Kata-kata di atas adalah puisi karya Widji Thukul, seniman yang juga dikenal sebagai aktivis. Puisi ini ditulis ketika Thukul berada dalam pelarian. Thukul harus meninggalkan istri dan anak-anaknya.
Thukul bersama sejumlah aktivis terpaksa melarikan diri dari kejaran aparat karena dianggap melawan Soeharto. Thukul dan aktivis lain seperti Bimo Petrus, Suyat dinyatakan hilang dan belum ditemukan. Mereka diduga diculik aparat orde baru.
Kini, anak-anak Thukul sudah tumbuh. Mereka menuruni darah seni yang dimiliki Thukul. Fitri Nganthi Wani pernah merilis buku kumpulan puisi berjudul Selepas Bapakku Hilang.
Sedikit berbeda dengan kakaknya, Fajar Merah memilih dunia musik sebagai alat ekspresinya. Tubuh kurus dan rambut ikalnya membuat orang seperti melihat Thukul sewaktu muda dalam diri Fajar.
Di tangan Fajar, sajak-sajak Thukul seperti hidup kembali. Fajar bersama grup musik yang didirikannya, Merah Bercerita menjadikan puisi Thukul sebuah lagu.
"Puisi masih kata-kata mati ketika tidak ada yang membacakannya. Kami ingin menghidupkan tulisan itu agar menjadi lebih hidup melalui musik. Kami akan mengantar kalimat itu menuju keabadian," kata Fajar Merah.
Merah Bercerita sudah merilis album perdana tahun lalu. Empat puisi Thukul mereka gubah menjadi sebuah lagu. Mereka juga membuat lagu sendiri yang mengangkat persoalan sosial dan politik.
Album ini menjadi penting bagi perjalanan seni seorang Fajar. Album ini sebagai langkah awalnya memasuki gelanggang kesenian mengikuti jejak sang ayah.
Pilihan hidup Fajar pun hampir mirip dengan ayahnya. Fajar memutuskan berhenti sekolah karena persoalan biaya. Pria 22 tahun itu tak mau membebani ibunya yang makin tua.
"Bapak putus sekolah demi adiknya. Kalau saya ya demi ibu agar bebannya tidak terlalu berat," ujarnya.
Berikut perbincangan medcom.id dengan Fajar Merah.
Kenapa lebih memilih musik sebagai media berekspresi?
Jiwa saya merasanya lebih ke musik. Saya pikir untuk meneruskan jejak bapak itu mustahil. Bagi aku, selama kehidupan ini, hanya ada satu Wiji Thukul. Tidak ada Wiji Thukul yang lain. Aku tidak mau menjadi orang lain atau siapa-siapa.
Musik adalah media yang sangat ideal bagi saya. Saya sendiri merasakan terbakar semangat saya begitu mendengar musik. Bisa mengubah pribadi seseorang. Musik seperti membius otak saya.
Musisi seperti apa yang kamu inginkan?
Saya ingin menjadi musisi yang karyanya didengar, mewakili orang banyak. Saya bisa hidup dengan musik saya. Kalau terkenal dan tampil di televisi adalah sebuah kesuksesan, maka saya tidak memilih menjadi musisi seperti itu. Saya hanya ingin musik saya mewakili orang banyak, khususnya yang mendengar musik saya.
Siapa musisi yang paling disukai?
Saya dari dulu suka John Lennon. Saya juga terbakar semangat ketika mendengarkan lagu-lagu Efek Rumah Kaca. Sebelumnya saya main musik biasa-biasa saja. Tapi begitu mengenal Efek Rumah Kaca, nafsu bermusik saya begitu gereget.
Saya belajar semua dari mereka. Dari musik dan lirik. Lirik mereka banyak yang sulit dikatakan lewat musik tapi mereka bisa melakukannya dengan cara unik, dengan bahasa yang blak-blakan tapi juga puitis.
Sejak kapan memutuskan membuat grup musik?
Saya sekolah seni di Solo jurusan musik diatonik. Semua teman saya ketertarikannya dengan musik sangat tinggi. Pulang sekolah main ke studio. Setelah saya keluar dari sekolah akhirnya memutuskan untuk buat band sendiri, buat lagu sendiri. Jadi mulai serius dengan diberi nama Merah Bercerita.
Ada arti khusus dari nama Merah Bercerita?
Tidak ada khusus dari nama Merah Bercerita ini. Hanya memang diambil dari nama belakang saya. Bernyanyi itukan sama seperti bercerita.
Apa yang ingin Merah Bercerita ceritakan lewat lagu-lagunya?
Banyak hal yang kita ingin ceritakan. Bicara apa yang kita tahu. Bukan tema yang kita tidak tahu atau sekadar sedang tren. Bermusik itu seperti kita naik mobil bersama teman-teman. Di dalamnya kita bicara banyak hal, apa yang kita cemaskan, apa yang kita takutkan, dan segala hal.
Kita tidak berdiri dari satu jenis musik saja. Banyak musik yang sedang kita dengarkan. Jadi saya lebih eksplorasi mengenai musik itu sendiri. Kita bisa ke pop, keroncong, rock. Kita tidak bisa memutuskan kita ini band macam apa. Ya sudah, alirannya sound of freedom. Ini semua lahir dari kemerdekaan kita berkarya, tanpa terpatok harus bikin ini, bikin itu.
Merah Bercerita menjadikan puisi Widji Thukul sebagai lagu. Apa alasannya?
Saya tidak ingin kalau puisi yang disampaikan bapak itu mati. Puisi masih kata-kata mati ketika tidak ada yang membacakannya. Kami ingin menghidupkan tulisan itu agar menjadi lebih hidup melalui musik. Kami akan mengantar kalimat itu menuju keabadian.
Empat puisi yang kita jadikan lagu ini memang yang paling relevan disampaikan dengan kondisi saat ini.

Lagu yang lain Merah Bercerita juga membahas tentang politik?
Ada lagu Negeriku Semakin Horor, itu saya resah negara kita itu carut marut. Banyak orang melakukan kekerasan mengatasnamakan agama. Kami resah dengan hal itu. Padahal, agama seharusnya digunakan untuk kebaikan.
Kenapa memilih Cholil duet di lagu Bunga dan Tembok?
Saya dikenalkan teman dengan Cholil. Aku mengajak dia kolaborasi dan dia setuju. Jadi ini tribut untuk Wiji Thukul. Setelah itu ya kita rekaman.
Cholil dan puisi Wiji Thukul itu sama-sama membakar semangat saya dalam bermusik. Dua-duanya inspirasi saya.
Katanya sempat kesulitan sebelum rilis album?
Kita tanpa sponsor dan band baru juga pasti kesulitan dana. Banyak menunda waktu karena duitnya kurang. Kumpulin duit dari hasil manggung. Setahun lebih untuk membuatnya.
Apa arti album pertama Merah Bercerita kemarin?
Ini awal dari sebuah perjalanan. Masih panjang perjalanan saya. Mungkin ada lagi cerita baru yang akan kita sampaikan ke depannya nanti.

Banyak orang membanding-bandingkan dengan sosok Widji Thukul. Apakah itu membuat kamu terbebani?
Iya saya sempat terbebani juga. Orang selalu mengidentikkan kalau saya itu Wiji Thukul. Itu sempat membuat saya risi dan bosan. Tapi bagi saya ya sudah, tidak apa-apa. Saya anggap itu wajar. Karena saya memang anak kandungnya dan beliau memang dikenal karena puisinya. Suatu hari nanti saya yakin mereka akan mengenal saya sebagai Fajar Merah lewat karya-karya saya sendiri.
Orang bebas memberikan label atau pendapat tentang saya. Tapi kalau saya bermimpi memiliki nama besar seperti bapak tapi lantas saya hilang, saya tidak mau. hahaha.
Bagaimana dengan ekspektasi orang-orang yang berharap kamu bisa seperti Thukul di dunia seni?
Bagi aku, selama kehidupan ini, hanya ada satu Wiji Thukul. Tidak ada Wiji Thukul yang lain. Aku tidak mau menjadi orang lain atau siapa-siapa.
Ya sudah, saya mengalir saja. Mau nama saya harus sebesar bapak atau seperti apa tidak saya pedulikan. Saya hanya memikirkan, dan bertekad selalu tulus berkarya.
Semasa hidup, Thukul ikut mendirikan organisasi Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (Jaker) dan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Apakah kamu melakukan hal sama dengan berorganisasi atau mendirikan partai politik progresif?
Tidak. Bagi saya, bapak adalah korban dari partai politik itu sendiri. Di zaman orde baru itu bapak kan salah satu penggerak partai untuk mengumpulkan massa melalui puisi-puisinya. Saya menghindari itu. Saya berseni untuk seni, bukan bekerja untuk partai politik apapun itu.
Musik dan politik memang berkaitan. Kita tidak boleh buta terhadap politik agar tidak mudah dibodohi mereka-mereka.
Tapi kalau berorganisasi berkumpul sesama seniman iya. Kalau partai politik seperti bapak, tidak. Saya merasa jadi korban partai politik sejak bapak dihilangkan.

Apakah dilarang keluarga untuk berpolitik?
Saya mengenal ibu saya dan kakak saya lama sekali. Ada semacam trauma tersendiri bagi mereka berdua terhadap partai politik. Adik ibu saya selalu mewanti-wanti kalau mau berkarya ya berkarya saja. Kalau urusan dengan itu (berpolitik praktis) urusannya akan panjang.
Tanggungannya itu berat. Saya harus berani berjanji dan berani berbohong. Saya tidak suka. Janji sama teman saja tidak dipenuhi merasa bersalah.
Katanya memutuskan tidak melanjutkan sekolah?
Kelas 1 SMA saya putus sekolah. Waktu itu sampai sekarang juga, ekonomi keluarga saya itu sulit. Ibu saya mencari nafkah sendiri tanpa suami. Menurut saya itu sangat berat untuk seorang wanita yang memasuki usia hampir tua.
Saya akhirnya mikir bahwa pendidikan tidak harus didapat dari sekolah formal. SPP selalu nunggak, saya juga tidak enak sama guru. Jadi saya mengundurkan diri lalu belajar sama teman-teman saja.
Ibu tidak melarang. Ya sudah seperti itu. Bapak putus sekolah demi adiknya. Kalau saya ya demi ibu agar bebannya tidak terlalu berat. Karena tidak ada lagi yang bisa dimintai tolong. Tapi sampai sekarang saya masih punya cita-cita sekolah lagi. Pelan-pelan mencapainya.
Belum lama ini Thukul mendapat penghargaan dari pemerintah Timor Leste. Tapi disertai isu Thukul memasok senjata dan merakit bom. Apa reaksi kamu waktu itu?
Kalau saya sih cenderung acuh, tidak peduli. Apalagi kalau cuma isu. Cuma pekerjaan orang tidak punya pekerjaan.
Saya kasihan sama ibu dan kakak saya lagi. Setiap hari mereka diburu wartawan dengan pertanyaan yang sama. Akhirnya mereka saya minta mengungsi ke rumah teman agar pikirannya tenang dan tidak usah memikirkan itu lagi.
Ada perkembangan dari janji-janji pemerintah terkait kasus bapak?
Tidak ada perkembangan. Tidak pernah muncul di permukaan. Janji yang sebelum itu saja banyak yang tidak terpenuhi. Yang awal saja belum selesai. Saya belum percaya akan selesai.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News