Menceritakan tentang kisah petualangan, perjuangan, serta pengorbanan sendiri adalah sebuah cerita yang bersifat drama.
Namun, tidak dengan film Siddhartha The Buddha. Film produksi tahun 2012 asal Sri Lanka ini bisa dikatakan sebuah film yang tidak dikemas secara reliji dan juga tanpa menambahkan bumbu-bumbu drama.
Siddhartha The Buddha adalah sebuah film historis biopik yang bercerita tentang upaya Siddhartha Gautama dalam meninggalkan kehidupannya sebagai pangeran untuk mencari pencerahan demi umat manusia.
Film ini diceritakan secara sederhana dengan cerita yang linear, namun dengan timeline yang beberapa kali melompat jauh ke depan.
Film ini dibuka dengan adegan dari Dewi Maya, Ratu Kerajaan Kosala, yang bermimpi didatangi oleh gajah. Dewi Maya kemudian terbangun dari tidurnya dan diberitahu bahwa mimpinya adalah sebuah pertanda baik.
Film langsung maju ke beberapa bulan berikutnya di mana Dewi Maya sudah diperlihatkan memiliki perut yang besar. Dewi Maya kemudian dikelilingi oleh beberapa pendeta di mana Dewi Maya dan sang suami yakni Raja Suddhodana meminta diberikan nama untuk bayi mereka.
Para pendeta tersebut sepakat dengan memberikan saran nama ‘Siddhartha’. Para pendeta tersebut memuji anak dalam kandungan Dewi Maya. Dikatakan bahwa di masa mendatang anak dalam kandungan tersebut akan mampu memberi pencerahan dan harapan. Siddhartha juga dikatakan akan meninggalkan hidupnya sebagai bangsawan.
Sang Raja takut jika Siddhartha pergi meninggalkan istana, maka sang Raja kemudian mengubah istana tempatnya tinggal dengan penuh hal-hal bahagia dan hiburan. Tidak ada orang tua rena, tidak ada orang sakit, yang ada hanya hiburan, makan, latihan, dan belajar.
Ketika dewasa, Siddhartha sempat keluar dari istana untuk melihat rakyatnya. Ia kaget melihat kenyataan di luar istana karena adanya hal yang tidak biasa ia lihat seperti kelaparan, penyakit, hingga kematian.
Siddhartha kemudian semakin memantapkan niatnya untuk meninggalkan hidupnya sebagai pangeran dan berusaha mencari pencerahan untuk menyelamatkan umat manusia.
Cerita Humanis yang Universal
Siddhartha Gautama adalah sosok yang sangat penting dalam ajaran agama Buddha. Meski demikian, film Siddhartha The Buddha ini justru tidak dikemas dengan terlalu reliji.
Tidak ada hal-hal keagamaan yang diselipkan maupun diletakan dalam film ini. Namun, karena film ini diangkat dari kisah nyata yang dipercaya oleh umat Buddha maka latar film ini tentunya sesuai dengan kenyataan yakni adalah Kapilavastu kuno (Kapilawastu kuno yang tidak diketahui di mana letak pastinya) sekitar 23 abad yang lalu beserta dengan pakaian dan budayanya.
Salah satu cara pengemasan yang menarik dari film ini adalah lebih fokus kepada sudut pandang dari tokoh Siddhartha dan dikemas agar bisa dinikmati oleh masyarakat umum.
Film ini memperlihatkan bagaimana perjuangan Siddhartha untuk melakukan perdamaian, menyebarkan kebahagiaan, dan cinta kasih. Sebagian besar film ini memperlihatkan bagaimana Siddartha merasakan keresahan akan hidupnya sebagai pangeran dan berkontemplasi tentang apa yang ingin dan bisa ia perbuat tanpa banyak menceramahi.
Cara pengemasanya pun film ini cukup mirip film India. Sepanjang cerita, film ini dipenuhi oleh BGM (background music) dengan musik khas Sri Lanka di mana terdengar suara terompet, suling, gendang, dan semacamnya.
BGM yang menemani di sepanjang film turut membantu penyampaian dan pemberitahuan tentang emosi yang dihadirkan dari tiap adegan dalam film ini.
Siddhartha The Buddha adalah sebuah film produksi asal Sri Lanka. Film ini diputar di Indonesia melalui kegiatan atau acara yang dilakukan oleh PATRIA (Pemuda Theravada Indonesia), sebuah organisasi pemuda-pemudi Buddhis di Indonesia.
Film ini akan diputar di berbagai daerah di Indonesia seperti di Palembang, Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, dan beberapa kota lainnya. Untuk di Jakarta, film ini akan diputar di Pusat Perfilman Usmar Ismail, Rasuna Said, Jakarta.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News