Pemerintah Orde Baru menyebarkan kisah-kisah mengerikan tentang kekejaman PKI sehingga masyarakat Indonesia enggan menerka apa yang sesungguhnya terjadi. Kalau saja rasa penasaran itu muncul, tentu rezim dengan kepanjangan tangannya segera melabrak.
Keluarga korban, atau mereka yang mengetahui seluk-beluk peristiwa ini akhirnya memilih bungkam. Pembantaian dengan cara keji telah menjadi bukti kuat bahwa pemerintah pada zaman itu sangat mungkin untuk menyingkirkan mereka yang vokal dengan cara apapun. Inilah yang membuat sejarah 1965 begitu menakutkan dan penuh misteri.
Sungguh banyak literatur yang beredar tentang apa yang sesungguhnya terjadi pada masa itu. Para peneliti seolah secara kolektif menyelamatkan memori para korban dan pelaku sebelum kisah ini terhapus zaman.
10 November 2014, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bersama Dewan Kesenian Jakarta dan sederet Lembaga Swadaya Masyarakat lain menggelar pemutaran film "Senyap". Sebuah film dokumenter yang disutradarai oleh Joshua Oppenheimer dan melibatkan sekitar 60 orang Indonesia yang tidak ingin disebutkan namanya.
"Senyap" merupakan film lanjutan dari "Jagal" yang beredar pada 2012. Keduanya bertumpu pada kisah pilu di tahun 1965 hingga 1966. Jika pada film "Jagal" penonton disuguhkan dengan segala keberingasan sosok algojo yang mengeksekusi para tertuduh simpatisan PKI, di film "Senyap" keberingasan itu tergantikan pilu dan kepedihan mendalam dari sudut pandang korban.
Adi, seorang pria berusia 44 tahun bekerja sebagai tukang kacamata keliling. Kakak Adi, Ramli, adalah salah satu korban yang dituduh terlibat PKI dan dibunuh secara keji. Kematian Ramli seolah menjadi teror yang menimbulkan trauma tak berkesudahan. Pasalnya, tewasnya Ramli sempat disaksikan beberapa orang, termasuk ibunya, Rohani.
Apa yang telah dilakukan kepada Ramli membekas di keluarganya. Rohani dan Adi tidak bisa begitu saja menghapus peristiwa ini dari kepala mereka. Setiap detiknya, "Senyap" mampu menguras nurani penonton. Melihat begitu sulitnya hidup yang dijalani oleh mereka yang dihabisi secara brutal oleh penguasa politik.
Rohani, yang mengaku usianya telah melewati 100 tahun itu, masih ingat betul bagaimana Ramli diseret para jongos desa untuk dieksekusi. Sedangkan Adi, meski lahir tiga tahun paska kepergian Ramli, tetap merasakan kepedihan yang sama bagaimana almarhum kakaknya dibantai. Walau Adi tidak pernah melihat sosok kakaknya secara langsung.
Film "Senyap" memiliki pola tutur yang sangat nyaman disaksikan. Sang sutradara seolah menjadi "makelar" untuk mempertemukan Adi dengan para algojo pembunuh kakaknya. Para algojo yang kini sudah sepuh itu juga masih mengingat betul bagaimana mereka mencabut nyawa korbannya, dengan ritual penutup yang membuat bergidik, seperti meminum darah korban yang konon dilakukan agar para algojo tidak gila.
Adi yang dalam film ini diposisikan sebagai pewawancara beberapa kali tampak pucat, canggung, kaku, dan menerawang jauh tiap mendengar para pembantai itu berkisah.
Dalam beberapa kesempatan, setelah para algojo bercerita, Adi mengatakan bahwa salah satu orang yang dibantai algojo itu adalah kakak kandungnya. Ini menimbulkan situasi yang dingin dalam dialog mereka, dan dapat dirasakan oleh penonton.
Melihat film "Senyap", rasa-rasanya menjadi enggan untuk membahas perihal teknis yang sering muncul setelah menonton film. Selain soal tetek-bengek teknis dalam film itu sudah beres, perasaan yang muncul usai menonton adalah dilema moral, bagaimana menyedihkannya peristiwa itu.
