Marco Sfogli.( Foto: facebook Marco Sfogli)
Marco Sfogli.( Foto: facebook Marco Sfogli)

Wawancara Marco Sfogli: Tak Ada Industri Musik Untuk Instrumental!

Fitra Iskandar • 18 September 2014 13:20
 MENJADI musisi di era internet, tantangannya lebih berat. Pembajakan lebih mudah menyebar. Gitaris solo asal Italia, Marco Sfogli pun menganggapnya sebagai ‘pertempuran tiada akhir’. Tetapi, Musik merupakan pilihan sadarnya. (Baca: Wawancara Marco Sfogli: Frasa-Frasa Manis dari Pria Naples)
 
Sebagai musisi instrumental, Marco pun paham betul bahwa pangsa pasarnya tidak besar. Kalau ditanya, bagaimana industri musik instrumental saat ini, Marco mengakui, masa kejayaan musik instrumental sudah berlalu. Mungkin maksudnya, “Tengok saja setelah era Steve Vai dan Joe Satriani,  siapa lagi gitaris solo yang jadi 'anak emas' industri musik.”
 
Para musisi instrumental kini berjuang sendiri-sendiri. Mengharapkan promotor besar datang dan membawanya ke ranah industri, sepertinya 'mustahil'.
 
Toh, Marco tetap menelurkan album. Sampai saat ini sudah dua yang ia rilis yaitu “There’s Hope” (2008) dan “reMarcoble” (2012).  Ia mengedarkan dua album itu secara daring dengan memajangnya di rak katalog Jamtrackcentral.com.  Marco juga membuat buku digital yang berisi pelajaran gitar.
 
Tetapi sekali lagi teknologi internet memang bisa luar biasa negatif bagi musisi.  Di Indonesia, ‘jualan’ Marco  bisa mudah ditemui  di forum Jual Beli Kaskus. Tentunya yang dijual di sini sudah versi bajakan.  
 
“Tentang pembajakan, itu perang yang tak berakhir. Tetapi sebaiknya orang menyadari bahwa membuat rekaman membutuhkan banyak dedikasi, waktu dan uang. Zaman sekarang, biaya yang dikorbankan itu keluar dari kantong artis sendiri,” kata Marco Sfogli dalam obrolan via internet dengan Metrotvnews.com, awal pekan ini.
 
Wawancara ini tentu saja bukan melulu soal bajak-membajak karya cipta musisi. Marco juga membagi soal pandangan-pandangan musiknya. Kalau ada yang mau tahu setelan suara gitarnya, mungkin jawaban Marco di sini juga bisa membantu. Ini dia wawancara selanjutnya:
 
 Kasih tahu saya, apa filosofi kamu dalam bermain gitar atau menulis musik?
 
Saya enggak punya sesuatu yang benar-benar filosofi ketika menulis atau bermain. Saya hanya duduk dengan ide di kepala sampai saya senang dengan itu dan langkah selanjutnya adalah merekamnya memulai dari sana. Begitu biasanya.
 
Suatu hari saya benar-benar niat, tetapi kadang asal ambil gitar dan main apa yang lagi ada di kepala. Di hari lain, saya duduk dengan pola spesifik atau ide untuk dikerjakan. Tergantung hari.
 
Tone gitar kamu indah, bagaimana prosesnya sampai kamu pilih karakter seperti itu untuk membungkus musik mu?
 
Terima kasih buat pujiannya. Saya sangat pemilih soal tone gitar dan saya pikir saya ada di titik di tempat saya punya referensi spesifik lead tone di kepala saya, yang bernyanyi dan tebal, secara bersamaan.
 
Mudah-mudahan revolusi digital yang diaplikasikan di gitar akan membantu saya untuk mendapatkan tone saya di mana pun, tak peduli soal tempat dan bagaimanapun kondisinya.  Penghargaan terbesar dari fan untuk saya yaitu saya bisa mengeluarkan tone saya dari ampli apapun. Saya kira sebagian dari itu datang dari jari-jari.
 
Kasih bocoran dong  soal rahasia setelan suara gitar kamu di panggung?
 
Banyak tur digelar dengan biaya rendah, jadi tidak banyak kesempatan untuk bawa senjata pribadi, ampli dan efek.  Sekarang saya pakai Multiamp dari DV Mark, yang gampang dibawa-bawa dan menyimpan setelan suara gitar saya. Yang saya butuhkan itu,  gitar Ibanez saya, kabinet dan midi pedalboard. Sederhana bukan. Dengan itu saya enggak akan kehilangan sinyal, enggak ada suara jelek yang keluar dari sistem mik kabinet yang kurang bagus, dan sebagainya. Saya asyik dengan itu. 
 
