Rock Opera Ken Arok adalah pementasan opera yang dibuat oleh almarhum Harry Roesli pada 1975. Opera ini berisi kritik tentang korupsi dan dikemas dengan musik progresif rock. Pementasan ini kemudian diadaptasi kembali oleh Synchronize Festival untuk dipentaskan pada hari kedua festival. Nama-nama yang terlibat dalam rock opera ini diisi oleh musisi-musisi dan komedian top, yaitu Andy /rif, Arie Kriting, Candil, Dira Sugandi, Fauzan Lubis, Hari Pochang, Indra Lesmana, Isyana Sarasvati, Oslo Ibrahim, Sal Priadi, Soleh Solihun, Sri Hanuraga, dan Teater Mainmonolog, dengan musik dari Gerald Situmorang dan direktur pertunjukan Edy Khemod.

Fauzan Lubis berperan sebagai Ken Arok (Foto: doc.synchronizefest2024)
Menghadirkan opera di tengah festival yang menampilkan ratusan line-up bisa dibilang ide gila. Opera membutuhkan panggung dengan dekorasi khusus dan melibatkan puluhan hingga ratusan orang untuk produksi. Belum lagi proses latihan yang memakan waktu berbulan-bulan dengan komitmen fokus latihan yang tinggi. Tetapi kegilaan itu nyatanya dapat diwujudkan dengan sangat baik. Kesuksesan opera di tengah festival ini menjadi oase di tengah jamaknya jumlah festival musik yang cenderung memiliki konsep serupa.
Sebagai penonton, tentu berharap festival bukan saja menjadi wadah musisi membawakan karya. Tetapi juga berharap adanya pengalaman lebih dalam menikmati karya seni secara menyeluruh. Bagi para musisi dan artis tentu konsep-konsep seperti ini juga memantik kreativitas dan memberi pengalaman ekstra mengeksplorasi bentuk kesenian.
"Ini bukan sekadar mahakarya, ini sangat emosional dan momen sekali buat gue," kata Fauzan Lubis, vokalis Sisitipsi yang berperan sebagai Ken Arok.
Fauzan dapat mengeksekusi peran dengan sempurna. Menyuguhkan penampilan yang lebih dari pantas untuk dipuji. Naskah yang dihadirkan pun relevan dengan permasalahan sosial saat ini. Arie Kriting dan Soleh Solihun yang muncul sebagai narator memberikan konteks-konteks kebobrokan dunia penuh tipu daya, berkali-kali mereka mengkritik soal nepotisme, politik dinasti, dan juga pemimpin yang kerap melakukan pencitraan.
Sindiran dan satire yang dihadirkan Arie Kriting dan Soleh Solihun membuat DNA Rock Opera Ken Arok tetap hidup. Sebagaimana almarhum Harry Roesli yang secara berani membuat pementasan untuk mengkritik orde baru.
"Janjinya revolusi mental, malah kita yang kena mental. Pengennya yang pasti, malah dikasih dinasti," pekik Arie Kriting di atas panggung.

Isyana Sarasvati memerankan karakter Ken Dedes (Foto: doc.synchronizefest2024)
Gerald Situmorang memegang peranan sebagai direktur musik dalam opera ini. Tantangan ini berat mengingat dia bukan saja harus mengaransemen dari materi album Rock Opera yang pernah dirilis, tetapi mengejewantahkan dalam persepsi musik hari ini. Salah satu eksekusi menarik adalah bagaimana adegan Empu Gandring yang diperankan oleh Candil larut dalam musik elektronik dengan menukil salah satu musik yang viral di media sosial. Sisipan semacam ini membuat pertunjukan menarik tanpa menghilangkan esensi dari musik progresif rock yang jadi suguhan utama.
"Tantangannya gue harus cari player yang sound-nya kuat. Kita tetap, elemen instrumenalnya tetap asli. Tantangannya malah gimana kita mainin dengan mirip, pastinya deg-degan. Ini kita benar-benar ngikutin secara spesifik," tukas Gerald Situmorang.

Sal Priadi memerankan Tunggul Ametung (Foto: doc.synchronizefest2024)
Hari Pochang, satu-satunya musisi dari era Harry Roesli yang terlibat dalam pementasan Rock Opera Ken Arok di Synchronize Festival ini mengaku tak menyangka pementasan ini hadir kembali dan diapresiasi dengan sangat baik oleh musisi hari ini dan penonton.
"Sangat terharu, ini luar biasa kerjanya. Saya merasa plong, ini seperti mimpi karena kita rasanya nggak mungkin. Yang pasti, kami atas nama teman teman yang lama, terima kasih. Ini luar biasa. Tahun depan (usia pementasan Rock Opera Ken Arok) 50 tahun. Saya rasa almarhum (Harry Roesli) lega di sana," kata Hari Pochang.
Rasanya, kesuksesan menghadirkan opera, teater, drama musikal, atau sekurang-kurangnya panggung musik konspeptual akan menjadi jawaban menarik di tengah konsep festival yang repetitif. Jika itu terjadi, maka rasanya tren pertunjukan musik - terkhusus festival - di Indonesia akan lebih menarik dan menyenangkan.

Tim produksi dan artis yang terlibat dalam Rock Opera Ken Arok (Foto: doc.synchronizefest2024)
Baca juga: Isyana Main Serong Bareng Changcuters, Tria Tiba-tiba Muncul |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News