.jpg)
Dalam panggilan video dengan awak media sebelum pemutaran, Joshua menjelaskan bahwa apa yang terjadi pada 1965 memang sudah berlalu, tapi apakah peristiwa itu layak dianggap sebagai masa lalu? mengingat peristiwa itu masih memiliki efek hingga hari ini, masih menimbulkan trauma yang mendalam, dan masih belum terungkap dengan sebenar-benarnya.
Perjalanan Joshua menggarap film dokumenter tentang peristiwa 1965 tidak terjadi begitu saja. Pria kelahiran Amerika Serikat tahun 1974 itu awalnya tidak datang ke Indonesia untuk menguliti sejarah pemerintah dan PKI.
Joshua datang pada tahun 2001 untuk menggarap proyek film dokumenter tentang pekerja perkebunan kelapa sawit yang selalu mendapat ancaman ketika ingin membangun sebuah serikat buruh. Meski jumlah buruh kelapa sawit sangat banyak, mereka tetap takut untuk berurusan dengan para algojo berkedok organisasi-organisasi sipil.
Ketakutan ini yang menuntun Joshua untuk menelusuri lorong gelap sejarah. Titik temunya adalah peristiwa pembantaian 1965-1966. Para buruh di daerah Sumatera Utara itu akhirnya menuturkan bahwa mereka sebenarnya trauma dengan pembantaian atas nama penghapusan PKI.
Berdasar apa yang mereka dengar, kisah dari para orangtua atau siapa saja yang melewati tahun kelam 1965, ribuan simpatisan serikat buruh yang pada masa itu dianggap memiliki korelasi dengan PKI dibantai. Singkatnya, para pekerja enggan hal itu terulang kembali.
Baik "Jagal" atau "Senyap" bukan film yang lahir begitu saja dari gagasan dangkal tentang upaya mengangkat apa yang selama ini terpendam. Joshua membangun komunikasi yang mendalam dengan para algojo juga keluarga korban yang sanak familinya dianggap PKI. Selain itu, riset mendalam juga dilakukan Joshua, didukung oleh dosen, aktivis, dan sineas asal Indonesia. Setidaknya butuh waktu 11 tahun hingga "Senyap" diperkenalkan secara umum di 2014.
"Saya rasa peristiwa 1965 adalah titik awal pelanggaran HAM yang lain di Indonesia. Dari situlah rezim 'senyap' mulai terbentuk dengan cara membuat seluruh rakyat trauma. Dengan trauma itu rakyat menjadi diam," katanya.
.jpg)
Kalau mempersoalkan HAM, peristiwa 1965 adalah kunci. Kalau pemerintah Indonesia mau serius menuntaskan kasus HAM, harus dimulai dari peristiwa 1965," kata Joshua dalam telewicara dengan video di Graha Bhakti Budaya, Jakarta, 10 November 2014.
Saat disinggung mengenai tujuan dalam menggarap film ini, Joshua menegaskan harapannya akan terkuaknya fakta dan kebenaran tentang peristiwa bersejarah yang menelan jutaan jiwa. Juga pengakuan resmi dari pemerintah yang terlibat dalam kasus ini. Joshua menyebutkan selain Indonesia, Inggris dan Amerika Serikat ikut bertanggung jawab.
"Kita semua harus mendukung presiden baru karena dia telah berjanji (selesaikan kasus HAM). Kita harus mendukung pemerintah Indonesia secara resmi mengakui yang terjadi dan meminta maaf. Kalau tidak, luka lama ini tidak pernah akan hilang dan sembuh," kata Joshua.
Joshua yang pada saat telewicara video sedang berada di Denmark itu juga menegaskan bahwa "Senyap" adalah film Indonesia, film karya anak-anak Indonesia yang peduli akan kebenaran sejarah.
Film "Senyap" akan diputar pada pemutaran-pemutaran independen yang digagas oleh Komnas HAM, atau dapat diputar dengan cara kolektif oleh komunitas apa saja dengan cara mengajukan diri dan mengisi formulir pada situs wwww.filmsenyap.com.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id