan: Gue enggak ada cita-cita jadi musisi. Sekarang kalau bayangin bikin band baru, gue enggak bisa bayangin bisa bikin band dengan yang lain, kayaknya aneh bikin lagu sama orang lain.

SORE (Foto: Satria Ramadhan)
Bagaimana kalian memandang fenomena musisi berhenti bermusik dengan alasan musik itu haram?
Ade: Kasihan sih, musik anugerah dari Allah. Musik penyambung silaturahmi. Sakit itu mereka, tolol, tulis saja enggak apa-apa. Serius. Musik itu anugerah dan manfaat. Yang harus digarisbawahi, sebenarnya orang kalau ketuhanannya kuat, bukan keagamaannya, enggak akan terganggu dengan musik.
Kalau mereka men-judge orang kafir, dosa, enggak bermanfaat, itu yang gue bilang bodoh. Kalau mereka keep semua untuk mereka sendiri, itu enggak apa-apa, asalkan jangan mencaci dan mengumpat orang yang tidak sealiran dengan mereka.
Awan: Yang salah manusia yang menerjemahkannya. Straight-nya, dalam konteks hanya Islam, itu dari surat Luqman ayat 6 (yang artinya: Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. (QS Luqman:6)).
Singkatnya, Tuhan bikin peraturan di muka bumi. Semua ada aturannya, yang paling banyak aturannya itu sembahyang, musik enggak ditulis haram di hadis atau di Al-Quran. Cuman, batasannya itu banyak, pada dasarnya orang yang menganggap musik haram itu berpikir musik itu mencelakakan, minimal menghabiskan waktu orang, yang seharusnya waktu itu digunakan untuk yang lain. Musik itu trance masuknya, bahkan gereja membangun suasana lewat musik. Lagu Natal saja bisa bikin orang Islam senang menyanyikannya. Musik itu punya kekuatan yang besar sekali.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News