Selain mampu menghadirkan kesan nostalgia bagi saya (dan mungkin juga bagi mereka) yang tumbuh dengan karakter Optimus Prime, dkk, Transformers: Rise of the Beasts juga hadir sebagai penyegaran dari serial film Transformers terdahulu. Selain itu, Steven Caple Jr. yang bertindak sebagai sutradara di film ini pun cukup berhasil mengatasi kekurangan-kekurangan yang sering terulang di Transformers-nya Michael Bay. Berikut ulasannya:
Karakter manusia dan robot yang menarik
Meski sederhana, setiap karakter di film ini --baik manusia maupun robot-- punya kepribadian dan motivasinya masing-masing. Hal ini membuat mereka jadi terasa lebih hidup. Misalnya, sang karakter manusia utama, Noah Diaz, yang punya sifat skeptis terhadap keberadaan Autobots dan punya niat terselubung. Kemudian ada juga Elena, seorang anak magang di sebuah museum yang punya wawasan mendalam soal dunia arkeologi. Wawasannya itu membuat Elena menjadi karakter yang menonjol dan punya pengaruh besar terhadap jalannya cerita.
Kemudian karakter menarik lainnya ialah Arcee, anggota Autobots yang feminin dan sangat suportif terhadap rekan-rekannya. Sedangkan anggota Autobots yang paling menarik buat saya ialah Mirage, karena sifatnya yang sembrono dan suka memberontak, namun hatinya tulus. Di film ini, anggota Autobots yang kemudian bersahabat dengan manusia ialah Mirage, bukan Bumblebee.
Film ini juga turut memperlihatkan sisi humanis pada diri para robot. Misalnya di kubu Autobots, karakter Optimus Prime di film ini benar-benar berbeda. Jika di film-film terdahulu Optimus digambarkan sebagai pemimpin yang berwibawa dan sangat peduli terhadap umat manusia, Optimus Prime versi Rise of the Beast adalah sosok yang dipenuhi rasa bersalah dan skeptis terhadap manusia.
Di film ini, Steven Caple Jr. juga turut menghadirkan kelompok Maximals dari film animasi berjudul Beast Wars: Transformers (1996). Maximals sendiri merupakan kelompok robot yang bentuk transformasinya menjadi hewan. Peran Maximals di film ini pun cukup dimaksimalkan dan berpengaruh banyak terhadap jalannya cerita, berbeda dengan kehadiran Dinobot di film Transformers: Age of Extinction (2014) yang hanya sebagai cameo di bagian klimaks.

Cerita yang lebih rapi
Salah satu kelemahan yang selalu terulang di serial film Transformers-nya Michael Bay adalah penceritaan. Untungnya, Steven Caple Jr. bersama lima penulis naskah di film ini tak mengulangi kesalahan tersebut. Cerita yang dihadirkan di film ini masih tetap sederhana, namun lebih rapi dan lebih koheren, sehingga tak ada plot yang sia-sia.
Porsi cerita antara karakter manusianya dengan Autobots dan Maximals pun terasa pas. Saya merasa film ini memberikan cukup ruang bagi penontonnya untuk memahami motivasi setiap karakternya dan menumbuhkan empati terhadap mereka. Porsi untuk karakter villain, kelompok Terrorcon dan Unicron, pun disajikan dengan pas.
Meski begitu, naskah film ini bukan tanpa celah. Cerita di film ini beberapa kali menggunakan formula yang sama, sehingga terasa kurang kreatif dan repetitif. Padahal, tim penulisnya terdiri dari lima orang.
Desain robot yang lebih simpel dan berwarna
Salah satu aspek yang paling banyak mendapat pujian dari para pencinta Transformers ialah desain karakter robotnya. Desain para robot di film ini mengacu pada Transformers versi mainan, yang mana secara bentuk terlihat lebih simpel. Bukan cuma itu, warna yang disematkan pada setiap karakter robot pun lebih berwarna, sehingga kita dapat lebih mudah dalam mengenali setiap dari mereka.
Hal ini tentu sebuah penyegaran dari desain Transformers-nya Michael Bay yang lebih rumit dengan palet warna yang kurang variatif.

Action yang lebih mudah untuk ditonton
Tak dapat diragukan lagi, Michael Bay memang salah satu sutradara paling jago urusan film action. Namun, action yang coba disuguhkan Steven Caple Jr. di film ini tak bisa dipandang sebelah mata. Meski sejauh ini Steven baru tiga kali menyutradarai film panjang, namun ia berhasil menyuguhkan adegan aksi yang keren dan berbeda.
Koreografi aksi yang ditampilkan di Transformers: Rise of the Beasts terasa lebih mudah untuk ditonton berkat pergerakan kameranya yang tak terlalu rumit, berbeda dengan Michael Bay yang memang hobi menyuguhkan adegan aksi dengan pergerakan kamera yang miring-miring dan berputar-putar.
Di satu sisi, pendekatan yang diambil Steven Caple Jr. ini membuat penonton jadi lebih mudah dan nyaman dalam menikmati sajian aksinya, namun sentuhan Michael Bay pada film-film Transformers-nya bagi saya tetap terasa lebih wah dan bombastis.
Kesimpulan
Buat saya pribadi, Transformers: Rise of the Beasts berhasil menyuguhkan tontonan yang membawa kesan nostalgia dan terasa menyegarkan dari serial film Transformers terdahulu. Film ini juga mampu memperbaiki kekurangan-kekurangan di film-film Transformers sebelumnya, meskipun tetap terdapat beberapa celah untuk diperbaiki ke depannya.
Paramount Pictures selaku rumah produksi pun telah mengonfirmasi kalau Transformers: Rise of the Beasts akan berlanjut menjadi trilogi. Menarik untuk menanti bagaimana dunia Transformers yang baru ini akan berkembang ke depannya.
(Nicholas Timothy Suteja)
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id