 Bagaimana akhirnya kamu memilih sebagai solois dari pada bermain di grup band?
 
Sebenarnya saya belum memutuskan juga. Itu berjalan begitu saja. Segera setelah kembali dari tur Elements of Persuasion (album solo James Le Brie), datang banyak permintaan dari fan agar saya merekam solo. Itu mengantar saya untuk menulis barang instrumental itu. Akhirnya lahirlah “There’s Hope”.  Tetapi saya masih suka jadi bagian dari band dari pada jadi satu-satunya sorotan. Kamu tahulah, itu situasi alami saya (dengan bermain solo).
 
Ya, kamu sempat kolaborasi dengan vokalis Dream Theater James LaBrie, di proyek album solonya. Saya kira hasilnya bagus. Nah,  kepikiran enggak buat bikin grup band sama dia?  Dan waktu kerjasama, apa mulanya dia minta kamu main dengan gaya spesifik?
 
Enggak, tetapi itu memang mimpi yang jadi kenyataan. Dia juga enggak minta apapun, saya  bebas menjadi diri sendiri. Saya senang dia begitu, karena pertama kali ketemu saya sedikit tegang. Kamu tahulah, saya waktu itu masih 24 tahun dan sedikit pengalaman di studio. Tetapi, James, Matt Guillory (keyboardis) dan Richard Chycki (produser), mereka asyik karena membuat zona nyaman untuk saya.
 
Di dua album, kamu main dengan gaya yang berbeda-beda, dari country ke metal. Dari yang cadas sampai melankolis. Kamu menikmatinya ya? Tetapi secara personal, sebagai pemain gitar,  kamu sebenarnya pengin dikenal sebagai pemain beraliran apa? Metal, progresif, instrumental rock atau apa ?
 
Tentu saya menikmati seperti hari ini. Saya bangga dengan dua album saya itu. Saya ingin dikenal sebagai musisi yang jujur yang cinta bermusik daripada dikenal sebagai musisi bergenre tertentu. Sebagai pemain gitar, saya suka musik 360 derajat.
 
 Oke,  Apa pendapat kamu tentang industri musik hari ini. Bagaimana kamu menyikapi soal pembajakan dan era unduh gratis ini?
 
Industri  musik? Saya kira tidak ada industri musik untuk artis instrumental. Masa-masa itu sudah berlalu. Untungnya masih ada segelintir orang yang masih percaya dengan musik instrumental. Saya senang bekerja dengan mereka di JamTrack Central, orang-orang yang gila musik.
 
Tentang pembajakan, itu perang yang tak berakhir. Tetapi sebaiknya orang menyadari bahwa membuat rekaman membutuhkan banyak dedikasi, waktu dan uang. Saat ini biaya yang dikorbankan itu keluar dari kantong artis sendiri.
 
(Ini pertanyaan intermezzo saja), kamu tahu enggak Tielman Brothers? Mereka populer di Eropa pada 50-an. Orang menyebut mereka Indorock, karena asal mereka dari Indonesia. Paul McCartney pernah bela-belain ke Kopenhagen untuk nonton mereka manggung....  Saya juga mau tanya pendapat kamu tentang gitar tradisional  ‘Sape’,  asal salah satu suku di Indonesia (Metrotvnews.com menunjukkan link YouTube penampilan Tielman dan instrument Sape).
 
Wow, saya memang enggak pernah dengar tentang orang-orang ini sebelumnya tetapi, kedengarannya asyik dan sangat menarik mengingat mereka main itu di tahun 50’an. Terima kasih sudah memadu saya untuk melihat aksi mereka lewat video. Sama dengan alat Sape, sangat-sangat menarik.
 
Kamu di-endorse oleh salah satu merek gitar yang dibuat di Indonesia (Ibanez Premium). Kamu punya rencana main di sini?
 
Saya tahu dan saya banyak menerima permintaan untuk bermain di Indonesia. Sayang, rencana itu belum ada, tetapi saya kira itu hanya masalah waktu. Saya akan senang main di sana, Indonesia negeri yang menarik.
 
Dan kasih tahu saya proyek kedepan kamu?
 
Saya lagi mengerjakan rekaman dengan dua pemain gitar (enggak bisa saya jelaskan selanjutnya, ini masih rahasia) dan saya banyak gitar klinik keliling Eropa, Oktober ini. Kemudian saya kembali mengajar dan mungkin kalau ada waktu saya maunya nulis materi baru untuk album solo ketiga saya.
 
Terima kasih sekali, sudah meluangkan waktu untuk  ngobrol dengan saya. Semoga sukses ya.
 
Sama-sama, terima kasih untuk wawancara ini.
 
 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FIT)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan